Terlebih dahulu mesti di jelaskan bahwa judul
tulisan ini diakhiri dengan tanda tanya. Artinya judul ini adalah pertanyaan,
bukan pernyataan. Dan tulisan ini khusus untuk membahas soal pilihan-pilihan politik dalam
politik kenegaraan. Sudut pandang yang digunakan pada tulisan ini juga
sudut pandang pemilih. Paham bedanya kan bro:)
Pertanyaan itulah yang menghiasi hari-hari kita
belakangan ini kalau sudah berbicara soal politik pemilihan umum atau pilkada di
negeri ini, terutama sejak Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017. Diskursus ini
berpotensi untuk mengoyak rasa persatuan kita. Pertanyaan ini juga sedang
menguji keber-agama-an kita, keber-Pancasila-an kita dan ke ber-NKRI-an kita.
Juga sedang di uji kapasitas kita sebagai warga negara, orang beragama dan
warganegara yang beragama.
Kalau dilakukan pendalaman yang lebih jauh terhadap
konten diskursus itu, sebenarnya persoalannya bukan pada agamanya, tapi pada
bagaimana prilaku keber-agama-an menjiwai aktifitas
pelaku politik dan bagaimana agama
digunakan pada perhelatan politik yang ada. Dari sini setidaknya bisa diajukan
beberapa pertanyaan lagi, yakni:
- Bagaimana memisahkan orang beragama dari agamanya karena pilihan politik?
- Tidak bolehkah kita menggunakan alasan seagama sebagai pertimbangan pilihan politik?
- Tidak bolehkah kita memilih warga negara yang dianggap layak meski tidak seagama?
Untuk yang pertama, rasanya tidak mungkin
memisahkan orang beragama dari agamanya hanya karena pilihan politik.
Bagaimana cara memisahkannya?
Jika orang memilih untuk menganut agama, tentunya dia meyakini agama yang
dianutnya sebagai pilihan yang tepat
untuk dirinya meski dalam konteks pilihan politiknya bisa beragam dengan
bermacam alasan pula. Oleh karena itu, pilihan politik sulit untuk dijadikan alat untuk menguji seberapa kuat atau lemahnya
keyakinan seseorang terhadap agamanya apalagi dengan adanya
perbedaan-berbedaan tafsir terhadap teks-teks keagamaan pada konteks hubungan
manusia dengan Tuhan
dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Jika kemudian orang memilih untuk mendukung orang
lain yang tidak seagama, belum tentu dia memilih untuk keluar dari agamanya,
bisa jadi karena pertimbangan yang lain, misalnya kapasitas kandidat yang ada
dan ekspektasi terhadap kebutuhan daerah saat itu atau pertimbangan lainnya. Demikian
juga jika orang memilih kandidat dengan alasan seagama dengannya, belum tentu
yang bersangkutan berada dalam keadaan sesempurna-sempurnanya beragama.
Di
Indonesia, sudah biasa
partai politik yang mengusung agama sebagai platfrom politiknya pada daerah tertentu memilih untuk mendukung
pasangan kandidat atau
orang yang berbeda agama dengan alasan komposisi penduduk atau alasan lainnya.
Pilihan ini bukan
berarti anggota parpol itu telah keluar atau pindah dari agamanya atau
kehilangan keyakinan terhadap agamanya atau berubah platform partainya.
Di negara demokratis lainnya, seperti Inggris, Sadiq Khan berhasil menjadi
Walikota Muslim
pertama dengan suara 57
persen di London meski warga Muslim di sana minoritas (hanya
12% dari komposisi penduduk) dan bukan berarti warga London yang beragama lain (kristen
yang mayoritas/48,4%, Yahudi dan Ateis) kemudian menjadi Muslim semua atau dijauhkan
dari ajaran agamanya masing-masing. Baca di si).
Untuk yang kedua, pada konteks demokrasi
sah-sah saja jika orang kemudian memilih kandidat dengan alasan seagama. Malah,
jika negara kemudian melarang orang memilih karena agamanya, demokrasi di
negara itu patut dipertanyakan. Pada
Konstitusi Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya juga tidak ada
larangan. Pada sejarah panjang perpolitikan
diberbagai belahan dunia, agama juga sering digunakan sebagai salah satu modal
politik bahkan di negara yang dikategorikan maju
sekalipun. Jadi, jika ada
orang yang memilih karena alasan kandidat tersebut seagama dengannya, itu bukan
kejahatan demokrasi. Ini kenapa saya agak heran kemaren
ada yang kirim meme ke fanspage
fesbuk saya bahwa demokrasi menjauhkan kita dari agama.
