Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Monday, December 4, 2017

21217 PRESIDEN BERKHIDMAT KEPADA GURU, CATET!






Saya ingin mencatat tanggal 2 Desember 2017 sebagai tanggal yang spesial untuk profesi saya.

Pada tanggal itu, Presiden RI membungkuk dihadapan ribuan guru di acara  Puncak Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT ke-72 PGRI untuk menunjukan rasa hormat beliau kepada seluruh insan pendidikan. Bagi saya, moment ini sesuatu banget.




Ini bukan pertama kalinya Presiden Jokowi melakukan itu. tahun 2015 silam, beliau juga membungkuk dan bahkan mencium tangan gurunya.

Saya terkesan sekali dengan moment ini. Bagaimana tidak. Almarhum bapak saya, guru. Ibu saya, guru. Saya enam besaudara, 3 diantaranya guru dan bekerja di dunia pendidikan. Keluarga besar istri saya setidaknya ada 13 orang yang berprofesi sebagai Guru dan bekerja di dunia pendidikan. Dan, saya sendiri dosen. Lalu Presiden membungkuk menghormati kami yang di profesi ini. Wooowww...

Sependek yang saya tahu, meski semua Presiden menghormati guru, tapi belum ada yang membungkuk di tengah pidato. Baru inilah presiden yang membungkuk menghormati gurunya dan guru-guru di Indonesia secara terbuka di tempat terbuka pula. Karena itu saya ingin mencatatnya sebagai hari spesial untuk profesi saya.

Pertanyaannya pokoknya adalah, setelah Presiden membungkuk takzim seperti itu, lalu berikutnya apa? Adakah efeknya untuk para guru (dan juga dosen)? Ataukah ini hanya akan menjadi eforia sesaat dan kemudian hilang begitu saja?

Untuk pertanyaan terakhir inilah alasan kedua saya ingin mencatat tanggal 21217 sebagai tanggal spesial. Agar penghormatan takzim Presiden terhadap guru (dan juga dosen) itu tidak hilang dan menguap begitu saja.

Saya penasaran untuk melihat, setelah moment Presiden membungkuk itu, apa yang akan dilakukan oleh komponen negara yang lain untuk merespon ketakziman Presiden itu. Apa yang akan dilakukan DPR RI, DPD RI dan DPRD di seluruh kabupaten/kota, Kemendikbud dan Kemenristekdikti, Pemprov, Pemkot dan Pemkab di seluruh Indonesia serta tentu saja PGRI untuk membenahi sistem yang terkait dengan guru (dan juga dosen) dan regulasinya?



Apa point krusial yang saya penasaran itu? Ada tiga, yakni perlakuan, mutu dan kesejahteraan. Apakah untuk ketiga hal ini tidak ada kemajuan sama sekali? Tentu saja ada dan menurut pandangan saya terus bergerak maju. Tapi ada juga bolong-bolong di sana-sini yang perlu di perbaiki.

Pertama, perlakuan. Dalam banyak pertemuan dengan guru di daerah saya, sering saya mendegarkan curhat tentang berbagai perlakuan tidak menyenangkan yang diterima guru. Ada Kepala Sekolah, yang khawatir di copot atau dipindahkan karena persoalan politik lokal dan permainan anggaran. Ada guru yang mengeluh sulit sekali berurusan dengan dinas pendidikan daerahnya dan pemotongan-pemotongan penghasilan yang dialaminya. Ada guru honor (bahkan bertahun-tahun honor) dengan gaji dibawah Upah Minimun yang tidak memilik kepastian kapan honorarium itu akan dicairkan? Ada yang dana sertifikasi gurunya tersendat dan nyangkut entah di mana? Ada yang karena rendahnya pengetahuan merasa terancam dengan UU Perlindungan anak dan HAM. Dan banyak lagi.

Kedua, mutu. Persoalan mutu ini memang masalah. Saya bertemu dengan banyak guru yang perlu terus menerus di upgrade, baik dari sisi keilmuan, pengetahuan psikologis anak  didik, metode pembelajaran, penguasaan kurikulum dan seterusnya. Sayangnya, saya tidak punya kompetensi untuk menilai apakah seluruh program peningkatan mutu guru yang sekarang ada sudah tepat atau belum. Tapi, saya pernah mengkritik seorang guru senior di dalam kelas saya yang sedang berjuang untuk memenuhi tuntutan regulasi demi uang sertifikasi karena yang bersangkutan ternyata jarang sekali membeli buku dan membaca buku di luar buku paket yang tersedia di sekolah. Jawabannya membuat saya terdiam dan terus membekas di benak saya. Kata guru itu “dengan keadaan saya dan keluarga (beliau menceritakan keadaan beliau – belum sertifikasi guru, istri dan jumlah anak yang ditanggung) apakah saya punya budget untuk membeli buku secara rutin?”

Ketiga, kesejahteraan. Dalam pandangan saya, inilah point paling krusial. Memang secara normatif, tingkat kesejahteraan guru semakin baik terutama melalui program sertifikasi guru dan sebagian besar guru sudah disertifikasi. Tapi, bagaimana dengan yang belum sertifikasi? bagaimana dengan yang honorer atau dalam sebutan lainnya? Bagaimana dengan yang telah pensiun? Apakah sertifikasi itu benar-benar telah mensejahterahkan atau malah memunculkan beban tambahan? Apakah model mensejahterakan guru itu telah memberikan suasana kebatinan yang baik bagi guru dalam melaksanakan profesinya? Kalau suasana kebatinannya kurang baik dan pikiran guru terbabani dengan beban lainnya bagaimana proses pembelajaraannya akan baik? Tidakbisakah guru kita disejahterakan saja secara ekonomi pada limit yang maksimal terlebih dahulu baru kemudian bentuk tambahan penghasilan diukur berdasarkan capaian kinerjanya dan pemenuhan persyaratan dalam regulasi yang ada? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala saya terkait kesejahteraan, tapi saya tidak bisa menjawabnya.



Tiga hal ini yang membuat saya penasaran, apa kira-kira yang akan dilakukan oleh komponen negara yang lain itu untuk merespon hormat takzimnya Presiden tersebut kepada guru.

Begitupun, terlepas dari rasa penasaran saya itu, ketika kita telah memilih untuk berprofesi sebagai guru, kita wajib melaksankannya sebaik dan semaksimal mungkin. Masa depan banyak orang, kecerdasan penerus bangsa dan bahkan masa depan negara, ada ditangan para Guru. Tidak bisa kita tidak bertanggungjawab terhadap apapun yang terjadi di negara ini.

Pesan Presiden kepada guru setelah membungkuk takzim perlu diingatrenungkan oleh setiap insan pendidikan. Pesan Presiden, "Guru bukan sekadar mengajar.Saya titipkan masa depan bangsa ini kepada guru, menerangi jiwa anak-anak kita,agar tumbuh pribadi-pribadi yang sehat, matang. Merdekakan jiwa anak denganinklusif." 

Begitulah...

No comments:

Post a Comment