Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Wednesday, February 28, 2018

AGAMA DAN POLITIK DIPISAHKAN PADA PILIHAN POLITIK?

By Hasan Van Lopha


Terlebih dahulu mesti di jelaskan bahwa judul tulisan ini diakhiri dengan tanda tanya. Artinya judul ini adalah pertanyaan, bukan pernyataan. Dan tulisan ini khusus untuk membahas soal pilihan-pilihan politik dalam politik kenegaraan. Sudut pandang yang digunakan pada tulisan ini juga sudut pandang pemilih. Paham bedanya kan bro:)


Pertanyaan itulah yang menghiasi hari-hari kita belakangan ini kalau sudah berbicara soal politik pemilihan umum atau pilkada di negeri ini, terutama sejak Pilpres 2014 dan Pilkada DKI 2017. Diskursus ini berpotensi untuk mengoyak rasa persatuan kita. Pertanyaan ini juga sedang menguji keber-agama-an kita, keber-Pancasila-an kita dan ke ber-NKRI-an kita. Juga sedang di uji kapasitas kita sebagai warga negara, orang beragama dan warganegara yang beragama.



Kalau dilakukan pendalaman yang lebih jauh terhadap konten diskursus itu, sebenarnya persoalannya bukan pada agamanya, tapi pada bagaimana prilaku keber-agama-an menjiwai aktifitas pelaku politik  dan bagaimana agama digunakan pada perhelatan politik yang ada. Dari sini setidaknya bisa diajukan beberapa pertanyaan lagi, yakni:


  1. Bagaimana memisahkan orang beragama dari agamanya karena pilihan politik?
  2. Tidak bolehkah kita menggunakan alasan seagama sebagai pertimbangan pilihan politik?
  3. Tidak bolehkah kita memilih warga negara yang dianggap layak meski tidak seagama?


Untuk yang pertama, rasanya tidak mungkin memisahkan orang beragama dari agamanya hanya karena pilihan politik. Bagaimana cara memisahkannya? Jika orang memilih untuk menganut agama, tentunya dia meyakini agama yang dianutnya sebagai pilihan yang tepat untuk dirinya meski dalam konteks pilihan politiknya bisa beragam dengan bermacam alasan pula. Oleh karena itu, pilihan politik sulit untuk dijadikan alat untuk menguji seberapa kuat atau lemahnya keyakinan seseorang terhadap agamanya apalagi dengan adanya perbedaan-berbedaan tafsir terhadap teks-teks keagamaan pada konteks hubungan manusia dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.

Jika kemudian orang memilih untuk mendukung orang lain yang tidak seagama, belum tentu dia memilih untuk keluar dari agamanya, bisa jadi karena pertimbangan yang lain, misalnya kapasitas kandidat yang ada dan ekspektasi terhadap kebutuhan daerah saat itu atau pertimbangan lainnya. Demikian juga jika orang memilih kandidat dengan alasan seagama dengannya, belum tentu yang bersangkutan berada dalam keadaan sesempurna-sempurnanya beragama.

Di Indonesia, sudah biasa partai politik yang mengusung agama sebagai platfrom politiknya pada daerah tertentu memilih untuk mendukung pasangan kandidat atau orang yang berbeda agama dengan alasan komposisi penduduk atau alasan lainnya. Pilihan ini bukan berarti anggota parpol itu telah keluar atau pindah dari agamanya atau kehilangan keyakinan terhadap agamanya atau berubah platform partainya. Di negara demokratis lainnya, seperti Inggris, Sadiq Khan berhasil menjadi Walikota Muslim pertama dengan suara 57 persen di London meski warga Muslim di sana minoritas (hanya 12% dari komposisi penduduk) dan bukan berarti warga London yang beragama lain (kristen yang mayoritas/48,4%, Yahudi dan Ateis)  kemudian menjadi Muslim semua atau dijauhkan dari ajaran agamanya masing-masing. Baca di si).      



Untuk yang kedua, pada konteks demokrasi sah-sah saja jika orang kemudian memilih kandidat dengan alasan seagama. Malah, jika negara kemudian melarang orang memilih karena agamanya, demokrasi di negara itu patut dipertanyakan. Pada Konstitusi Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya juga tidak ada larangan. Pada sejarah panjang perpolitikan diberbagai belahan dunia, agama juga sering digunakan sebagai salah satu modal politik bahkan di negara yang dikategorikan maju sekalipun. Jadi, jika ada orang yang memilih karena alasan kandidat tersebut seagama dengannya, itu bukan kejahatan demokrasi. Ini kenapa saya agak heran kemaren ada yang kirim meme ke fanspage fesbuk saya bahwa demokrasi menjauhkan kita dari agama.

