![]() |
gambar ini di screenshoot dari http://regional.kompas.com/read/2017/03/26/23202371/monumen.dibangun.di.sebelah.rumah.patmi.petani.kendeng |
Ramenya dialog
publik di jagad medsos tentang sekelompok petani yang sedang berjuang menolak
pembangunan pabrik semen di Kendeng mengingatkan saya pada polemik terkait
penggunaan energi panas bumi (geothermal) untuk pembangkit listrik di salah
satu daerah di Sumatera Utara.
Saat itu,
tahun 2015, saya mendapatkan email dari seorang bu guru yang juga mahasiswa
saya. Emailnya saya copas langsung ya...:)
“Bapak pernah dengar kata geotermal....bisa
saya minta tolong sama bapak untuk menjelaskan apa dampak negatif dari geotermal”
Lalu saya
jawab (juga copas dari email saya dengan editan identitas orang)
Ibu .......................,
Sebenarnya ilmu saya di bidang non eksata,
khususnya ilmu hukum. Jadi saya tidak terlalu mendalami keilmuan terkait ilmu
alam, termasuk geothermal. Saya pernah dengar tapi
sedikit sekali pengetahuan saya tentang itu. Nanti silahkan tanya ke dosen dari
FMIPA seperti pak ........................
Yang saya tau, terjadi perdebatan cukup
hangat soal pemanfaatan energi panas bumi untuk pembangkit listrik di Indonesia
untuk mengatasi kekurangan listrik. Penggiat lingkungan hidup pada umumnya
berpendapat eksplorasi geothermal akan mengakibatkan
kerusakan lingkungan berupa habisnya air bumi untuk pengolahan geothermal
sehingga akan terjadi krisis air, menimbulkan gempa dan bahaya arsenik.
Misalnya ibu bisa lihat di web ini http://www.daulathijau.org/?p= 393
Tapi banyak juga pakar energi yang
mengatakan geothermal atau panas bumi bisa menjadi energi
listrik yang efektif dan lebih ramah lingkungan dibandingkan menggunakan bahan
bakar fosil (batubara atau minyak) dan tidak menyebabkan krisis air karena air
yang telah digunakan akan kembali disuntikan ke bumi. Misalnya ibu bisa
lihat di web ini http://www.indoenergi.com/ 2012/07/energi-geothermal-dan- dampaknya-pada.html.
Yang mana yang benar saya tidak dapat
menjawabnya karena saya juga tidak mempelajari secara khusus tentang hal
tersebut. Ini kira-kira yang bisa saya bantu. Terima kasih.
Ngambang ya
jawabannya. Sengaja memang. Keadaanya saat itu sedang hangat-hangatnya konflik.
Di beberapa titik menuju lokasi penambangan saat itu, kita bisa melihat
spanduk-spanduk penolakan baik bernama lembaga tertentu atau tidak bernama. Juga tulisan-tulisan di tembok-tembok
dengan nada yang sama. Ada demonstrasi bahkan sampai ada yang meninggal dunia
juga diserang masa. Saya diajak untuk melihat ke sana.
Lalu isu dan
stigma yang beredar macam-macam. Pro dan kontranya juga kental di masyarakat. Kelompok
yang pro dianggap penghianat, menjual negeri ke perusahaan, tidak berpihak
kepada masyarakat, pengrusak lingkungan dan sebagainya. Sedangkan kelompok yang
kontra, dianggap tidak mengerti kebutuhan orang banyak, egois, provokator dan
ada juga tudingan kepada beberapa penggerak bahwa sebenarnya mereka menggerakan
masyarakat karena sumber ekonominya terganggu atau tidak mendapatkan “jatah”
dari perusahaan atau ada permainan politik di belakangnya. Kira-kira miriplah
dengan diskursus soal pabrik semen di Kendeng ini.
Nah,
meskipun saya tau email tersebut ditujukan untuk melihat sikap pribadi saya,
tapi saya tidak ingin sikap saya digunakan sebagai justifikasi untuk menambah “bumbu”
dan kegaduhan dari konflik yang ada. Dalam suasana yang seperti itu, apa saja
bisa dijadikan pembenar oleh masing-masing yang terlibat di dalamnya. Karena itu,
atas dasar kehati-hatian dalam memberikan pendapat, jawaban saya ngambang
jadinya.
Tapi bro, sebenarnya
jawaban itu mengajak si penanya untuk melihat persoalan dari dua sisi setelah
itu baru menentukan pilihan. Jangan gegabah untuk masalah-masalah yang penting
dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Apalagi dengan pengetahuan
seadaanya. Dengan cara gegabah seperti itu, kita tidak akan menang bersama,
tapi celaka bersama, walaupun akan ada saja yang memperoleh kenikmatan untuk
dirinya sendiri.
Buktinya,
pada diskusi tatap muka saya dengan si pengirim email dan teman-temannya,
mereka ternyata adalah korban dari pusaran konflik yang ada. Apa bentuk
kerugiannya tak dapat saya uraikan di sini. Cuma, mereka menjadi korban dengan
kebingungan-kebingungan karena mereka sesungguhnya tidak tahu apa-apa. Mereka terombang-ambing
oleh kesimpangan siuran informasi dan tidak mampu menentukan pilihannya sendiri.
