Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Thursday, February 22, 2018

SEKARANG KITA MEMPERJUANGKAN APA?



http://rfwahyudi.blogspot.co.id

Dulu nenek moyang kita berjuang untuk mempertahankan kerajaannya masing-masing dari gempuran kerajaan-kerajaan lainnya.

Kemudian, nenek moyang kita berjuang masing-masing untuk mempertahankan kerajaannya dari hegemoni barat (dan Jepang) yang datang menjelajah kemudian menjajah bermodalkan teknologi dan otak yang menjadikan nenek moyang kita sebagai objek penelitiaan dan rekayasa prilaku sambil sumber daya alam kita di jarah untuk memperkaya negaranya.


Kemudian, nenek moyang kita berjuang untuk menyatukan rasa dan kesadaran bersama bahwa kita sama-sama sependeritaan sebagai bangsa terjajah. MEREKA TELAH BERSUMPAH UNTUK MENYATUKAN DIRI.

Kemudian, nenek moyang kita berjuang untuk mendapatkan satu kata yang sangat berharga sebagai bangsa dan negara, yakni "merdeka". Yang akhirnya didapat dan disegerakan oleh desakan pemuda brilian anak ibu pertiwi dan dilangsungkan orang-orang tua negarawan putra-putri ibu pertiwi.

Kemudian, nenek moyang kita masih harus menderita mempertahankan kata "merdeka" itu dari bangsa penjajah yang tak rela melepas sumber kekayaan negaranya begitu saja.

Sampai saat itu, tak terhitung berapa darah yang tumpah, nyawa yang melayang, harta benda yang menghilang, orang tua yang kehilangan anaknya, istri yang kehilangan suaminya, anak-anak yang kehilangan orang tuanya demi negara yang sekarang kita bisa ongkang-ongkang kaki di atas tanahnya sambil berkecamuk di sosial media.

Saat itu, tak pernah ditanya darah yang tumpah itu, nyawa yang melayang itu, agamanya apa, suku apa, budayanya bagaimana, adatnya seperti apa, aliran politiknya bagaimana, kelompok keyakinannya yang mana, hartanya berapa banyak, orang tuanya siapa, dan apa yang didapatkannya dari darah dan nyawa yang telah diikhlaskan itu.

Mereka semua disatukan segala perbedaannya dibawah kesepakatan bangsa yang terdiri dari lima sila yang diberi nama PANCASILA. Mereka telah mengakui bahwa mereka berbeda-beda dalam banyak hal dan menerima segala perbedaan itu untuk bersatu menjadi bangsa INDONESIA.

Mereka hanya tahu bahwa mereka ingin negaranya sendiri, yang berdaulat sendiri dengan kesadaran bahwa mereka satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, INDONESIA. Lalu, biarlah anak cucu yang menikmati dan mereka cukup kita sebut dengan kata “Pahlawan” yang sebagian besarnya kita bahkan tidak mengenalnya dan tak tahu dimana kuburannya. 

Kemudian, perjuangan mulai berubah, tidak lagi melawan penjelajah yang datang untuk menjajah, tapi bergeliat seputar flatform bernegara yang tak lagi cukup dengan mengingat para pemuda yang telah mengangkat sumpah sebagai saudara sebangsa. Kemana negara muda ini mau dibawa? Itulah pertanyaan pokoknya pada perjuangan era lama ini. Beberapa bagian dari sejarah para orang tua kita mulai menjadikan sesama mereka menjadi musuh bagi yang lain dan menumpahkan darah saudara-saudara sendiri dalam pergulatan itu. Lalu apa yang didapat dari nyawa-nyawa yang juga tumpah itu? tidak lain hanyalah catatan sejarah bahwa kita masih saja berdarah-darah yang entah untuk apa.

