Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Monday, March 12, 2018

POLITIK BERBASIS SENTIMEN



rfwahyudi.blogspot.co.id


Saya suka mengikuti akun-akun populer, laman FB dan grup FB yang berisikan analisis-analisis terhadap berbagai peristiwa politik. Mengikuti akun-akun ini menambah wawasan dan pengetahuan kita terkait peristiwa-peristiwa itu. Banyak informasi baru yang sebelumnya tidak diketahui atau tidak terpikirkan muncul di akun-akun ini. Hoax juga cepat sekali bisa diklarifikasi di sana.


Yang paling seru adalah melihat diskusi di kolom komennya. Diskusi di kolom komen ini lah yang menjadi dasar berpikir tulisan ini, bukan analisis yang di tuliskan para pemilik akun itu. Jelas ya.

Berdasarkan pengalaman, kita hanya dapat mengambil manfaat dari akun-akun ini jika kita tidak memposisikan diri sebagai pengikut absolut akun tersebut dan seobjektif mungkin membaca analisis-analisis mereka. Jika kita menjadi pengikut absolut - pengikut fanatik satu akun tertentu serta membenarkan apa saja yang ditulis di sana dan menyalahkan yang lain - hanya akan mempertebal ketumpulan pikiran dan nurani kita.

Kalau diperhatikan, banyak loh pengikut absolut akun tertentu sengaja masuk ke akun yang lain khusus untuk menolak apapun analisis yang disampaikan oleh akun yang lain itu. Di sana mereka meninggalkan komentar-komentar yang intinya menolak analisis meskipun analisis itu sudah diusahakan se-masuk akal mungkin dengan data sevalid mungkin. Ada juga yang apapun analisisnya, mereka akan berikan respon yang sama. Misalnya si A menganalisis tentang B, mereka akan respon “situ sehat?” lalu si A menganalisis tentang C, mereka respon “situ sehat?”. Analisis tentang D, responnya juga “situ sehat?” hehehe.

Gimana kalau kalian mencoba untuk membantah analisis idola mereka di akun idola mereka itu. lebih gawat lagi bro. Anda akan di respon dengan segala trend ejekan sesuai kelompok di mana mereka berpihak, misalnya kafir, munafik, syiah, wahabi, salafi, liberal, PKI, kaum bumi datar, kaum bani sarbet, kampret, arab palsu, kecebong, ahoker, jokower, anti kebinekaan, dan sebagainya (kalian kumpulkan saja sendiri). Ngak percaya? Silahkan di coba ya:)

Yang paling menyakitkan adalah, anda sudah bersusah payah membantah dengan analisis berbasiskan data dan fakta, kemudian direspon dengan sebuah meme. Saat kalian membahas meme itu, kalian akan di jawab dengan analisis copasan yang kadang ngak ada nyambungnya dengan pendapat yang kalian diskusikan. Ini sih masih mending. Beberapa komen yang saya perhatikan, kalian malah akan di goblok-bego kan atau di bodoh-oonkan tanpa ada alasan yang masuk akal kenapa kalian dikategori goblok-bego atau bodoh-oon. Menyedihkan ya:(

Kalian juga tidak perlu repot-repot mengirimkan link berita untuk dibaca oleh mereka yang berbeda pedapat dengan kalian. Percuma, bro. Se-valid apapun berita yang kalian kirimkan, mereka sulit untuk percaya. Mereka hanya akan mempercayai berita yang sesuai dengan selera mereka meski berita itu berisi ketidakbenaran. Setelah mereka mengetahui kalau berita itu tidak benar, sulit juga mengharapkan rasa bersalah apalagi permintaan maaf. Inilah barang kali salah satu alasan mengapa berita hoax, pelintiran, fitnah, analisis cocokologi, teori konspirasi yang mengada-mengada asal disusun dengan kata-kata yang membius bisa laris manis di negara ini dan pengikutnya banyak luar biasa.

Inilah sentimen.

Berbahaya sekali jika sentimennya lebih besar dari pengetahuannya. Seluruh respon diberikan berdasarkan sentimen, bukan pengetahuan. Pengelohan informasi dilakukan dengan emosi, bukan dengan pikiran dan hati nurani. Pada keadaan ini, para pengikut akan memposisikan idola mereka sebagai manusia yang tidak pernah salah dan apa yang dikatakan para idola itu kebenarannya diposisikan seperti kebenaran di kitab suci yang tidak boleh dibantah. Jika anda membantah analisis idola mereka, ada loh yang mendo’akan kalian “semoga dapat hidayah ya”.
 
Akibatnya jelas, para pengikut ini kehilangan hal-hal substantif dari seluruh ruang diskusi yang terbuka itu. Akhirnya mereka mengada-mengada, dan merasa benar sendiri dalam ke mengada-ngada-an itu.

