Sekarang kata dibatasi ini menjadi
topik hangat.
Ada yang setuju dan ada yang tidak
setuju.
Yang setuju demi menghormati orang
lain.
Yang tidak setuju demi kebebasan
berekspresi.
Saya membayangkan anak-anak dengan
orang tua mereka.
Mungkin hal yang paling
menjengkelkan baginya adalah ketika ada keinginannya tidak dipenuhi. Pada
keadaan ini para orang tua mungkin sekali akan dituduh tidak sayang, pelit,
tidak mengerti dan seterusnya. Bagi mereka, kebenaran adalah miliknya. Sulit
utk meminta anak-anak memahami pembatasan yang dibuat orang tuanya.
Pada sisi orang tua, keadaan yang
menjengkelkan barangkali ketika anak mereka tidak mengikuti batasan-batasan
yang ditentukan. Padahal maksud pembatasan itu tidak lain karena rasa sayang
dan masa depan sang anak. Cukup banyak yg luput memperhatikan apakah pembatasan
itu tepat atau cara membatasinya tepat untuk kebutuhan anak yang sedang
berkembang. Disisi ini kebenaran adalah milik para orang tua.
Inilah dilematisnya dibatasi:)
Seandainya pikiran dan nurani kita
bekerja sebagai mana layaknya yang dianugrahkan kepada kita, kata dibatasi ini
tidak diperlukan. Keberadaban akan muncul dengan sendirinya. Tidak perlu
khawatir ekspresi orang lain akan mencelakai kita dan tidak perlu juga
menentukan bagaimana bentuk ekspresi itu. Keadaan ideal, semua orang menjaga
dirinya dari mencelakai orang lain dan menghormati orang lain dengan
kehendaknya sendiri.
Tapi keadaanya tidak ideal. Masih
diperlukan dorongan dari luar diri individu untuk saling menghormati.
Kalau memang kesadaran sendiri sulit
untuk diharapkan, ya sudah, batasi saja dan konsekuensinya akan ditanggung
bersama-sama. Walaupun, menyedihkan sekali bahwa dalam masyarakat beragama yang
beradab, ternyata masih diperlukan ancaman pidana untuk melindungi orang lain
dari lidah-lidah yang tajam.
Berekspresilah secara
bertanggungjawab dan bertanggungjawablah untuk ekspresi yang dilakukan.
Semoga semakin banyak orang yang
dewasa:)
Begitulah...
No comments:
Post a Comment