Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Saturday, May 2, 2020

PENTING UNTUK TOLERAN DI TENGAH COVID-19


https://rfwahyudi.blogspot.com/


Oleh: Arief Wahyudi

Semestinya persoalan toleran atau tidak ini tidak perlu menjadi pembahasan pada saat dimana kita semua seharusnya dalam keadaan kompak karena wabah Covid-19. Tapi, beberapa peristiwa memunculkan kebutuhan bahwa diskursus ini perlu diberikan respon. Karena ketidakdewasaan dalam berbuat dan bertindak, akhirnya yang tak perlu dibahas menjadi penting dibicarakan.

Mengapa begitu? Karena muncul peristiwa-peristiwa ditengah-tengah Covid-19 yang harusnya tidak perlu terjadi jika toleransi itu ada. Contoh peristiwa itu diantaranya penghentian paksa sekelompok orang yang sedang beribadah di rumah, kasus “nasi anjing”, sampai penutupan paksa warung tuak. Pemaknaan saya terhadap peristiwa tersebut adalah bahwa, ternyata wabah Covid-19 yang melanda semua orang, tak cukup untuk menyadarkan kita bahwa kita sama-sama manusia dan sama-sama sedang terancam wabah dan kita masih saja punya problem serius soal pemaknaan toleransi dalam konstruksi sosial.


Seperti apa pemaknaan saya terhadap konsep toleransi, sudah pernah saya tuliskan di Fanspage FB saya (silahkan baca di sini). pada tulisan ini saya kembali menuliskan ulang tulisan tersebut dengan memotong beberapa bagian yang tidak relevan dan penyesuaian dengan peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini.

Pertanyaannya adalah, pada peristiwa-peristiwa tersebut di atas, siapakah yang sebenarnya tidak toleran?


Toleransi itu bukan soal keyakinan, tapi soal interaksi sosial. Karenanya tidak ada hubungan toleransi dengan apa keyakinan yang dianut. Juga sedikit sekali relevansi toleransi dengan jumlah mayoritas atau minoritas meskipun komposisi ini bisa menjadi alas model prilakunya pada konteks sosial. Siapa saja, dimana saja, dari keyakinan apa saja, bisa toleran bisa juga tidak toleran.

Karena toleransi bukan soal keyakinan, maka konsep toleransi tidak menuntut penambahan, pengurangan, penyesuaian atau bahkan penghilangan nilai-nilai yang diyakini. Yang menjadi pokok pada konsep toleransi itu adalah bagaimana orang dengan keyakinannya masing-masing bisa saling berintekraksi tanpa saling menyakiti di ruang sosial.

Kata kunci dari sikap toleran itu adalah menahan diri dan pengurangan hasrat atau kehendak. Orang yang tak mau menahan diri dan menjadikan hasratnya atau kehendaknya sebagai tolok ukur dalam interaksi sosial bisa dikatakan intoleran, siapapun dia, dimanapun dia, apapun keyakinannya.

Pada relasi sosial, mungkin muncul perbedaan kepentingan dari individu atau kelompok yang berbeda keyakinan. Pada moment inilah seseorang atau kelompok diuji kebertoleransiannya. Jika salah satu berkendak atau berhasrat agar pihak lain menyesuaikan diri dengan kehendaknya dan menjadikan kehendaknya itu sebagai syarat dalam interaksi sosialnya, terjadilah intoleransi. Jadi, bukan soal apa keyakinannya, juga bukan soal berapa jumlahnya, tapi soal bagaimana prilakunya dalam interaksi sosial. Bisa terjadi yang mayoritas memaksakan kehendak, bisa juga terjadi yang minoritas memaksakan kehendak.


Jadi, toleransi itu muncul saat masing-masing pihak bisa menahan diri dan mengurangi kehendak atau hasrat untuk mengekspresikan keyakinan pada interaksi sosial jika ekspresi itu berpotensi menyakiti atau memunculkan konflik. Tidak bisa orang diminta bertoleransi, sementara diri sendiri tidak toleran kepada orang lain. Inilah sebabnya mengapa toleransi itu tidak berhubungan dengan keyakinan tapi soal bagaimana orang-orang akan saling berinteraksi pada ruang sosial yang beragam keyakinan.  

Nah, apakah peristiwa seperti pelarangan orang beribadah, “nasi anjing”, penutupan warung tuak adalah bentuk intoleransi? Menurut saya ya, itu adalah bentuk intoleransi. Lalu siapa yang tidak toleran pada peristiwa-peristiwa tersebut? Silahkan dianalisis menurut pemaknaan masing-masing.


Bagi saya sendiri, jika toleransi itu dimaknai sebagai menahan diri dan pengurangan hasrat atau kehendak pada ruang sosial, maka semua yang terlibat pada peristiwa itu sama-sama tidak toleran termasuk orang-orang yang kemudian memprovokasi agar peristiwa-peristiwa tersebut “membesar”. Mengapa begitu? karena masing-masing mengutamakan hasratnya dan memaksakan kehendak kepada pihak lainnya serta sama-sama menjadikan persepsi sendiri sebagai tolok ukur kebenaran.  

Dalam kaitannya dengan Covid-19, hemat saya, berbagai peristiwa tersebut menunjukan bahwa orang-orang yang terlibat di dalamnya sama-sama tidak memiliki sensitivitas Covid-19. Seharusnya, semua orang memiliki kesadaran bahwa yang diminta kepada masyarakat untuk mencegah penularan wabah itu adalah menjaga jarak fisik dan mengurangi terjadinya hal-hal yang dapat memicu “keributan”.

Pada peristiwa penghentian ibadah dan penutupan warung tuak, para yang terlibat malah bergerombol di sana dengan emosi meledak-ledak dan akhirnya memfasilitas interaksi fisik. Pada kasus “nasi anjing”, meski sudah diklarifikasi bahwa tidak bermaksud untuk melecehkan dan dengan niat baik, si penyumbang nasi mestinya punya kesadaran bahwa diksi “nasi anjing” pada bungkus nasi itu berpotensi menyakiti perasaan orang lain yang beragama Islam dan bisa memunculkan konflik. Celakanya, aktifitas ini memberikan bahan dan disambut meriah oleh pencinta keributan di medsos untuk saling “terjang”. Belum lagi pendulang iklan tak bertanggungjawab melalui media online yang hanya mementingkan pundi-pundi, mereka mendapatkan bahan untuk mendistribusikan berita dan konten dengan judul dan isi berita bombastik tanpa peduli akibat sosialnya.


Alhamdulillah, pada berbagai pemberitaan diinformasikan bahwa peristiwa-peristiwa itu telah selesai dengan perdamaian pihak-pihak yang terlibat langsung meskinya hore-horenya masih ramai di medsos.

Di saat pemerintah dan orang-orang yang peduli penularan wabah sedang gencar-gencarnya menghimbau agar masyarakat melakukan social distancing dan physical distancing, serta perlunya penguatan solidaritas kebangsaan agar kita semua selamat dari Covid-19, seharusnya jangan malah memunculkan “keributan” yang tidak perlu terjadi.  Mudah-mudahan yang beginian tidak terjadi lagi di hari-hari berikutnya. Bertoleransi saja lah dan toleransi itu butuh kesadaran timbal-balik.

Begitulah…

1 comment:

  1. Di era berakhirnya Pandemi ini rasanya, kita harus tetap waspada, karena hampir setiap hari terdengar kabar duka. Smoga kita semua dijauhkan dari segala macam bahayan dan wabah penyakit Cukup Sampai DI SINI Saja, yah Begitulah ...

    ReplyDelete