Yang menjadi permasalahan di sini adalah, jika sentimen keagamaan (bukan nilai-nilainya) di eksplorasi sebagai modal kapital politik sehingga yang muncul bukan nilai-nilai agamanya, tapi polarisasi dan perbedaan aliran-aliran serta paham ber-agamanya. Eksplorasi ini dapat memunculkan distingsi yang tajam antar penganut agama berbeda bahkan antar paham berbeda dalam agama yang sama karena pilihan politik.

Lalu yang terjadi bukannya internalisasi nilai-nilai keagamaan pada kehidupan berpolitik, tapi adu kuat tafsir terhadap dalil-dalil keagamaan serta duel kesolehan untuk membenarkan pandangan masing-masing dan terjadinya pemaksaan kehendak yang kemudian dimanfaatkan guna kepentingan politik. Pada konteks inilah muncul istilah agama sebagai alat politik, yakni menggunakan jargon keagamaan untuk menegasikan hak orang lain yang memilih berdasarkan kapasitas kandidat meski tidak seagama.



Untuk yang ketiga, konstitusi negaralah tolok ukurnya. Secara konstitusional semua warga negara berhak untuk berkompetisi guna meraih jabatan politik tertentu dengan persyaratan yang di atur oleh undang-undang. Tidak ada undang-undang di Indonesia yang mensyaratkan agama tertentu untuk jabatan politis tertentu juga tidak ada undang-undang di Indonesia yang mengharuskan orang harus menganut agama tertentu untuk memilih kandidat tertentu. Oleh karenanya semua warga negara berhak untuk dipilih dan memilih berdasarkan selera politiknya masing-masing. Dengan demikian, memilih warga negara yang dianggap layak meski tidak seagama juga bukan kejahatan demokrasi di Indonesia.

Pada konteks ini, kapasitas kandidat dan ekspektasi terhadap apa yang mampu dilakukan oleh kandidat itu serta kepentingan negara/daerah yang menjadi pertimbangan utamanya. Di Indonesia, contohnya adalah terpilihnya Hendrata Thes di Kabupaten Sula, Maluku Utara yang mayoritas Islam dan juga didukung oleh partai yang ber platform keagamaan (lihat di sini).

Di negara yang lain, bukan hanya Sidiq Khan yang berhasil menjadi walikota meski keyakinan keagamaannya di posisi minoritas. Hal yang sama juga pernah dialami oleh Arturo Cerulli (Muhamed Arturo) yang menjadi Walikota Muslim pertama di Italia di kota Monte Argentario (baca di sini). Ada juga Mohammed Hameeduddin, walikota Teaneck, Burgen Country, New Jersey, Amerika Serikat. Ada juga Jilani Chowdhury, Walikota Islington, Inggris. Ada juga Ahmed Aboutaleb, Walikota di Rotterdam, Belanda. Ada juga Muhammad Abdullah Salique, walikota Tower Hamlets, London Raya, Inggris. Ada juga Naheed Kurban Nenshi, Walikota Caglary, Alberta, Kanada (baca di sini).

Ada juga Dr. Saud Anwar, walikota beragama Islam di South Windsor, sebuah kota di negara bagian Connecticut, Amerika Serikat yang hanya memiliki 100 penduduk beragama Islam dari 26.000 penduduk di sana (baca di sini).  Mereka semua berhasil membuktikan diri dengan kapasitas yang dimilikinya meski menjadi minoritas dalam hal keyakinan agama di negaranya masing-masing. Jadi mereka adalah orang-orang berkapasitas politik baik yang beragama sehingga publik di sana kemudian menerimanya secara individu dan juga tidak mempermasalahkan fakta bahwa agamanya minoritas di sana.

Permasalahan yang muncul terkait pertanyaan ketiga ini di Indonesia adalah pilihan berdasarkan kapasitas kandidat ini kemudian juga digunakan untuk menegasikan hak orang lain untuk memilih berdasarkan kesamaan agamanya seperti halnya pada pertanyaan yang kedua. Seolah-olah itu alasan yang keliru. Padahal memilih kandidat karena kesamaan agama atau karena alasan kapasitas kandidat sah-sah saja di Indonesia. Yang tidak pantas itu adalah menghakimi pilihan politik orang lain, apalagi menggunakan informasi-informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk penghakiman itu.



