Saya suka mengikuti akun-akun populer,
laman FB dan grup FB yang berisikan analisis-analisis terhadap berbagai
peristiwa politik. Mengikuti akun-akun ini menambah
wawasan dan pengetahuan kita terkait peristiwa-peristiwa itu. Banyak informasi
baru yang sebelumnya tidak diketahui atau tidak terpikirkan muncul di akun-akun
ini. Hoax juga cepat sekali bisa diklarifikasi di sana.
Yang
paling seru adalah melihat diskusi di kolom komennya. Diskusi di kolom komen
ini lah yang menjadi dasar berpikir tulisan ini, bukan analisis yang di
tuliskan para pemilik akun itu. Jelas ya.
Berdasarkan pengalaman, kita
hanya dapat mengambil manfaat dari akun-akun ini jika kita tidak memposisikan
diri sebagai pengikut absolut akun tersebut dan seobjektif mungkin membaca analisis-analisis
mereka. Jika kita menjadi pengikut absolut - pengikut fanatik satu akun
tertentu serta membenarkan apa saja yang ditulis di sana dan menyalahkan yang
lain - hanya akan mempertebal ketumpulan pikiran dan nurani kita.
Kalau diperhatikan, banyak loh
pengikut absolut akun tertentu sengaja masuk ke akun yang lain khusus untuk
menolak apapun analisis yang disampaikan oleh akun yang lain itu. Di sana
mereka meninggalkan komentar-komentar yang intinya menolak analisis meskipun
analisis itu sudah diusahakan se-masuk akal mungkin dengan data sevalid mungkin.
Ada juga yang apapun analisisnya, mereka akan berikan respon yang sama.
Misalnya si A menganalisis tentang B, mereka akan respon “situ sehat?” lalu si
A menganalisis tentang C, mereka respon “situ sehat?”. Analisis tentang D,
responnya juga “situ sehat?” hehehe.
Gimana kalau kalian mencoba untuk
membantah analisis idola mereka di akun idola mereka itu. lebih gawat lagi bro.
Anda akan di respon dengan segala trend ejekan sesuai kelompok di mana mereka
berpihak, misalnya kafir, munafik, syiah, wahabi, salafi, liberal, PKI, kaum
bumi datar, kaum bani sarbet, kampret, arab palsu, kecebong, ahoker, jokower,
anti kebinekaan, dan sebagainya (kalian kumpulkan saja sendiri). Ngak percaya?
Silahkan di coba ya:)
Yang paling menyakitkan adalah,
anda sudah bersusah payah membantah dengan analisis berbasiskan data dan fakta,
kemudian direspon dengan sebuah meme.
Saat kalian membahas meme itu, kalian akan di jawab dengan analisis copasan
yang kadang ngak ada nyambungnya dengan pendapat yang kalian diskusikan. Ini
sih masih mending. Beberapa komen yang saya perhatikan, kalian malah akan di
goblok-bego kan atau di bodoh-oonkan tanpa ada alasan yang masuk akal kenapa
kalian dikategori goblok-bego atau bodoh-oon. Menyedihkan ya:(
Kalian juga tidak perlu
repot-repot mengirimkan link berita untuk dibaca oleh mereka yang berbeda
pedapat dengan kalian. Percuma, bro. Se-valid apapun berita yang kalian
kirimkan, mereka sulit untuk percaya. Mereka hanya akan mempercayai berita yang
sesuai dengan selera mereka meski berita itu berisi ketidakbenaran. Setelah
mereka mengetahui kalau berita itu tidak benar, sulit juga mengharapkan rasa
bersalah apalagi permintaan maaf. Inilah barang kali salah satu alasan mengapa
berita hoax, pelintiran, fitnah, analisis cocokologi, teori konspirasi yang
mengada-mengada asal disusun dengan kata-kata yang membius bisa laris manis di
negara ini dan pengikutnya banyak luar biasa.
Inilah sentimen.
Berbahaya sekali jika sentimennya
lebih besar dari pengetahuannya. Seluruh respon diberikan berdasarkan sentimen,
bukan pengetahuan. Pengelohan informasi dilakukan dengan emosi, bukan dengan
pikiran dan hati nurani. Pada keadaan ini, para pengikut akan memposisikan
idola mereka sebagai manusia yang tidak pernah salah dan apa yang dikatakan
para idola itu kebenarannya diposisikan seperti kebenaran di kitab suci yang
tidak boleh dibantah. Jika anda membantah analisis idola mereka, ada loh yang
mendo’akan kalian “semoga dapat hidayah ya”.
Akibatnya jelas, para pengikut ini kehilangan hal-hal substantif dari seluruh ruang diskusi yang terbuka itu. Akhirnya mereka mengada-mengada, dan merasa benar sendiri dalam ke mengada-ngada-an itu.
