Dulu
nenek moyang kita berjuang untuk mempertahankan kerajaannya masing-masing dari
gempuran kerajaan-kerajaan lainnya.
Kemudian,
nenek moyang kita berjuang masing-masing untuk mempertahankan kerajaannya dari
hegemoni barat (dan Jepang) yang datang menjelajah kemudian menjajah
bermodalkan teknologi dan otak yang menjadikan nenek moyang kita
sebagai objek penelitiaan dan rekayasa prilaku sambil sumber daya alam kita di
jarah untuk memperkaya negaranya.
Kemudian,
nenek moyang kita berjuang untuk menyatukan rasa dan kesadaran bersama bahwa
kita sama-sama sependeritaan sebagai bangsa terjajah. MEREKA TELAH BERSUMPAH
UNTUK MENYATUKAN DIRI.
Kemudian,
nenek moyang kita berjuang untuk mendapatkan satu kata yang sangat berharga
sebagai bangsa dan negara, yakni "merdeka". Yang akhirnya didapat dan
disegerakan oleh desakan pemuda brilian anak ibu pertiwi dan dilangsungkan orang-orang
tua negarawan putra-putri ibu pertiwi.
Kemudian,
nenek moyang kita masih harus menderita mempertahankan kata
"merdeka" itu dari bangsa penjajah yang tak rela melepas sumber
kekayaan negaranya begitu saja.
Sampai
saat itu, tak terhitung berapa darah yang tumpah, nyawa yang melayang, harta
benda yang menghilang, orang tua yang kehilangan anaknya, istri yang kehilangan
suaminya, anak-anak yang kehilangan orang tuanya demi negara yang sekarang kita
bisa ongkang-ongkang kaki di atas tanahnya sambil berkecamuk di sosial media.
Saat itu, tak pernah ditanya darah yang tumpah itu, nyawa
yang melayang itu, agamanya apa, suku apa, budayanya bagaimana, adatnya seperti apa, aliran politiknya bagaimana, kelompok keyakinannya yang mana, hartanya
berapa banyak, orang tuanya siapa, dan apa yang didapatkannya dari darah dan
nyawa yang telah diikhlaskan itu.
Mereka semua disatukan segala perbedaannya dibawah
kesepakatan bangsa yang terdiri dari lima sila yang diberi nama PANCASILA. Mereka
telah mengakui bahwa mereka berbeda-beda dalam banyak hal dan menerima segala
perbedaan itu untuk bersatu menjadi bangsa INDONESIA.
Mereka hanya tahu bahwa mereka ingin negaranya sendiri,
yang berdaulat sendiri dengan kesadaran bahwa mereka satu bangsa, satu tanah
air, dan satu bahasa, INDONESIA. Lalu, biarlah anak cucu yang menikmati dan
mereka cukup kita sebut dengan kata “Pahlawan” yang sebagian besarnya kita
bahkan tidak mengenalnya dan tak tahu
dimana kuburannya.
Kemudian, perjuangan mulai berubah, tidak lagi melawan
penjelajah yang datang untuk menjajah, tapi bergeliat seputar flatform bernegara yang tak lagi cukup
dengan mengingat para pemuda yang telah mengangkat sumpah sebagai saudara
sebangsa. Kemana negara muda ini mau dibawa? Itulah pertanyaan pokoknya pada
perjuangan era lama ini. Beberapa bagian dari sejarah para orang tua kita mulai
menjadikan sesama mereka menjadi musuh bagi yang lain dan menumpahkan darah saudara-saudara
sendiri dalam pergulatan itu. Lalu apa yang didapat dari nyawa-nyawa yang juga
tumpah itu? tidak lain hanyalah catatan sejarah bahwa kita masih saja
berdarah-darah yang entah untuk apa.