Yang menjadi permasalahan di sini adalah,
jika sentimen keagamaan (bukan nilai-nilainya) di eksplorasi sebagai modal
kapital politik sehingga yang muncul bukan nilai-nilai agamanya, tapi polarisasi dan
perbedaan aliran-aliran serta paham ber-agamanya. Eksplorasi ini dapat memunculkan
distingsi yang tajam antar penganut agama berbeda bahkan antar paham berbeda dalam agama
yang sama karena pilihan
politik.
Lalu yang terjadi bukannya
internalisasi nilai-nilai keagamaan pada kehidupan berpolitik, tapi adu kuat
tafsir terhadap dalil-dalil keagamaan serta duel kesolehan untuk membenarkan pandangan masing-masing dan terjadinya pemaksaan kehendak yang
kemudian dimanfaatkan guna kepentingan politik. Pada konteks inilah muncul
istilah agama sebagai alat politik, yakni menggunakan jargon keagamaan untuk
menegasikan hak orang lain yang memilih berdasarkan kapasitas kandidat meski tidak seagama.
Untuk yang ketiga,
konstitusi negaralah tolok ukurnya. Secara konstitusional semua warga negara
berhak untuk berkompetisi guna meraih jabatan politik tertentu dengan
persyaratan yang di atur oleh undang-undang. Tidak ada undang-undang di
Indonesia yang mensyaratkan agama tertentu untuk jabatan politis tertentu juga
tidak ada undang-undang di Indonesia yang mengharuskan orang harus menganut
agama tertentu untuk memilih kandidat tertentu. Oleh karenanya semua warga
negara berhak untuk dipilih dan memilih berdasarkan selera politiknya
masing-masing. Dengan demikian, memilih warga negara
yang dianggap layak meski tidak seagama juga bukan kejahatan demokrasi di Indonesia.
Pada konteks ini, kapasitas
kandidat dan ekspektasi terhadap apa yang mampu dilakukan oleh kandidat itu
serta kepentingan negara/daerah yang menjadi pertimbangan utamanya. Di
Indonesia, contohnya adalah terpilihnya Hendrata Thes di Kabupaten Sula, Maluku
Utara yang mayoritas Islam dan juga didukung oleh partai yang ber platform keagamaan (lihat di sini).
Di negara yang lain, bukan
hanya Sidiq Khan yang berhasil menjadi walikota meski keyakinan keagamaannya di
posisi minoritas. Hal yang sama juga pernah dialami oleh Arturo Cerulli
(Muhamed Arturo) yang menjadi Walikota Muslim pertama di Italia di
kota Monte Argentario (baca di sini).
Ada juga Mohammed Hameeduddin, walikota Teaneck, Burgen Country, New Jersey,
Amerika Serikat. Ada juga Jilani Chowdhury, Walikota Islington, Inggris. Ada
juga Ahmed Aboutaleb, Walikota di Rotterdam, Belanda. Ada juga Muhammad
Abdullah Salique, walikota Tower Hamlets, London Raya, Inggris. Ada juga Naheed
Kurban Nenshi, Walikota Caglary, Alberta, Kanada (baca di sini).
Ada juga Dr. Saud Anwar,
walikota beragama Islam di South Windsor, sebuah
kota di negara bagian Connecticut,
Amerika Serikat yang hanya memiliki 100 penduduk beragama Islam dari 26.000
penduduk di sana (baca di sini). Mereka semua berhasil membuktikan diri dengan
kapasitas yang dimilikinya meski menjadi minoritas dalam hal keyakinan agama di
negaranya masing-masing. Jadi mereka adalah orang-orang berkapasitas politik
baik yang beragama sehingga publik di sana kemudian menerimanya secara individu
dan juga tidak mempermasalahkan fakta bahwa agamanya minoritas di sana.
Permasalahan yang muncul terkait
pertanyaan ketiga ini di Indonesia
adalah pilihan berdasarkan kapasitas kandidat ini kemudian juga digunakan untuk
menegasikan hak orang lain untuk memilih berdasarkan kesamaan agamanya seperti
halnya pada pertanyaan yang kedua. Seolah-olah
itu alasan yang keliru. Padahal memilih kandidat karena kesamaan agama atau
karena alasan kapasitas kandidat sah-sah saja di Indonesia. Yang tidak pantas
itu adalah menghakimi pilihan politik orang lain, apalagi menggunakan
informasi-informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk penghakiman
itu.
