Saya
ingin mencatat tanggal 2 Desember 2017 sebagai tanggal yang spesial untuk
profesi saya.
Pada
tanggal itu, Presiden RI membungkuk dihadapan ribuan guru di acara Puncak Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT
ke-72 PGRI untuk menunjukan rasa hormat beliau kepada seluruh insan pendidikan.
Bagi saya, moment ini sesuatu banget.
Kata
presiden dalam acara itu "Oleh sebab itu, sekali lagi saya menyampaikanhormat takzim saya kepada guru-guru yang telah mendidik saya, sehingga saya menjadi Presiden"
Ini
bukan pertama kalinya Presiden Jokowi melakukan itu. tahun 2015 silam, beliau juga membungkuk dan bahkan mencium tangan gurunya.
Saya
terkesan sekali dengan moment ini. Bagaimana tidak. Almarhum bapak saya, guru.
Ibu saya, guru. Saya enam besaudara, 3 diantaranya guru dan bekerja di dunia
pendidikan. Keluarga besar istri saya setidaknya ada 13 orang yang berprofesi sebagai
Guru dan bekerja di dunia pendidikan. Dan, saya sendiri dosen. Lalu Presiden
membungkuk menghormati kami yang di profesi ini. Wooowww...
Sependek
yang saya tahu, meski semua Presiden menghormati guru, tapi belum ada yang
membungkuk di tengah pidato. Baru inilah presiden yang membungkuk menghormati
gurunya dan guru-guru di Indonesia secara terbuka di tempat terbuka pula. Karena
itu saya ingin mencatatnya sebagai hari spesial untuk profesi saya.
Pertanyaannya
pokoknya adalah, setelah Presiden membungkuk takzim seperti itu, lalu
berikutnya apa? Adakah efeknya untuk para guru (dan juga dosen)? Ataukah ini
hanya akan menjadi eforia sesaat dan kemudian hilang begitu saja?
Untuk
pertanyaan terakhir inilah alasan kedua saya ingin mencatat tanggal 21217
sebagai tanggal spesial. Agar penghormatan takzim Presiden terhadap guru (dan
juga dosen) itu tidak hilang dan menguap begitu saja.
Saya
penasaran untuk melihat, setelah moment Presiden membungkuk itu, apa yang akan dilakukan
oleh komponen negara yang lain untuk merespon ketakziman Presiden itu. Apa yang
akan dilakukan DPR RI, DPD RI dan DPRD di seluruh kabupaten/kota, Kemendikbud
dan Kemenristekdikti, Pemprov, Pemkot dan Pemkab di seluruh Indonesia serta
tentu saja PGRI untuk membenahi sistem yang terkait dengan guru (dan juga
dosen) dan regulasinya?
Apa
point krusial yang saya penasaran itu? Ada tiga, yakni perlakuan, mutu dan
kesejahteraan. Apakah untuk ketiga hal ini tidak ada kemajuan sama sekali? Tentu
saja ada dan menurut pandangan saya terus bergerak maju. Tapi ada juga
bolong-bolong di sana-sini yang perlu di perbaiki.
Pertama, perlakuan.
Dalam banyak pertemuan dengan guru di daerah saya, sering saya mendegarkan
curhat tentang berbagai perlakuan tidak menyenangkan yang diterima guru. Ada
Kepala Sekolah, yang khawatir di copot atau dipindahkan karena persoalan
politik lokal dan permainan anggaran. Ada guru yang mengeluh sulit sekali
berurusan dengan dinas pendidikan daerahnya dan pemotongan-pemotongan
penghasilan yang dialaminya. Ada guru honor (bahkan bertahun-tahun honor)
dengan gaji dibawah Upah Minimun yang tidak memilik kepastian kapan honorarium
itu akan dicairkan? Ada yang dana sertifikasi gurunya tersendat dan nyangkut
entah di mana? Ada yang karena rendahnya pengetahuan merasa terancam dengan UU
Perlindungan anak dan HAM. Dan banyak lagi.
Kedua,
mutu. Persoalan mutu ini memang masalah. Saya bertemu dengan banyak guru yang perlu
terus menerus di upgrade, baik dari
sisi keilmuan, pengetahuan psikologis anak
didik, metode pembelajaran, penguasaan kurikulum dan seterusnya. Sayangnya,
saya tidak punya kompetensi untuk menilai apakah seluruh program peningkatan
mutu guru yang sekarang ada sudah tepat atau belum. Tapi, saya pernah
mengkritik seorang guru senior di dalam kelas saya yang sedang berjuang untuk
memenuhi tuntutan regulasi demi uang sertifikasi karena yang bersangkutan
ternyata jarang sekali membeli buku dan membaca buku di luar buku paket yang
tersedia di sekolah. Jawabannya membuat saya terdiam dan terus membekas di
benak saya. Kata guru itu “dengan keadaan saya dan keluarga (beliau
menceritakan keadaan beliau – belum sertifikasi guru, istri dan jumlah anak
yang ditanggung) apakah saya punya budget untuk membeli buku secara rutin?”
Ketiga,
kesejahteraan. Dalam pandangan saya, inilah point paling krusial. Memang secara
normatif, tingkat kesejahteraan guru semakin baik terutama melalui program
sertifikasi guru dan sebagian besar guru sudah disertifikasi.
Tapi, bagaimana dengan yang belum sertifikasi? bagaimana dengan yang honorer atau
dalam sebutan lainnya? Bagaimana dengan yang telah pensiun? Apakah sertifikasi
itu benar-benar telah mensejahterahkan atau malah memunculkan beban tambahan? Apakah
model mensejahterakan guru itu telah memberikan suasana kebatinan yang baik
bagi guru dalam melaksanakan profesinya? Kalau suasana kebatinannya kurang baik
dan pikiran guru terbabani dengan beban lainnya bagaimana proses
pembelajaraannya akan baik? Tidakbisakah guru kita disejahterakan saja secara
ekonomi pada limit yang maksimal terlebih dahulu baru kemudian bentuk tambahan
penghasilan diukur berdasarkan capaian kinerjanya dan pemenuhan persyaratan dalam
regulasi yang ada? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala saya
terkait kesejahteraan, tapi saya tidak bisa menjawabnya.
Tiga
hal ini yang membuat saya penasaran, apa kira-kira yang akan dilakukan oleh
komponen negara yang lain itu untuk merespon hormat takzimnya Presiden tersebut
kepada guru.
Begitupun,
terlepas dari rasa penasaran saya itu, ketika kita telah memilih untuk
berprofesi sebagai guru, kita wajib melaksankannya sebaik dan semaksimal mungkin.
Masa depan banyak orang, kecerdasan penerus bangsa dan bahkan masa depan
negara, ada ditangan para Guru. Tidak bisa kita tidak bertanggungjawab terhadap
apapun yang terjadi di negara ini.
Pesan
Presiden kepada guru setelah membungkuk takzim perlu diingatrenungkan oleh
setiap insan pendidikan. Pesan Presiden, "Guru bukan sekadar mengajar.Saya titipkan masa depan bangsa ini kepada guru, menerangi jiwa anak-anak kita,agar tumbuh pribadi-pribadi yang sehat, matang. Merdekakan jiwa anak denganinklusif."
No comments:
Post a Comment