Kemudian masuk era baru yang lebih tenang. Sangat tenang,
karena suara-suara yang lantang memang tidak dikehendaki. Beberapa yang berani
bersuara menghilang dan tak kunjung bersua. Ada juga yang mati tak jelas ujung pangkalnya sehingga sanak keluarga
tidak bisa mengabarkan mereka mati karena musibah apa. Sebagian yang sedang berada di luar negeri sana tak bisa pulang karena ketakutan
akan luka-luka lama yang tak disembuhkan. Luka-luka lama itu dibiarkan terus menganga untuk memperpanjang saling
curiga, samentara sebagian kalangan sibuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Sebagian besarnya lagi, terlelap dalam nyanyian nina bobok yang syahdu sambil menonton tv hitam putih tanpa remot kontrol yang akhirnya masuk
juga ke rumah-rumah mereka dengan channel yang hanya satu-satunya. Lalu
perjuangannya berubah menjadi perjuangan agar suara-suara bisa disampaikan dan
didengarkan karena demokrasi substansial tak kunjung didapatkan serta terus
tenggelam oleh demokrasi
semu yang membungkus tirani dan kediktatoran.
Negara yang tenang itu, ternyata begitu rapuh meski
berdiri cukup lama dan pondasinya tak kuat menahan gelombang anak-anak muda
yang ingin berbicara dan didengarkan sambil menanggung beban krisis ekonomi yang
bersimaharaja lela dan tak kunjung sembuh. Runtuh lah era baru itu. Mereka yang
ingin bersuara, mendapatkan hak nya untuk bersuara. Tapi mereka lupa menyiapkan
pengganti yang layak untuk keadaan yang tidak sempurna yang mesti
direformasi itu.
Kemudian, setelah suara-suara bebas lepas di udara,
kita masih harus terus berjuang melawan penjarah kulit, bulu, daging, tulang
dan isi perut ibu pertiwi. Ironis, ibu pertiwi tidak lagi dijarah oleh bangsa
penjelajah yang datang menjajah tapi oleh putra-putrinya sendiri yang dibawah
kitab sucinya masing-masing telah bersumpah untuk amanah. Lalu penjarahan ibu
pertiwi meluas dari hanya beberapa titik menjadi bertitik-titik.
Untungnya, dengan adanya suara-suara yang bebas itu
membuat kita lebih mudah mengindentifikasi penjarah dan penikmat kekuasaan
untuk diri sendiri yang menjadi duri dalam daging kemajuan negeri. Dari menangkap
kepala desa saja susah, sekarang pimpinan lembaga tinggi setingkat Presiden pun
tak luput dari upaya pemberantasan para penjarah dan sudah ada yang merasakan
dinginnya lantai penjara serta segala drama ternyata tak berkerja seperti biasa.
Konon pula level anggota dan kroco-kroconyo.
Mereka, para penjarah itu menjadi tontonan buat kita meskipun
yang tidak bergetar hatinya tanpa malu tersenyum ke kamera pewarta. Keluarga,
anak istri tak luput dari hinaan dan caci maki kita. Ini mengapa para penjarah yang
menjadi duri dalam daging ibu pertiwi itu gemetaran giginya setiap kali negara serius
ingin hendak mengandangkan mereka. Jadi wajar saja jika dengan segala cara
mereka berusaha untuk meluluskan syahwat penjarah mereka itu. Sekali lagi,
untung saja seluruh tirai yang menutupi ruang gelap itu sedikit demi sedikit
semakin terbuka.
Bebasnya suara-suara itu dan penyaringan para penjarah
adalah berkah reformasi yang paling terasa.
Lalu sekarang, kita sedang berjuang untuk apa?
Idealnya, inilah saat kita semestinya berjuang bersama
untuk menjadikan ibu pertiwi duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan
negara-negara yang di cap sebagai negara maju di dunia. Kita tidak kekurangan
apapun untuk itu. Sehingga kita harus segara keluar dari predikat negara
berkembang dan naik level ke negara maju yang beradab dengan indeks prestasi
korupsi dan layanan publik terbaik di dunia, bukan termasuk terburuk.
Ngak lucu aja, masa’ di negara yang kita semua
beragama tapi prestasi tidak korupsinya juara dari bawah. Kemana kita letakan
Tuhan Yang Maha Esa yang kita percaya itu?
