Aku
: Tuan, sekarang banyak orang yang menganggap dirinya dan kelompoknya sebagai
standar kebenaran dalam beragama dan berbangsa serta bernegara.
Tuan
: Contohnya?
Aku
: Ada yang berkata “kami umat muslim” kepada orang lain yang tidak sama
pandangan yang juga beragama Islam seolah-olah lawan bicaranya itu bukan Islam
dan hanya dia dan kelompoknya lah yang beragama Islam. Bukankah melalui perkataan
itu berarti dia telah mengeluarkan orang lain dari agama Islam hanya karena
tidak sesuai dengan pendapatnya atau kelompoknya?
Tuan
: Hmmm, benar.
Aku
: Ada juga yang mengatakan “Kami Pancasila” dan “Kami NKRI” kepada warga negara
kita yang lain seolah-olah lawan bicaranya itu bukan warga negara kita. Bukankah
itu berarti yang mengatakan kalimat itu sedang menyatakan bahwa hanya merekalah
yang Pancasila dan NKRI sedangkan orang lain tidak.
Tuan
: Benar juga.
Aku
: Tuan, bukankah itu berarti mereka yang melakukan itu telah menjadikan dirinya
sebagai syarat. Misalnya, mereka menambahkan syarat harus sesuai dengan
pendapatnya atau kelompoknya baru orang bisa disebut “Muslim” dan yang berbeda
cara pandang bukan muslim yang sebenarnya. Begitu juga dengan ke-Pancasila-an
dan ke-NKRI-an, selain kelompok mereka tidak ada lagi orang yang paham
Pancasila dan NKRI.
Tuan
: Iya, itulah yang dimaksud Rocky Gerung pada acara Indonesia Lawyers Club
beberapa waktu lalu sebagai terjadinya Duel Kesolehan. Kita juga bisa
menambahkannya tidak hanya duel kesolehan, juga terjadi duel ke-Pancasila-an
dan duel ke-NKRI-an.
Aku
: Maksudnya, tuan?
Tuan
: Mereka sedang memproklamirkan diri mereka, kelompok mereka, dan apa yang
mereka pikirkan sebagai ukuran segala-galanya. Hanya yang mereka anggap
benarlah yang benar, dan yang lainnya salah. Jika sudah begini, jika kau
menyampaikan apa yang kau pikirkan, meskipun pendapat mu itu berdasarkan
pemahaman dan landasan keilmuan yang baik, akan tetap ditolak mereka.
Aku
: Apakah Tuan pernah mengalami yang seperti itu?
Tuan
: Pernah. Suatu ketika dalam sebuah kegiatan dilaksanakan do’a penutup oleh
seorang ustad. Suaranya indah sekali melantunkan do’a itu dalam bahasa Arab. Enak
ditelinga ku. Aku jujur saja tidak mengerti apa yang dido’akannya karena tak
paham bahasa yang digunakan, tapi aku percaya Ustad sedang berdo’a menurut cara
yang sepatutnya dan aku mengangkat tangan ku dan mengaminkan doa itu. Tapi,
seorang teman kemudian menurunkan tanganku.
Aku
: Kenapa, Tuan?
Tuan
: Menurut teman ku itu, sang Ustad telah mengucapkan do’a dengan cara yang
berlebih-lebihan sehingga terjadi kesalahan pada panjang pendeknya intonasi bacaannya
dan merubah arti do’a. Dia melarangku mengaminkannya karena artinya sudah
berbeda. Dan aku percaya karena teman ku itu fasih berbahasa Arab dan lulusan
sekolah keagamaan sejak dari kecil sampai perguruan tinggi.
Aku
: Mengapa teman Tuan itu tidak mengingatkan?
Tuan
: Aku juga menanyakan hal yang sama. Menurut teman ku itu, si pelantun do’a
itulah yang diberikan label ustad oleh masyarakat kami. Kalau dia coba mengingatkan,
orang tidak akan percaya dan malah mungkin akan mencurigainya. Dia menurunkan
tangan ku pun karena kami saling mengenal dengan baik. Dari dia lah aku
mengenal istilah bahwa ada orang yang menghapal do’a dan ada orang yang memahami
do’a, walaupun aku tidak mampu membedakannya. Kita sering juga melihat ada
orang yang bisa berdebat sengit tentang agama dan keimanan, tapi kelakuannya
sama sekali tidak mencerminkan apa yang dikatakannya itu.
Aku
: Kalau tentang ke-Pancasila-an dan ke-NKRI-an, Tuan?
Tuan
: Sering juga. Aku punya banyak kenalan yang menganggap dirinya sangat
Pancasilais dan cinta NKRI, tapi kelakuannya membuat aku geleng-geleng kepala. Mereka
mampu berdebat berjam-jam tentang Pancasila dan NKRI tapi disisi lain mereka
sendiri yang merusak Pancasila dan NKRI dengan prilakunya. Jadi mereka hanya sedang
berlomba untuk memenangkan predikat, siapa yang paling muslim, paling Pancasila
dan paling NKRI.
Aku
: Mengapa bisa begitu menurut Tuan?
Tuan
: Itu karena mereka terlalu pintar untuk menilai orang lain, bahkan mereka sanggup
menilai Tuhan. Tapi, mereka terlalu sombong untuk menilai dan mengukur diri
sendiri. Mereka tidak mampu menyadari bahwa saat mereka merasa benar, belum tentu
orang lain salah. Mereka bisa menerima informasi, tapi tak mampu mencerna
informasi. Dan, mereka tidak bisa berdamai dengan ego mereka sendiri.
Aku
: Bagaimana kita akan memperbaikinya, Tuan?
Tuan
: Adalah tugas orang-orang yang mengerti untuk menyampaikan pemahamannya dan
tugas kita adalah mencerdaskan diri kita. Pastikan saja kau tidak terlibat
dalam duel-duel seperti itu. Kalau ada yang kau rasa salah, perbaiki dulu untuk
dirimu sehingga tidak menjadi bias ketika kau menasehati orang lain. Kemudian berdo’a
lah agar kita tidak termasuk orang-orang yang berbicara kebenaran di depan,
tapi dibelakang menghasilkan kehancuran-kehancuran.
Begitulah.
sama-sam pak.
ReplyDelete