Ketiga pertanyaan di atas
mewakili sudut pandang yang berbeda dalam diskursus wacana relasi politik dan
agama di Indonesia. Yang pertama
sudut pandangnya individu dengan agamanya, yang kedua sudut pandangnya orang beragama dengan negaranya sedangkan
yang ketiga sudut pandangnya orang
bernegara yang beragama dengan negaranya.
Titik fokus pada salah satu view pada wacana politik yang menyebabkan
seolah-olah adanya persimpangan antara politik dan agama. Terfokusnya diskursus
pada titik view tertentu juga
mengaburkan fokus yang seharusnya pada kontestasi politik, yaitu apa yang
dibutuhkan untuk daerah/negara di masa yang akan datang dan kandidat seperti
apa yang cocok untuk diamanahkan dalam tanggungjawab itu.
Dalam pandangan saya,
diskursus yang memunculkan seolah-olah adanya persimpangan antara politik dan
agama ini tidak perlu ada di Indonesia. Negara ini dibangun atas dasar
keyakinan ke-Ilahian dan pengakuan religiusitas itu menjadi bagian yang
mengawali ideologi dan konstitusi negara. Jelas di pembukaan UUD 1945 dinyatakaan
bahwa negara dimerdekakan “Atas berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan
didorongkan oleh keinginan luhur…”. Karena itu keyakinan terhadap Allah Yang
Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Esa, telah menjadi dasar bagi warga negara meski
dalam implementasinya bisa muncul cara meyakini atau paham-paham yang berbeda.
Dengan alasan ini pula
pertanyaan perlukah memisahkan agama dan politik di Indonesia menjadi tidak
relevan, karena para aktor-aktor politiknya adalah orang beragama yang berpolitik dan para pemilihnya adalah orang-orang beragama yang memilih kandidat
sesuai dengan kehendaknya masing-masing. Bukankah kita semua orang beragama
walaupun berbeda-beda dalam memahami agama kita? Karena itu keseluruhan view itu mesti dilihat sebagai kewajaran
di Indonesia.
Tantangan sesungguhnya dalam
diskursus ini di Indonesia adalah bagaimana membingkai urusan-urusan politik
dengan nilai-nilai keagamaan bukan nilai-nilai keagamaan dibingkai untuk
urusan-urusan politik. Jadi nilai-nilai keagamaan lah yang menjadi roh
perpolitikan, bukan kepentingan-kepentingan politik yang menjadi roh
keber-agama-an.
Jika saja urusan-urusan
politik kita dibingkai dengan nilai-nilai keagamaan dan kita benar-benar tunduk
kepada kebesaran Allah SWT dalam kegiatan politik, tentunya korupsi, terutama
untuk alasan-alasan politik tidak akan ada. Kecurangan-kecurangan dalam
kontestasi tidak akan ada. Politik yang mengandalkan uang dan biaya tinggi
tidak perlu dilakukan. Memproduksi dan menyebarluaskan provokasi, hoax, fitnah,
berita pelintiran, caci-maki tidak akan dilakukan. Dan, kandidat yang tidak
amanah setelah terpilih tidak akan banyak. Bagaimana mungkin orang beragama
melakukan itu semua dalam kegiatan politiknya?
Jadi, kalau dalam pilihan
politik kita ingin memilih dengan alasan kesamaan agama, silahkan. Memilih dengan
alasan kapasitas kandidat dan ekspektasi kebernegaraan juga silahkan. Itu hak
masing-masing. Apa yang terbaik untuk kepentingan bersama dan tercapainya
tujuan bernegaralah yang seharusnya menjadi orientasi politik. Begitulah seharusnya
kita orang Indonesia di Indonesia.
Memang, kandidat, konsultan
politik atau tim suksesnya kandidat tentu saja akan menggunakan isu-isu yang
paling strategis untuk meraup suara termasuk agama. Itu tak bisa kita atur-atur.
Tapi, tak perlu juga gara-gara berbeda pilihan politik kita menjadi ribut-ribut
dan rusak persatuan, rusak persaudaran, rusak pertemanan, hilang rasa hormat
kepada tokoh-tokoh dan sesama kita. Tak perlu juga kita tidak beragama karena
politik dan tak perlu juga kita tidak berpolitik karena agama.
Begitulah…
Note: Terimakasih kepada Hasan Van Lopha untuk design ilustrasinya buat tulisan ini.
Note: Terimakasih kepada Hasan Van Lopha untuk design ilustrasinya buat tulisan ini.
No comments:
Post a Comment