Tapi suara-suara yang bebas itu ternyata terlalu
bising. Banyak yang berbicara seenak perutnya saja tanpa peduli kata-kata itu
akan membuat hati saudara sebangsanya terluka. Sebagian menghianati sumpah
bersatu pemuda dengan menguatkan identitasnya sendiri dan mempertajam perbedaan
seolah-olah negara hanya mereka dan kelompok mereka sajalah yang punya dan yang
lain sekedar numpang nongkrong. Sebagian lagi seperti anak kecil yang baru
belajar bicara sehingga semua hal dibicarakan tanpa kontrol akal yang dewasa.
Pejabat negara yang seharusnya duduk bareng
merencanakan masa depan negara sibuk beratraksi, saling sikut demi kepentingan
sendiri. Malah, ada yang tak malu-malu mempertanyakan kehadiran negara
seolah-olah mereka dan lembaga mereka bukan penyelenggara negara dan tak ikut
bertanggung jawab untuk bermacam masalah itu.
Para oknum oportunis yang menyamar menjadi politisi
berebut kursi dengan mengandalkan uang mereka. Setelah, menang dan berhak atas
kursi, kursi itu sebagiannya dibiarkan kosong melompong saat paripurna. Mereka tak
hadir meski hanya untuk tidur di sana.
Sebagian rakyat yang tak tahan melihat oknum oportunis
semakin kaya, minta jatah untuk menyogok suara mereka dan menggadaikan nasib
mereka lima tahun ke tangan orang yang sulit dipercaya komitmennya terhadap
amanah. Tak pandai menentukan siapa yang benar-benar tepat disebut sebagai
pemimpin.
Sebagian ahli menolak absurditas dengan absurditas
yang baru lagi, juga menolak caci maki sambil terus memproduksi idiom-idiom
baru untuk menyemarakan caci maki. Muncul tokoh-tokoh yang dikhultuskan bak
dewa. Dan, negara yang sudah berumur panjang ini diperlakukan seolah-olah baru
berdiri tiga tahun.
Sebagian orang berlomba mengelompokan diri dan
membentuk kerumunan massa sebagai penguat posisi tawar dalam banyak hal dan
kadang berkelahi dengan saudara sebangsanya sendiri. Anak-anak muda yang
seharusnya menguncang dunia dengan karya berlomba-lomba masuk penjara karena tawuran,
narkoba, begal juga hoax, ujaran kebencian, fitnah, caci maki, hinaan, yang
menjadi santapan sehari-hari dan tersalur melalui jari-jari yang kerjanya jauh
lebih cepat dari kerja otaknya. Oknum guru memukul atau mencabuli muridnya. Oknum
murid memukul gurunya bahkan ada yang sampai mati. Orang tua menjadikan polisi
sebagai alat untuk mengancam guru yang mendidik anaknya.
Lalu urusan-urusan kita hanya terdiri dari dua pasal
saja. Pasal satu aku tidak pernah salah dan pasal dua, jika aku salah lihat
pasal satu. Kita seolah-olah lupa bahwa bangsa ini didirikan dengan darah yang
tumpah dari para pahlawan yang telah menyingkirkan egonya demi sebuah negara
dan bangsa. Kita lupa memberikan gizi bermanfaat untuk penguatan otak generasi
dan vitamin yang berguna untuk kesehatan hati generasi
Dari sisi teknologi kita memang semakin canggih, tapi
di sisi kelakuan dan adab kita semakin tak berbudaya. Bahkan masyarakat adat
yang mempertahan tradisionalitasnya di era modern ini tampil lebih terhormat. Wajar
kalau sang begawan hukum alm Prof. Satjipto Rahardjo pernah bertanya, INI
DEMOKRASI ATAU BANGKITNYA PREMAN? (baca di sini)
Syukur alhamdulillah, diantara kebisingan itu, masih
banyak sekali juga kabar gembira yang membuat aku tetap optimis bahwa masa depan
ibu pertiwi akan cerah.