Kemudian masuk era baru yang lebih tenang. Sangat tenang, karena suara-suara yang lantang memang tidak dikehendaki. Beberapa yang berani bersuara menghilang dan tak kunjung bersua. Ada juga yang mati tak jelas ujung pangkalnya sehingga sanak keluarga tidak bisa mengabarkan mereka mati karena musibah apa. Sebagian yang sedang berada di luar negeri sana tak bisa pulang karena ketakutan akan luka-luka lama yang tak disembuhkan. Luka-luka lama itu dibiarkan terus menganga untuk memperpanjang saling curiga, samentara sebagian kalangan sibuk memperkaya diri dan kelompoknya.

Sebagian besarnya lagi, terlelap dalam nyanyian nina bobok yang syahdu sambil menonton tv hitam putih tanpa remot kontrol yang akhirnya masuk juga ke rumah-rumah mereka dengan channel yang hanya satu-satunya. Lalu perjuangannya berubah menjadi perjuangan agar suara-suara bisa disampaikan dan didengarkan karena demokrasi substansial tak kunjung didapatkan serta terus tenggelam oleh demokrasi semu yang membungkus tirani dan kediktatoran.

Negara yang tenang itu, ternyata begitu rapuh meski berdiri cukup lama dan pondasinya tak kuat menahan gelombang anak-anak muda yang ingin berbicara dan didengarkan sambil menanggung beban krisis ekonomi yang bersimaharaja lela dan tak kunjung sembuh. Runtuh lah era baru itu. Mereka yang ingin bersuara, mendapatkan hak nya untuk bersuara. Tapi mereka lupa menyiapkan pengganti yang layak untuk keadaan yang tidak sempurna yang mesti direformasi itu.

Kemudian, setelah suara-suara bebas lepas di udara, kita masih harus terus berjuang melawan penjarah kulit, bulu, daging, tulang dan isi perut ibu pertiwi. Ironis, ibu pertiwi tidak lagi dijarah oleh bangsa penjelajah yang datang menjajah tapi oleh putra-putrinya sendiri yang dibawah kitab sucinya masing-masing telah bersumpah untuk amanah. Lalu penjarahan ibu pertiwi meluas dari hanya beberapa titik menjadi bertitik-titik.

Untungnya, dengan adanya suara-suara yang bebas itu membuat kita lebih mudah mengindentifikasi penjarah dan penikmat kekuasaan untuk diri sendiri yang menjadi duri dalam daging kemajuan negeri. Dari menangkap kepala desa saja susah, sekarang pimpinan lembaga tinggi setingkat Presiden pun tak luput dari upaya pemberantasan para penjarah dan sudah ada yang merasakan dinginnya lantai penjara serta segala drama ternyata tak berkerja seperti biasa. Konon pula level anggota dan kroco-kroconyo.

Mereka, para penjarah itu menjadi tontonan buat kita meskipun yang tidak bergetar hatinya tanpa malu tersenyum ke kamera pewarta. Keluarga, anak istri tak luput dari hinaan dan caci maki kita. Ini mengapa para penjarah yang menjadi duri dalam daging ibu pertiwi itu gemetaran giginya setiap kali negara serius ingin hendak mengandangkan mereka. Jadi wajar saja jika dengan segala cara mereka berusaha untuk meluluskan syahwat penjarah mereka itu. Sekali lagi, untung saja seluruh tirai yang menutupi ruang gelap itu sedikit demi sedikit semakin terbuka.  

Bebasnya suara-suara itu dan penyaringan para penjarah adalah berkah reformasi yang paling terasa.

Lalu sekarang, kita sedang berjuang untuk apa?

Idealnya, inilah saat kita semestinya berjuang bersama untuk menjadikan ibu pertiwi duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan negara-negara yang di cap sebagai negara maju di dunia. Kita tidak kekurangan apapun untuk itu. Sehingga kita harus segara keluar dari predikat negara berkembang dan naik level ke negara maju yang beradab dengan indeks prestasi korupsi dan layanan publik terbaik di dunia, bukan termasuk terburuk.

Ngak lucu aja, masa’ di negara yang kita semua beragama tapi prestasi tidak korupsinya juara dari bawah. Kemana kita letakan Tuhan Yang Maha Esa yang kita percaya itu?