Ketiga pertanyaan di atas mewakili sudut pandang yang berbeda dalam diskursus wacana relasi politik dan agama di Indonesia. Yang pertama sudut pandangnya individu dengan agamanya, yang kedua sudut pandangnya orang beragama dengan negaranya sedangkan yang ketiga sudut pandangnya orang bernegara yang beragama dengan negaranya.

Titik fokus pada salah satu view pada wacana politik yang menyebabkan seolah-olah adanya persimpangan antara politik dan agama. Terfokusnya diskursus pada titik view tertentu juga mengaburkan fokus yang seharusnya pada kontestasi politik, yaitu apa yang dibutuhkan untuk daerah/negara di masa yang akan datang dan kandidat seperti apa yang cocok untuk diamanahkan dalam tanggungjawab itu.

Dalam pandangan saya, diskursus yang memunculkan seolah-olah adanya persimpangan antara politik dan agama ini tidak perlu ada di Indonesia. Negara ini dibangun atas dasar keyakinan ke-Ilahian dan pengakuan religiusitas itu menjadi bagian yang mengawali ideologi dan konstitusi negara. Jelas di pembukaan UUD 1945 dinyatakaan bahwa negara dimerdekakan “Atas berkat Rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Karena itu keyakinan terhadap Allah Yang Maha Kuasa, Tuhan Yang Maha Esa, telah menjadi dasar bagi warga negara meski dalam implementasinya bisa muncul cara meyakini atau paham-paham yang berbeda.

Dengan alasan ini pula pertanyaan perlukah memisahkan agama dan politik di Indonesia menjadi tidak relevan, karena para aktor-aktor politiknya adalah orang beragama yang berpolitik dan para pemilihnya adalah orang-orang beragama yang memilih kandidat sesuai dengan kehendaknya masing-masing. Bukankah kita semua orang beragama walaupun berbeda-beda dalam memahami agama kita? Karena itu keseluruhan view itu mesti dilihat sebagai kewajaran di Indonesia.



Tantangan sesungguhnya dalam diskursus ini di Indonesia adalah bagaimana membingkai urusan-urusan politik dengan nilai-nilai keagamaan bukan nilai-nilai keagamaan dibingkai untuk urusan-urusan politik. Jadi nilai-nilai keagamaan lah yang menjadi roh perpolitikan, bukan kepentingan-kepentingan politik yang menjadi roh keber-agama-an.

Jika saja urusan-urusan politik kita dibingkai dengan nilai-nilai keagamaan dan kita benar-benar tunduk kepada kebesaran Allah SWT dalam kegiatan politik, tentunya korupsi, terutama untuk alasan-alasan politik tidak akan ada. Kecurangan-kecurangan dalam kontestasi tidak akan ada. Politik yang mengandalkan uang dan biaya tinggi tidak perlu dilakukan. Memproduksi dan menyebarluaskan provokasi, hoax, fitnah, berita pelintiran, caci-maki tidak akan dilakukan. Dan, kandidat yang tidak amanah setelah terpilih tidak akan banyak. Bagaimana mungkin orang beragama melakukan itu semua dalam kegiatan politiknya?



Jadi, kalau dalam pilihan politik kita ingin memilih dengan alasan kesamaan agama, silahkan. Memilih dengan alasan kapasitas kandidat dan ekspektasi kebernegaraan juga silahkan. Itu hak masing-masing. Apa yang terbaik untuk kepentingan bersama dan tercapainya tujuan bernegaralah yang seharusnya menjadi orientasi politik. Begitulah seharusnya kita orang Indonesia di Indonesia.

Memang, kandidat, konsultan politik atau tim suksesnya kandidat tentu saja akan menggunakan isu-isu yang paling strategis untuk meraup suara termasuk agama. Itu tak bisa kita atur-atur. Tapi, tak perlu juga gara-gara berbeda pilihan politik kita menjadi ribut-ribut dan rusak persatuan, rusak persaudaran, rusak pertemanan, hilang rasa hormat kepada tokoh-tokoh dan sesama kita. Tak perlu juga kita tidak beragama karena politik dan tak perlu juga kita tidak berpolitik karena agama.

Begitulah… 

Note: Terimakasih kepada Hasan Van Lopha untuk design ilustrasinya buat tulisan ini. 

No comments:

Post a Comment