Dan, pemilik sentimental ini
lintas batas bro. Mereka bisa laki-laki dan perempuan. Mulai dari sekolahnya
hanya untuk sekedar bisa membaca, menulis dan membuat status di FB, sampai ke
orang-orang bergelar pendidikan doktor. Ngak percaya, lihat aja siapa yang suka
meng-share berita dan berkomen ria di akun dan grup FB atau grup WA kalian.
Ada juga yang bergelar S1, S2, S3
bidang kebahasaan yang seharusnya mencerdaskan masyarakat dalam melakukan
konten analisis, malah larut dalam sentimental sempit ini. Ada juga jurnalis
(atau yang merasa jurnalis) yang semestinya paham betul bagaimana media
mengolah informasi juga ikut-ikutan dan malah lebih dahsyat lagi menyampaikan
pandangan-pandangan sentimennya di FB. Ada juga organisatoris dan politisi yang
sudah kenyang asam garam dunia politik, sekarang tinggal asamnya saja, garamnya
hilang.
Bagaimana menguji sentimen atau
tidak? Gampang, lihat saja seberapa berimbang informasi yang diproduksinya
secara pribadi dan bagaimana responnya untuk informasi atau tanggapan yang
berbeda. Kalian akan bisa merasakan mana yang berdasarkan pengetahuan dan mana
yang berdasarkan sentimen. Jika argumennya cenderung ad hominem (menyerang pribadi atau karakter seseorang) dan hanya
membenar-benarkan diri sendiri serta mengungkit hal-hal yang tidak relevan, besar
kemungkinan itu hanyalah sentimen.
Yang paling celaka adalah, jika
sentimen ini sengaja dipelihara oleh orang-orang yang berkepentingan sebagai
modal politik mereka. Politik inilah yang saya maksud dengan politik
berbasiskan sentimen yakni mendulang suara dengan memanfaatkan atau
mengembangkan sentimen publik. Politik berbasis sentimen ini tidak bercerita
prestasi, tapi mengembangkan rasa suka atau tidak suka berbasiskan emosi massa.
Sentimental ini sengaja di buat
berlarut-larut dan isu-isu penghangat sentimen terus-menerus dihembuskan untuk pada
saatnya nanti digunakan sebagai pendulang suara. Isu penghangat sentimen ini
tidak memiliki basis analisis objektif terhadap masalah yang diajukan tetapi
berputar pada pengkhultusan individu atau pembunuhan karakter individu sehingga
nalarnya tidak berkembang pada kebutuhan yang lebih realistik.
Contoh sederhana (ingat ya, ini
contoh): ada yang menganalisis kinerja presiden dari sendal yang dipakai
presiden, ada juga yang memuji kinerja presiden dari merek jeket yang dipakai
oleh presiden. Ada yang mengukur kemampuan memimpin presiden dari cara presiden
memegang gelas saat minum bersama tamu di istana dan ada juga memuji
kepemimpinan presiden dari sarung yang digunakan oleh presiden. Seolah-olah
urusan bernegara hanya itu saja. Lalu isu-isu seperti inilah yang mengaduk-ngaduk
sentimental para pengikut yang terokuptasi cara berpikirnya itu.
Mestinya kinerja itu dinilai
berdasarkan kerja-kerja yang dilakukan dan argument kontranya juga mestinya
berisi alternatif kinerja dengan kerja-kerja yang lebih baik. Artinya, argumen politik
itu selain harus mampu menunjukan lemahnya kompetitor, juga mestinya mampu
menunjukan apa kelebihan yang dimiliki yang menunjukan dia mampu atau tidak mengatasi
kelemahan-kelemahan yang ada. Bukan sekedar sentimen suka atau tidak suka.
Nah, cerdaskan diri kita untuk
melihat masalah se-objektif dan se-sportif mungkin. Sentimentil tidak mungkin
bisa kita larang-larang. Akan ada saja pengusung, pengikut dan pemanfaatnya.
Jangan sampai kita kemudian menjadi alat bagi politik berbasis sentimen ini dan
menggadaikan kebernegaraan kita.
Kalau kita sudah tidak gampang
lagi di ombang-ambingkan cara berpikir kita karena alasan-alasan yang sentimen sifatnya,
akan terseleksi orang-orang pilihan dengan kemampuan memimpin yang berkualitas
dan jelas kinerjanya. Dan saatnya nanti, politisi yang hanya bisa memenangkan
pertarungan dengan mengandalkan sentimen publik sebagai modal politik tanpa
diikuti prestasi dan rekam jejak yang meyakinkan, tidak akan punya ruang di
republik ini.
Adalah pilihan, apakah kita akan
mengandalkan sentimen yang berakar pada emosi dan nafsu atau berbasiskan
pengetahuan yang berakar pada akal dan nurani dalam pilihan politik kita.
Begitulah...
No comments:
Post a Comment