“Kau tidak perlu berpikir, cukup mendengarkan saja
yang aku sampaikan”, katanya kepada ku.
“Mengapa begitu?” tanya ku.
“Aku telah memikirkan segalanya untuk mu. Aku telah
mempertimbangkan segalanya mu. Aku lebih mengetahui dari mu. Kau cukup
mendengarkan saja apa yang hendak ku katakan. Kau tidak mungkin lebih benar
dari ku dan yang kusampaikan ini sudah ku renungkan dan ku pelajari lama sekali.
Aku lah syarat bagi mu”. Katanya dengan pasti.
“Tuan, tak boleh aku berpikir tentang diri ku
sendiri?” tanya ku penuh harap.
“Tidak, berpikir bukan hak mu. Otak mu tak mampu
memahami segala sesuatu”, jawabnya pongah.
“Tuan, tidak kah kau juga bisa salah walau hanya
sekali?” aku mulai membantah.
“Tidak, aku pasti benar. Aku lebih mengetahui apa
yang kau butuhkan dibandingkan dirimu sendiri. Dengarkan dan ikutilah apa yang
ku katakan jika kau ingin selamat seperti mereka yang lain itu. Jika aku
menyeru sesuatu kepada mu, kau cukup kerjakan saja. Tak perlu kau berpikir”,
jawabnya namun terdengar seperti dengungan lalat di telinga ku. Dan aku mulai
muak walau mereka yang lain itu mengangguk takzim.
Aku tak tahan lagi. “Tuan, yang kau lihat berbeda
dengan yang ku lihat. Yang kau katakan, berbeda dengan yang ku rasakan. Yang
kau pikirkan, tak masuk akal bagi ku. Dan yang kau minta ku percaya dengan cara
mu itu, tak dapat ku percaya.
Aku sudah membaca yang selama ini kau sembunyikan dan dusta mu yang kau tutupi
itu. Aku juga tahu yang kau katakan tidak sama dengan yang kau lakukan. Kau sama
sekali tidak membuat ku tenang. Setiap kau berkata, dada ku kau buat bergejolak
marah entah untuk alasan apa,
dan angkara murka naik ke ubun-ubun ku”.
Dia
marah dengan segala sumpah serapahnya memaki ku. Air liurnya membuncah
mengiringi kata-kata. Mereka yang lain di ruangan itu juga ikut mencaci seolah
mereka orkestra dengan nada yang menyakitkan telinga.
“Tuan, aku tidak lagi akan mendengar mu karena mata
dan telinga mu tak lagi berfungsi”, kata ku sambil berlalu pergi.
“Kembali kau atau kau tersesat!” hardiknya keras
sekali. “Mata ku bisa melihat mu, telingaku bisa mendengar mu”, katanya
“Benar, mata biologis mu dan telinga biologis mu
masih ada. Tapi, mata mu
tak lagi mampu melihat keadaan dan telinga mu tak lagi mampu mendengarkan suara-suara selain suara
mu. Mereka tidak lagi mampu menyampaikan pesan
kepada akal dan nurani mu”, kata ku ketika membuka pintu.
“Tuan, walaupun tidak dengan cara yang kau inginkan,
aku menyakini apa yang kita yakini dengan sepenuh hati ku dan mungkin keyakinan
ku lebih besar dibandingkan dengan keyakinan yang ada dalam diri mu”, kata ku
lagi sambil melangkah keluar dari ruangan itu dan menutup pintu.
“Kembali kau!” jeritnya dari dalam.
“Cukup sudah, tuan. Aku tidak ingin hati ku
membeku”. Lalu aku berlalu pergi menuju jalan ku.
Entah apa sumpah serapah yang diucapkannya dengan
lidahnya yang tajam itu. Aku tidak lagi peduli.
Begitulah...
No comments:
Post a Comment