Aku setiap hari bertemu dengan ratusan mahasiswa yang
tak lelah mengembangkan dirinya meski kebanyakan mereka tak lagi bersedia ikut
demonstrasi di sana-sini. Mereka terus mengasah diri dan tak lupa bahwa mereka
adalah manusia yang beragama. Aku tak jarang ikut sholat berjamaah dengan
mereka. Yang Kristen terus mengembangkan kegiatan kerohanian mereka di sela
waktu belajar. Fakta bahwa mereka memiliki keyakinan religiusitas yang tidak sama
sudah kusaksikan sendiri ternyata tak menghalangi mereka bekerjasama. Mereka paham
bahwa otak dan hati mereka adalah investasi masa depan bagi ibu Pertiwi.
Kemaren masuk informasi di grup WA ku, bahwa ada
seorang mahasiswi kampus ku berhasil menggondol medali emas untuk di bawa
pulang ke Indonesia pada pertandingan dunia Wushu yang diselenggarakan di
Moscow sana. Dulu, aku juga saksikan talkshow yang menghadirkan seorang pemuda
yang rela bekerja di bengkel dan hasil kerjanya itu dibelikan sepeda motor dan
buku-buku untuk dijadikan pustaka keliling demi meningkatkan budaya baca
anak-anak di daerahnya.
Ada juga alumni kampus ku yang memilih tak pulang ke
kampung halamannya dan tak mencari kota besar untuk bekerja tapi mengabdikan
diri di Papua sana demi berkontribusi untuk meningkatkan derajat
saudara-suadara kita yang jauh dari ibu kota yang selama ini terlupakan. Ada
juga mahasiswa ku yang hampir setiap minggu artikel opininya di muat di
berbagai surat kabar.
Ada juga kabar gembira tentang petenis putri yang
berhasil meningkatkan level mereka di kompetisi tenis internasional. Ada juga
musisi Indonesia yang menciptakan nyanyian dan arasemen musik yang dinyanyikan
oleh fans Liverpool di Anfield sebelum Liverpool berlaga dan nama Indonesia di
sebut-sebut di sana. Dan banyak lagi yang tak mungkin dirincikan di sini.
Mereka-mereka inilah pejuang-pejuang zaman now, bukan
petualang zaman now. Mereka memulai perjuangannya dari hal yang paling
mendasar, yakni merubah dan mencerdaskan diri sendiri untuk menghasilkan
karya-karya. Melalui karya, mereka angkat ibu pertiwi di kepala mereka meski
agama, keyakinan, suku, ras mungkin berbeda-beda. Aku sangat berharap semangat
juang mereka tidak surut dan kemudian turut larut dalam carut marut yang ada.
Jadi, jika aku ditanya sekarang kita berjuang untuk
apa, aku akan jawab bahwa seharusnya kita sekarang berjuang untuk mengangkat
derajat kita agar kita bisa menegakan kepala kita sebagai bagian dari
masyarakat dunia dan menjadi corong peradaban manusia modern yang tak lupa pada
Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk perjuangan ini, tidak bisa tidak mesti melalui
karya. Karya ini hanya bisa dihasilkan kalau kita mengenali potensi dasar kita
dan masalah-masalah yang mesti dituntaskan dengan prioritas-prioritas yang
diutamakan. Potensi dan masalah-masalah ini tak akan bisa dikenali jika kita
tidak jujur menilai diri sendiri dan menerima penilaian orang tentang kita. Karya-karya
ini tidak akan bisa dimaksimalkan kalau kita tidak bersatu dan meninggalkan ego
masing-masing untuk kebersamaan.
Kita harus terus mengingat bahwa negara ini, bangsa
ini, didirikan dengan mengorbankan banyak nyawa dan menumpahkan banyak darah yang
telah bersumpah untuk bersatu sebagai satu bangsa. Jika negara ini jalan
ditempat dan kita tidak memajukan diri, kita telah menyia-nyiakan pengorbanan
itu.
Nah, para pejuang zaman now, teruslah berkarya. Melalui
karya mu kutitipkan rasa bangga, karena kita saudara sebangsa. Abaikan saja
mereka yang hoby bertengkar itu. Kita tidak membutuhkan yang seperti itu
ditengah lapangan perjuangan mengangkat Ibu Pertiwi kita.
Begitulah…
No comments:
Post a Comment