Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Friday, January 26, 2018

POLITIK KITA KENAPA MAHAL; SAATNYA MENJADI PEMILIH BERITEGRITAS (2)



http://www.limit.promo/2017/02/memilih-pemimpin-ber-uang-atau-ber.html


Yang lalu, sudah saya tulis asumsi kenapa politik kita mahal dan bahwa saya optimis dunia politik kita sudah berada di jalur yang tepat karena ada beberapa perubahan fundamental dalam prilaku dan partisipasi politik masyarakat. Silahkan baca di sini

Apa saja perubahan itu?

Kalau dulu pejabat dianggap mesti kaya, kalau sekarang pajabat yang kaya dan bermewah-mewah malah dicurigai telah melakukan korupsi dan jadi pergunjingan masyarakat. Saya beberapa kali dapat cerita dari teman-teman yang aktif berpolitik bahwa ada pejabat yang baru mulai membangun rumahnya setelah habis masa jabatan agar tidak dipandang miring oleh masyarakat.

Jadi kalau dulu akan dianggap bodoh orang yang menjabat – termasuk keluarganya – tapi ngak kaya-kaya karena memanfaatkan jabatannya. Sekarang terbalik. Jika ada pejabat yang kaya – apa lagi kaya mendadak – bisa berbahaya kalau tidak bisa mempertanggungjawabkan asal muasal harta kekayaannya itu.



Penggunaan uang negara juga semakin ketat. Saya jujur saja senang melihat video pak Jowoki “marah-marah” soal perencanaan keuangan yang lebih banyak untuk kegiatan formalnya dari pada substansinya. Anggarannya 3 miliar, untuk kegiatan inti hanya 500 juta dan sisanya (2,5 miliar) untuk rapat-rapat (lihat di sini). Juga kritik pak Jowoki terhadap penanaman pohon yang katanya tiap tahun jutaan pohon tapi pohonnya ngak kelihatan (Lihat di sini). Jika sudah dikritik begitu, tapi pola nya tidak berubah juga, sungguh terlalu.    

Juga, pada wilayah-wilayah populer, politisi yang hanya mengandalkan uang saja belum tentu akan menang. Jangankan untuk menang, untuk bisa maju lagi pada periode berikutnya saja belum tentu bisa. Para pemilih sudah mulai melihat prestasi apa yang dilakukan selama menjabat. Animo politik dan partisipasi politiknya juga meningkat. Diskursus tentang apa yang terjadi di dunia politik dan dinamika parta-partai politik menjadi percakapaan sehari-hari. Partai politik juga tidak bisa sekehendak hatinya menentukan calon yang hendak di usung dan mau tidak mau harus mempertimbangkan ekspektasi publik. Menurut saya ini kemajuan yang luar biasa. Ini kenapa kalau pilkada langsung ini dikembalikan kepada DPRD, bagi saya sebuah kemunduran.

Untuk Pilkada DKI Jakarta kemaren, terlepas dari dinamika seluruh proses yang ada, berkumpulnya anak-anak muda yang menamakan diri Kawan Ahok juga menorehkan pembaharuan tersendiri dalam dinamika politik kita. Komunitas Kawan Ahok ini berhasil “memaksa” partai politik untuk mendukung mereka. Apa yang dilakukan Kawan Ahok ini memunculkan fenomena baru dari komunitas masyarakat pendukung berperan sebagai relawan partai politik menjadi partai politik berperan sebagai relawan komunitas pendukung.

Setidaknya fenomena menjadi sinyal bagi partai politik bahwa partai politik tidak lagi menjadi satu-satunya pemain dalam percaturan politik walaupun keputusan akhir tetap ditangan kandidat yang hendak bertarung. Artinya, komunitas masyarakat juga punya pengaruh besar, tinggal menjaga kualitasnya saja. Untuk menjaga kualitas inilah kenapa segala bentuk hoax dan fitnah yang merusak cara berpikir itu mesti di tolak. Ini tidak hanya sekedar prilaku negatif dalam politik yang berbasis kebohongan, tapi juga membuat masyarakat tidak mampu melihat gambaran realitas apa adanya.



Begitu juga dalam model pembiayaan aktivitas politik. Sejak pilpres 2014, setidaknya sudah ada masyarakat yang tidak lagi menerima investasi dari tokoh-tokoh politik tapi bersedia berinvestasi kepada tokoh-tokoh politik yang hendak mereka dukung. Seperti yang diberitakan Republika (baca di sini),  sumbangan perorangan untuk pasangan Jokowi-Jusuf Kala mencapai 42 miliar lebih sedangkan sumbangan perorangan untuk pasangan Prabowo-Hatta Rajasa 2,1 miliar selama masa kampanye.

Trend investasi masyarakat ini terus berlanjut hingga ke Pilkada DKI. Seperti diberitakan Detik (baca di sini),  pada putaran pertama, pasangan Ahok-Djarot berhasil menghimpun 18 miliar lebih sumbangan dana kampaye dari perorangan, pasangan Agus-Silvy menghimpun 4,4 miliar lebih.  Agak berbeda untuk pasangan Anis-Sandi. Dari total 35 miliar lebih dana yang terkumpul, 34 miliar lebih disumbangkan oleh Sandi pribadi. Malah, pasangan Ahok-Djarot pada putaran pertama, mensetorkan 1,7 miliar dana kampanye ke kas negara karena penyumbangnya tidak menyertai sumbangannya dengan surat pernyataan menyumbang (baca di sini).

Pada putaran kedua, seperti diberitakan Merdeka (baca di sini),  Ahok-Djarot berhasil menghimpun 10,1 miliar sumbangan dana kampaye perseorangan dari total 27,8 miliar total dana yang terkumpul. Sedangkan Anis-Sandi, dari total 18 miliar yang terkumpul, 16 miliar berasal dari Sandi pribadi. Untuk daerah yang lain memang belum sempat saya lacak soal trend sumbangan perseorangan ini, tapi setidaknya yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017 bisa jadi model bagi daerah lainnya.