Di sana saya bersimpati dan berusaha untuk membantu mereka waktu itu. Tetapi sekali
lagi, saya tidak mau terlibat atau melibatkan diri atau berkomentar banyak
terkait dinamika konfliknya. Apalagi sok tahu soal dampak atau keuntungan dari
yang sedang diributkan itu.
Sewaktu pendirian
saya di tanya oleh mereka, saya cuma bilang bahwa saya tinggal di Kota berbeda
dan ingin listrik di kota saya hidup terus. Terkadang saya juga ikut membuat
komentar yang menuntut pemerintah memenuhi energi listrik kita. Karena listrik
yang byarpet melulu menimbulkan
banyak kerugian. Jika geothermal ditujukan untuk memenuhi kebutuhan listrik
itu, bagaimana saya menolaknya? Untuk semen, sampai saat ini masih mudah didapatkan
di Kota domisili saya. Di kota yang lain, saya tidak tahu. Bagaimana proyeksi
ketersediaan semen untuk masa yang akan datang, saya juga bukan ahlinya.
Tapi saya
juga bukan penganut utilitas absolut. Demi kepentingan orang banyak, lalu orang
yang sedikit dan terdampak dapat diabaikan begitu saja. Bagi saya, itu tidak
berkeadilan sama sekali. Sebaliknya, tidak bisa juga kepentingan jangka panjang
orang banyak diabaikan begitu saja. Keadilan itu musti fair, mempertimbangkan
kepentingan dan kebutuhan semua orang termasuk efek dan kemanfaatan jangka
panjangnya.
Bagaimana semua
kepentingan ini akan di jembatani? Disitulah sulitnya jika dialog-dialog yang
ada tidak dilakukan secara jujur dan terbuka. Di sini juga tanggung jawab para perencana,
pelaksana dan pemberi informasi di tuntut. Tanpa kejujuran dan keterbukaan, apalagi
berbalutkan kepentingan untung rugi semata dan kepentingan praktis atau politik,
polemik tersebut hanyalah urusan kalah menang bagi mereka-mereka yang menarik
keuntungan. kasihan masyarakat di sana, terombang-ambing pergulatan informasi
yang mungkin saja tidak dapat mereka mengerti. Deritanya tentu saja akan
berkepanjangan bagi masyarakat. Sedangkan bagi yang lain, setelah persoalan ini
tidak lagi rame di perbincangkan, tidak lagi memberi keuntungan, tinggal
berlalu begitu saja.
Masyarakat di
sekitar lokasi harus di cerdaskan, bukan sekedar digerakan dan di mobilisasi
untuk mendukung atau tidak mendukung. Kepada masyarakat harus diberikan
informasi-informasi apa adanya sehingga mereka kemudian bisa menentukan
pilihannya sendiri. Jika usaha untuk memenuhi kebutuhan khalayak ramai itu akan
berdampak kepada mereka (misalnya tercerabutnya sumber ekonomi dan sejarah
hidup), maka dampak itu harus dijelaskan dengan jujur dan baik kepada mereka. Lalu
kompensasi setimpal (jika perlu lebih baik) seperti apa yang akan diberikan
kepada mereka untuk memastikan, bahwa meskipun ada dampak, tetapi dampak itu
sementara sifatnya dan ada jaminan kehidupan mereka akan lebih baik nantinya. Dengan
cara begini, masyarakat tidak akan mudah terpengaruh dan memiliki orientasinya
sendiri. Penting sekali kejujuran dan terbukaan semua pihak.
Bahaya
sesungguhnya bukan dari pemerintah, dari pabrik, maupun dari masyarakat, tetapi
dari pihak-pihak yang coba untuk menyelam dan minum di air yang keruh ini. Karenanya
masyarakat harus memiliki imunitas dan mampu melihat jika ada
kepentingan-kepentingan berbeda yang dimasukan ke dalam urusan-urusan mereka. Di
sanalah tanggung jawab kita jika kita memang ingin membela kepentingan
masyarakat.
Saya menyampaikan
simpati atas kegigihan dan derita fisik plus mental yang dialami oleh bapak/ibu
petani Kendeng dalam memperjuangkan aspirasinya dan turut mendo’akan agar bu
Patmi diberikan tempat terbaik di sisi Allah SWT. Mereka telah menyemen kaki
mereka berhari-hari dan mendiang bu Patmi telah kehilangannya nyawanya. Semua kita,
saya kira turut berduka.
Jangan sampai
perjuangan mereka sia-sia tanpa perubahan dan kemanfaatan apapun bagi semua orang.
Jika tetap bersikukuh pada persoalan menang dan kalah, hanya akan terjerumus
pada pepatah “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Lihatlah masalah yang ada
sebagai masalah bersama yang akan diselesaikan bersama-sama demi kemanfaaatan
yang dapat dinikmati bersama.
Monumen yang
hari ini dibangun sebagai penghormatan bagi bu Padmi, semoga bukan sekedar
simbol telah hilangnya nyawa anak manusia. Tetapi tanda semakin meningkatnya
kecerdasan petani-petani kita untuk melihat diri mereka apa adanya dan punya
proyeksi masa depan, serta jalinan kemanfaatan bagi semua orang. Semoga
No comments:
Post a Comment