Dan, pemilik sentimental ini lintas batas bro. Mereka bisa laki-laki dan perempuan. Mulai dari sekolahnya hanya untuk sekedar bisa membaca, menulis dan membuat status di FB, sampai ke orang-orang bergelar pendidikan doktor. Ngak percaya, lihat aja siapa yang suka meng-share berita dan berkomen ria di akun dan grup FB atau grup WA kalian.

Ada juga yang bergelar S1, S2, S3 bidang kebahasaan yang seharusnya mencerdaskan masyarakat dalam melakukan konten analisis, malah larut dalam sentimental sempit ini. Ada juga jurnalis (atau yang merasa jurnalis) yang semestinya paham betul bagaimana media mengolah informasi juga ikut-ikutan dan malah lebih dahsyat lagi menyampaikan pandangan-pandangan sentimennya di FB. Ada juga organisatoris dan politisi yang sudah kenyang asam garam dunia politik, sekarang tinggal asamnya saja, garamnya hilang.

Bagaimana menguji sentimen atau tidak? Gampang, lihat saja seberapa berimbang informasi yang diproduksinya secara pribadi dan bagaimana responnya untuk informasi atau tanggapan yang berbeda. Kalian akan bisa merasakan mana yang berdasarkan pengetahuan dan mana yang berdasarkan sentimen. Jika argumennya cenderung ad hominem (menyerang pribadi atau karakter seseorang) dan hanya membenar-benarkan diri sendiri serta mengungkit hal-hal yang tidak relevan, besar kemungkinan itu hanyalah sentimen.

Yang paling celaka adalah, jika sentimen ini sengaja dipelihara oleh orang-orang yang berkepentingan sebagai modal politik mereka. Politik inilah yang saya maksud dengan politik berbasiskan sentimen yakni mendulang suara dengan memanfaatkan atau mengembangkan sentimen publik. Politik berbasis sentimen ini tidak bercerita prestasi, tapi mengembangkan rasa suka atau tidak suka berbasiskan emosi massa.

Sentimental ini sengaja di buat berlarut-larut dan isu-isu penghangat sentimen terus-menerus dihembuskan untuk pada saatnya nanti digunakan sebagai pendulang suara. Isu penghangat sentimen ini tidak memiliki basis analisis objektif terhadap masalah yang diajukan tetapi berputar pada pengkhultusan individu atau pembunuhan karakter individu sehingga nalarnya tidak berkembang pada kebutuhan yang lebih realistik.

Contoh sederhana (ingat ya, ini contoh): ada yang menganalisis kinerja presiden dari sendal yang dipakai presiden, ada juga yang memuji kinerja presiden dari merek jeket yang dipakai oleh presiden. Ada yang mengukur kemampuan memimpin presiden dari cara presiden memegang gelas saat minum bersama tamu di istana dan ada juga memuji kepemimpinan presiden dari sarung yang digunakan oleh presiden. Seolah-olah urusan bernegara hanya itu saja. Lalu isu-isu seperti inilah yang mengaduk-ngaduk sentimental para pengikut yang terokuptasi cara berpikirnya itu.

Mestinya kinerja itu dinilai berdasarkan kerja-kerja yang dilakukan dan argument kontranya juga mestinya berisi alternatif kinerja dengan kerja-kerja yang lebih baik. Artinya, argumen politik itu selain harus mampu menunjukan lemahnya kompetitor, juga mestinya mampu menunjukan apa kelebihan yang dimiliki yang menunjukan dia mampu atau tidak mengatasi kelemahan-kelemahan yang ada. Bukan sekedar sentimen suka atau tidak suka.

Nah, cerdaskan diri kita untuk melihat masalah se-objektif dan se-sportif mungkin. Sentimentil tidak mungkin bisa kita larang-larang. Akan ada saja pengusung, pengikut dan pemanfaatnya. Jangan sampai kita kemudian menjadi alat bagi politik berbasis sentimen ini dan menggadaikan kebernegaraan kita.

Kalau kita sudah tidak gampang lagi di ombang-ambingkan cara berpikir kita karena alasan-alasan yang sentimen sifatnya, akan terseleksi orang-orang pilihan dengan kemampuan memimpin yang berkualitas dan jelas kinerjanya. Dan saatnya nanti, politisi yang hanya bisa memenangkan pertarungan dengan mengandalkan sentimen publik sebagai modal politik tanpa diikuti prestasi dan rekam jejak yang meyakinkan, tidak akan punya ruang di republik ini.

Adalah pilihan, apakah kita akan mengandalkan sentimen yang berakar pada emosi dan nafsu atau berbasiskan pengetahuan yang berakar pada akal dan nurani dalam pilihan politik kita.

Begitulah...

Note: tulisan ini telah saya tulis juga di fanspage https://www.facebook.com/y.dhi00/posts/279480929186093 tanggal 26 Juni 2017 dan sedikit dimodifikasi untuk kepentingan penulisan ulang ini.

No comments:

Post a Comment