Oleh:
Arief Wahyudi
Semestinya persoalan toleran atau tidak ini tidak
perlu menjadi pembahasan pada saat dimana kita semua seharusnya dalam keadaan
kompak karena wabah Covid-19. Tapi, beberapa peristiwa memunculkan kebutuhan bahwa
diskursus ini perlu diberikan respon. Karena ketidakdewasaan dalam berbuat dan
bertindak, akhirnya yang tak perlu dibahas menjadi penting dibicarakan.
Mengapa begitu? Karena muncul peristiwa-peristiwa ditengah-tengah
Covid-19 yang harusnya tidak perlu terjadi jika toleransi itu ada. Contoh peristiwa
itu diantaranya penghentian paksa sekelompok orang yang sedang beribadah di
rumah, kasus “nasi anjing”, sampai penutupan paksa warung tuak. Pemaknaan saya
terhadap peristiwa tersebut adalah bahwa, ternyata wabah Covid-19 yang melanda
semua orang, tak cukup untuk menyadarkan kita bahwa kita sama-sama manusia dan
sama-sama sedang terancam wabah dan kita masih saja punya problem serius soal
pemaknaan toleransi dalam konstruksi sosial.
Seperti apa pemaknaan saya terhadap konsep
toleransi, sudah pernah saya tuliskan di Fanspage FB saya (silahkan baca di sini).
pada tulisan ini saya kembali menuliskan ulang tulisan tersebut dengan memotong
beberapa bagian yang tidak relevan dan penyesuaian dengan peristiwa yang
terjadi akhir-akhir ini.
Pertanyaannya adalah, pada peristiwa-peristiwa
tersebut di atas, siapakah yang sebenarnya tidak toleran?
Toleransi itu bukan soal keyakinan, tapi soal interaksi
sosial. Karenanya tidak ada hubungan toleransi dengan apa keyakinan yang dianut.
Juga sedikit sekali relevansi toleransi dengan jumlah mayoritas atau minoritas
meskipun komposisi ini bisa menjadi alas model prilakunya pada konteks sosial. Siapa
saja, dimana saja, dari keyakinan apa saja, bisa toleran bisa juga tidak
toleran.
Karena toleransi bukan soal keyakinan, maka konsep
toleransi tidak menuntut penambahan, pengurangan, penyesuaian atau bahkan
penghilangan nilai-nilai yang diyakini. Yang menjadi pokok pada konsep
toleransi itu adalah bagaimana orang dengan keyakinannya masing-masing bisa
saling berintekraksi tanpa saling menyakiti di ruang sosial.
Kata kunci dari sikap toleran itu adalah menahan
diri dan pengurangan hasrat atau kehendak. Orang yang tak mau menahan diri dan menjadikan
hasratnya atau kehendaknya sebagai tolok ukur dalam interaksi sosial bisa
dikatakan intoleran, siapapun dia, dimanapun dia, apapun keyakinannya.
Pada relasi sosial, mungkin muncul perbedaan
kepentingan dari individu atau kelompok yang berbeda keyakinan. Pada moment
inilah seseorang atau kelompok diuji kebertoleransiannya. Jika salah satu berkendak
atau berhasrat agar pihak lain menyesuaikan diri dengan kehendaknya dan menjadikan
kehendaknya itu sebagai syarat dalam interaksi sosialnya, terjadilah intoleransi. Jadi,
bukan soal apa keyakinannya, juga bukan soal berapa jumlahnya, tapi soal
bagaimana prilakunya dalam interaksi sosial. Bisa terjadi yang mayoritas
memaksakan kehendak, bisa juga terjadi yang minoritas memaksakan kehendak.
Jadi, toleransi itu muncul saat masing-masing pihak
bisa menahan diri dan mengurangi kehendak atau hasrat untuk mengekspresikan
keyakinan pada interaksi sosial jika ekspresi itu berpotensi menyakiti atau
memunculkan konflik. Tidak bisa orang diminta bertoleransi, sementara diri
sendiri tidak toleran kepada orang lain. Inilah sebabnya mengapa toleransi itu
tidak berhubungan dengan keyakinan tapi soal bagaimana orang-orang akan saling
berinteraksi pada ruang sosial yang beragam keyakinan.
Nah, apakah peristiwa seperti pelarangan orang
beribadah, “nasi anjing”, penutupan warung tuak adalah bentuk intoleransi? Menurut
saya ya, itu adalah bentuk intoleransi. Lalu siapa yang tidak toleran pada peristiwa-peristiwa
tersebut? Silahkan dianalisis menurut pemaknaan masing-masing.
Bagi saya sendiri, jika toleransi itu dimaknai
sebagai menahan diri dan pengurangan hasrat atau kehendak pada ruang sosial,
maka semua yang terlibat pada peristiwa itu sama-sama tidak toleran termasuk
orang-orang yang kemudian memprovokasi agar peristiwa-peristiwa tersebut “membesar”.
Mengapa begitu? karena masing-masing mengutamakan hasratnya dan memaksakan
kehendak kepada pihak lainnya serta sama-sama menjadikan persepsi sendiri sebagai
tolok ukur kebenaran.
Dalam kaitannya dengan Covid-19, hemat saya, berbagai
peristiwa tersebut menunjukan bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya sama-sama
tidak memiliki sensitivitas Covid-19. Seharusnya, semua orang memiliki
kesadaran bahwa yang diminta kepada masyarakat untuk mencegah penularan wabah
itu adalah menjaga jarak fisik dan mengurangi terjadinya hal-hal yang dapat
memicu “keributan”.
Pada peristiwa penghentian ibadah dan penutupan warung
tuak, para yang terlibat malah bergerombol di sana dengan emosi meledak-ledak dan
akhirnya memfasilitas interaksi fisik. Pada kasus “nasi anjing”, meski sudah
diklarifikasi bahwa tidak bermaksud untuk melecehkan dan dengan niat baik, si
penyumbang nasi mestinya punya kesadaran bahwa diksi “nasi anjing” pada bungkus
nasi itu berpotensi menyakiti perasaan orang lain yang beragama Islam dan bisa
memunculkan konflik. Celakanya, aktifitas ini memberikan bahan dan disambut
meriah oleh pencinta keributan di medsos untuk saling “terjang”. Belum lagi
pendulang iklan tak bertanggungjawab melalui media online yang hanya mementingkan
pundi-pundi, mereka mendapatkan bahan untuk mendistribusikan berita dan konten
dengan judul dan isi berita bombastik tanpa peduli akibat sosialnya.
Alhamdulillah, pada berbagai pemberitaan diinformasikan
bahwa peristiwa-peristiwa itu telah selesai dengan perdamaian pihak-pihak yang
terlibat langsung meskinya hore-horenya masih ramai di medsos.
Di saat pemerintah dan orang-orang yang peduli
penularan wabah sedang gencar-gencarnya menghimbau agar masyarakat melakukan social
distancing dan physical distancing, serta perlunya penguatan solidaritas
kebangsaan agar kita semua selamat dari Covid-19, seharusnya jangan malah
memunculkan “keributan” yang tidak perlu terjadi. Mudah-mudahan yang beginian tidak terjadi lagi
di hari-hari berikutnya. Bertoleransi saja lah dan toleransi itu butuh kesadaran
timbal-balik.
Begitulah…
Di era berakhirnya Pandemi ini rasanya, kita harus tetap waspada, karena hampir setiap hari terdengar kabar duka. Smoga kita semua dijauhkan dari segala macam bahayan dan wabah penyakit Cukup Sampai DI SINI Saja, yah Begitulah ...
ReplyDelete