Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Monday, January 22, 2018

CUKUP, TAK INGIN HATI KU MEMBEKU






“Kau tidak perlu berpikir, cukup mendengarkan saja yang aku sampaikan”, katanya kepada ku.

“Mengapa begitu?” tanya ku.

“Aku telah memikirkan segalanya untuk mu. Aku telah mempertimbangkan segalanya mu. Aku lebih mengetahui dari mu. Kau cukup mendengarkan saja apa yang hendak ku katakan. Kau tidak mungkin lebih benar dari ku dan yang kusampaikan ini sudah ku renungkan dan ku pelajari lama sekali. Aku lah syarat bagi mu”. Katanya dengan pasti.




“Tuan, tak boleh aku berpikir tentang diri ku sendiri?” tanya ku penuh harap.

“Tidak, berpikir bukan hak mu. Otak mu tak mampu memahami segala sesuatu”, jawabnya pongah.

“Tuan, tidak kah kau juga bisa salah walau hanya sekali?” aku mulai membantah.

“Tidak, aku pasti benar. Aku lebih mengetahui apa yang kau butuhkan dibandingkan dirimu sendiri. Dengarkan dan ikutilah apa yang ku katakan jika kau ingin selamat seperti mereka yang lain itu. Jika aku menyeru sesuatu kepada mu, kau cukup kerjakan saja. Tak perlu kau berpikir”, jawabnya namun terdengar seperti dengungan lalat di telinga ku. Dan aku mulai muak walau mereka yang lain itu mengangguk takzim.



Aku tak tahan lagi. “Tuan, yang kau lihat berbeda dengan yang ku lihat. Yang kau katakan, berbeda dengan yang ku rasakan. Yang kau pikirkan, tak masuk akal bagi ku. Dan yang kau minta ku percaya dengan cara mu itu, tak dapat ku percaya. Aku sudah membaca yang selama ini kau sembunyikan dan dusta mu yang kau tutupi itu. Aku juga tahu yang kau katakan tidak sama dengan yang kau lakukan. Kau sama sekali tidak membuat ku tenang. Setiap kau berkata, dada ku kau buat bergejolak marah entah untuk alasan apa, dan angkara murka naik ke ubun-ubun ku”.

Dia marah dengan segala sumpah serapahnya memaki ku. Air liurnya membuncah mengiringi kata-kata. Mereka yang lain di ruangan itu juga ikut mencaci seolah mereka orkestra dengan nada yang menyakitkan telinga.


“Tuan, aku tidak lagi akan mendengar mu karena mata dan telinga mu tak lagi berfungsi”, kata ku sambil berlalu pergi.

“Kembali kau atau kau tersesat!” hardiknya keras sekali. “Mata ku bisa melihat mu, telingaku bisa mendengar mu”, katanya

“Benar, mata biologis mu dan telinga biologis mu masih ada. Tapi, mata mu tak lagi mampu melihat keadaan dan telinga mu tak lagi mampu mendengarkan suara-suara selain suara mu. Mereka tidak lagi mampu menyampaikan pesan kepada akal dan nurani mu”, kata ku ketika membuka pintu.

“Tuan, walaupun tidak dengan cara yang kau inginkan, aku menyakini apa yang kita yakini dengan sepenuh hati ku dan mungkin keyakinan ku lebih besar dibandingkan dengan keyakinan yang ada dalam diri mu”, kata ku lagi sambil melangkah keluar dari ruangan itu dan menutup pintu.  



“Kembali kau!” jeritnya dari dalam.

“Cukup sudah, tuan. Aku tidak ingin hati ku membeku”. Lalu aku berlalu pergi menuju jalan ku.

Entah apa sumpah serapah yang diucapkannya dengan lidahnya yang tajam itu. Aku tidak lagi peduli.

Begitulah...


Note: Terimakasih untuk Hasan van Lopha yang telah mengobrak-abrik google untuk membuat ilustrasi fiksi ini.

No comments:

Post a Comment