Tapi suara-suara yang bebas itu ternyata terlalu bising. Banyak yang berbicara seenak perutnya saja tanpa peduli kata-kata itu akan membuat hati saudara sebangsanya terluka. Sebagian menghianati sumpah bersatu pemuda dengan menguatkan identitasnya sendiri dan mempertajam perbedaan seolah-olah negara hanya mereka dan kelompok mereka sajalah yang punya dan yang lain sekedar numpang nongkrong. Sebagian lagi seperti anak kecil yang baru belajar bicara sehingga semua hal dibicarakan tanpa kontrol akal yang dewasa.

Pejabat negara yang seharusnya duduk bareng merencanakan masa depan negara sibuk beratraksi, saling sikut demi kepentingan sendiri. Malah, ada yang tak malu-malu mempertanyakan kehadiran negara seolah-olah mereka dan lembaga mereka bukan penyelenggara negara dan tak ikut bertanggung jawab untuk bermacam masalah itu.

Para oknum oportunis yang menyamar menjadi politisi berebut kursi dengan mengandalkan uang mereka. Setelah, menang dan berhak atas kursi, kursi itu sebagiannya dibiarkan kosong melompong saat paripurna. Mereka tak hadir meski hanya untuk tidur di sana.

Sebagian rakyat yang tak tahan melihat oknum oportunis semakin kaya, minta jatah untuk menyogok suara mereka dan menggadaikan nasib mereka lima tahun ke tangan orang yang sulit dipercaya komitmennya terhadap amanah. Tak pandai menentukan siapa yang benar-benar tepat disebut sebagai pemimpin.

Sebagian ahli menolak absurditas dengan absurditas yang baru lagi, juga menolak caci maki sambil terus memproduksi idiom-idiom baru untuk menyemarakan caci maki. Muncul tokoh-tokoh yang dikhultuskan bak dewa. Dan, negara yang sudah berumur panjang ini diperlakukan seolah-olah baru berdiri tiga tahun.

Sebagian orang berlomba mengelompokan diri dan membentuk kerumunan massa sebagai penguat posisi tawar dalam banyak hal dan kadang berkelahi dengan saudara sebangsanya sendiri. Anak-anak muda yang seharusnya menguncang dunia dengan karya berlomba-lomba masuk penjara karena tawuran, narkoba, begal juga hoax, ujaran kebencian, fitnah, caci maki, hinaan, yang menjadi santapan sehari-hari dan tersalur melalui jari-jari yang kerjanya jauh lebih cepat dari kerja otaknya. Oknum guru memukul atau mencabuli muridnya. Oknum murid memukul gurunya bahkan ada yang sampai mati. Orang tua menjadikan polisi sebagai alat untuk mengancam guru yang mendidik anaknya.

Lalu urusan-urusan kita hanya terdiri dari dua pasal saja. Pasal satu aku tidak pernah salah dan pasal dua, jika aku salah lihat pasal satu. Kita seolah-olah lupa bahwa bangsa ini didirikan dengan darah yang tumpah dari para pahlawan yang telah menyingkirkan egonya demi sebuah negara dan bangsa. Kita lupa memberikan gizi bermanfaat untuk penguatan otak generasi dan vitamin yang berguna untuk kesehatan hati generasi

Dari sisi teknologi kita memang semakin canggih, tapi di sisi kelakuan dan adab kita semakin tak berbudaya. Bahkan masyarakat adat yang mempertahan tradisionalitasnya di era modern ini tampil lebih terhormat. Wajar kalau sang begawan hukum alm Prof. Satjipto Rahardjo pernah bertanya, INI DEMOKRASI ATAU BANGKITNYA PREMAN? (baca di sini)

Syukur alhamdulillah, diantara kebisingan itu, masih banyak sekali juga kabar gembira yang membuat aku tetap optimis bahwa masa depan ibu pertiwi akan cerah.