Terlepas dari bagaimana hasil pilpres dan Pilkada DKI itu, trend sumbangan perorangan dari masyarakat ini adalah perubahan fundamental dari model pembiayaan politik kita. Jadi baju kaos kampaye, bendera dan atribut lainnya itu bukan lagi murni dari dompet kandidat, tapi ada juga partisipasi publik di sana.

Semestinya, memang masyarakat lah yang berinvestasi pada proses seleksi pemimpin sehingga meminalisir cost politik yang ditanggung secara individu oleh kandidat. Dengan demikian politisi dapat melaksanakan tugas-tugasnya tanpa beban ekonomi berlebihan dan bisa menjaga independensi dan integritasnya dari godaan para petualang APBN, APBD atau bentuk penyimpangan keuangan lainnya.

Bahasa ringkasnya, semakin berkuranglah kewajiban pengembalian uang yang digunakan sebagai modal politik dalam masa jabatan jika si kandidat berhasil mememangkan pemilihan. Kewajiban itu berubah menjadi kewajiban harus bekerja sungguh-sungguh demi masyarakat yang telah berinvestasi kepada si kandidat sehingga pemimpin terpilih itu bisa fokus mengerjakan apa yang diprioritaskannya.

Sekarang, di Pilkada 2018 ini bisa juga di test. Sekiranya para kandidat ini membuka ruang untuk sumbangan perorangan, kira-kira anda bersedia atau tidak menyumbangkan dana untuk mensuport kampanyenya atau anda lebih senang diberikan “sesuatu” oleh para kandidat itu? Atau kira-kira pasangan kandidat yang mana yang paling memunculkan animo dan ekspektasi publik sehingga publik bersedia untuk menyumbang dana kampanye?

Ini penting untuk mengukur seberapa besar pengaruh uang kepada pemilih walaupun pengalaman yang lalu di DKI Jakarta, penerima sumbangan terbesar belum tentu memenangkan pilkada karena berbagai alasan yang lain. Tapi, ini bisa dijadikan ukuran seberapa besar kemampuan kandidat itu untuk mendorong partisipasi publik dalam proses demokrasi di luar pemberian suara di TPS.



Seandainya anda lebih senang diberikan “sesuatu” oleh kandidat yang bersumber dari dana individual kandidat, anda tidak bisa menuntut atau berkomentar banyak terhadap tidak maksimalnya kinerja kandidat itu di masa jabatan karena sejak awal anda sudah “di beli”.

Jika trend sumbangan dana perorangan ini terus berlanjut dan bisa dipertahankan, kesempatan untuk orang-orang baik yang memiliki dana terbatas dan diyakini memiliki kemampuan untuk memimpin akan terbuka lebar. Dan, kesempatan untuk politisi dadakan atau politisi minim prestasi yang mengandalkan uang banyak akan semakin sempit.

Apakah ini berarti berpolitik itu tidak perlu uang? Tentu saja bukan. Aktivitas politik itu tetap saja perlu biaya. Untuk wara-wiri si politisi dibutuhkan ongkos. Untuk membiayai orang-orang yang bekerja demi kepentingan si politisi juga dibutuhkan ongkos. Tapi yang perlu dipastikan adalah tidak ada dan tidak perlu ada biaya yang digunakan untuk “menyogok” kita, para pemilik suara. Jika mereka ingin kita pilih, mereka harus tunjukan alasan yang menarik minat kita selain uang.

Bagaimana dengan ajakan ambil uangnya, jangan pilih orangnya? Saya sama sekali tidak setuju. Ajakan ini mengajak masyarakat untuk menjadi pembohong dan penjahat. Ambil uangnya dengan janji akan memilih kandidat yang diberikan uang, tapi tidak ditepati (pembohong) dan ambil uangnya tapi tidak dipilih di TPS (penipuan/penjahat).


Tapi saya setuju jika slogannya adalah jangan ambil uangnya dan jangan pilih orangnya.

Nah, dalam pandangan saya, murah atau mahalnya politik itu tergantung selera para pemilih. Jika para pemilihnya harus didekati dengan cara-cara yang membutuhkan dana besar, maka mahal lah politik itu dan hasilnya hampir bisa dipastikan berbanding terbalik dengan harapan. Sebaliknya, jika pemilihnya tidak perlu didekati dengan metode-metode berbiaya tinggi, lebih mengandalkan prestasi diri, murah lah politik itu dan hasilnya akan lebih maksimal karena para politisi mau tidak mau harus memacu prestasi dirinya meski kemanfaatan langsung dari kinerjanya mungkin tidak dapat dirasakan saat itu juga.

Jadi bro, inilah saatnya kita menjadi pemilih yang berintegritas dan cerdas. Bukan hanya politisi dan penyelenggara pemilu atau pilkada saja yang dituntut berintegritas, kita para pemilih juga. Dan melihat trend yang ada dan animo masyarakat yang muncul meski tidak semua, saya optimis dunia politik kita akan menjadi lebih baik. Kita telah terlalu lama merasakan akibat dari cara-cara lama berpolitik itu.

Begitulah…
Note: Gambar untuk tulisan ini diambil dari http://www.limit.promo/2017/02/memilih-pemimpin-ber-uang-atau-ber.html.

2 comments:

  1. Sukses uda Arief Wahyudi Semangat dan terus berkarya...
    Semoga dengan tulisan ini mampu merubah perspektif masyarakat dalam menetapkan pilihan ..

    ReplyDelete
  2. Terimakasih prima nanda, semoga bermanfaat...

    ReplyDelete