Aku setiap hari bertemu dengan ratusan mahasiswa yang tak lelah mengembangkan dirinya meski kebanyakan mereka tak lagi bersedia ikut demonstrasi di sana-sini. Mereka terus mengasah diri dan tak lupa bahwa mereka adalah manusia yang beragama. Aku tak jarang ikut sholat berjamaah dengan mereka. Yang Kristen terus mengembangkan kegiatan kerohanian mereka di sela waktu belajar. Fakta bahwa mereka memiliki keyakinan religiusitas yang tidak sama sudah kusaksikan sendiri ternyata tak menghalangi mereka bekerjasama. Mereka paham bahwa otak dan hati mereka adalah investasi masa depan bagi ibu Pertiwi.

Kemaren masuk informasi di grup WA ku, bahwa ada seorang mahasiswi kampus ku berhasil menggondol medali emas untuk di bawa pulang ke Indonesia pada pertandingan dunia Wushu yang diselenggarakan di Moscow sana. Dulu, aku juga saksikan talkshow yang menghadirkan seorang pemuda yang rela bekerja di bengkel dan hasil kerjanya itu dibelikan sepeda motor dan buku-buku untuk dijadikan pustaka keliling demi meningkatkan budaya baca anak-anak di daerahnya.

Ada juga alumni kampus ku yang memilih tak pulang ke kampung halamannya dan tak mencari kota besar untuk bekerja tapi mengabdikan diri di Papua sana demi berkontribusi untuk meningkatkan derajat saudara-suadara kita yang jauh dari ibu kota yang selama ini terlupakan. Ada juga mahasiswa ku yang hampir setiap minggu artikel opininya di muat di berbagai surat kabar.  

Ada juga kabar gembira tentang petenis putri yang berhasil meningkatkan level mereka di kompetisi tenis internasional. Ada juga musisi Indonesia yang menciptakan nyanyian dan arasemen musik yang dinyanyikan oleh fans Liverpool di Anfield sebelum Liverpool berlaga dan nama Indonesia di sebut-sebut di sana. Dan banyak lagi yang tak mungkin dirincikan di sini.

Mereka-mereka inilah pejuang-pejuang zaman now, bukan petualang zaman now. Mereka memulai perjuangannya dari hal yang paling mendasar, yakni merubah dan mencerdaskan diri sendiri untuk menghasilkan karya-karya. Melalui karya, mereka angkat ibu pertiwi di kepala mereka meski agama, keyakinan, suku, ras mungkin berbeda-beda. Aku sangat berharap semangat juang mereka tidak surut dan kemudian turut larut dalam carut marut yang ada.

Jadi, jika aku ditanya sekarang kita berjuang untuk apa, aku akan jawab bahwa seharusnya kita sekarang berjuang untuk mengangkat derajat kita agar kita bisa menegakan kepala kita sebagai bagian dari masyarakat dunia dan menjadi corong peradaban manusia modern yang tak lupa pada Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk perjuangan ini, tidak bisa tidak mesti melalui karya. Karya ini hanya bisa dihasilkan kalau kita mengenali potensi dasar kita dan masalah-masalah yang mesti dituntaskan dengan prioritas-prioritas yang diutamakan. Potensi dan masalah-masalah ini tak akan bisa dikenali jika kita tidak jujur menilai diri sendiri dan menerima penilaian orang tentang kita. Karya-karya ini tidak akan bisa dimaksimalkan kalau kita tidak bersatu dan meninggalkan ego masing-masing untuk kebersamaan.

Kita harus terus mengingat bahwa negara ini, bangsa ini, didirikan dengan mengorbankan banyak nyawa dan menumpahkan banyak darah yang telah bersumpah untuk bersatu sebagai satu bangsa. Jika negara ini jalan ditempat dan kita tidak memajukan diri, kita telah menyia-nyiakan pengorbanan itu.

Nah, para pejuang zaman now, teruslah berkarya. Melalui karya mu kutitipkan rasa bangga, karena kita saudara sebangsa. Abaikan saja mereka yang hoby bertengkar itu. Kita tidak membutuhkan yang seperti itu ditengah lapangan perjuangan mengangkat Ibu Pertiwi kita.

Begitulah…

No comments:

Post a Comment