Beberapa waktu yang lalu dalam
dialog live yang kita semua bisa saksikan, ada yang bersikukuh kalau partainya
tidak menjadikan mahar politik sebagai syarat.
Ada juga yang ngotot, kalau yang mengatakan tidak ada mahar itu adalah
kebohongan. Ada juga yang berusaha untuk mengganti kata mahar dengan biaya
politik karena kata “mahar” dianggap sakral dan digunakan untuk keabsahan
sebuah pernikahan. Ada yang senyum-senyum saja dan ada yang tertawa, tapi tidak
terlihat yang sedih.
Siapa yang jujur dan siapa yang
tidak jujur, entahlah. Yang pasti, untuk yang berbohong sudah dijanjikan jalur
neraka dan untuk yang jujur sudah dijanjikan jalur surga. Mereka dan kita semua
tinggal memilih jalur yang mana. Itupun kalau masih percaya surga dan neraka
itu ada.
Cuma, semua yang hadir - dan juga
saya – sepakat bahwa politik kita mahal sekali biayanya. Dan disanalah awal
silang singkarut politik yang ada ini.
Kenapa mahal?
Semua asumsi memang bisa kita
keluarkan, tapi perlu riset mendalam untuk menjawabnya.
Dalam asumsi saya, dengan posisi
sebagai masyarakat pada umumnya, politik itu mahal karena kita memang tidak
sedang berpolitik. Sebagian dari kita saat ini sedang membagi-bagi uang dan
menikmati pembagian itu dengan menjadikan politik sebagai sarananya.
Berbeda dengan politisi-politisi
pendiri negara ini dulu berpolitik. Para orang tua kita itu berpolitik untuk
tujuan yang hendak dicapainya bersama-sama dengan pendukungnya masing-masing.
Kalaupun kemudian ada uang yang bisa dihasilkan dari aktifitas politiknya, itu
adalah bonus bukan tujuan. bisa di cek saja berapa banyak politisi zaman itu
yang kaya raya.
Berbanding terbalik dengan
keadaan sekarang. Hampir semuanya adalah aktifitas uang dan politik sebagai
bonusnya. Jadi wajar saja kalau politik kita kemudian membutuhkan dana yang
tidak sedikit untuk menduduki jabatan tertentu.
Ada yang keliru dalam cara kita
menilai orang yang duduk di jabatan publik tertentu serta memiliki akses kepada
keuangan negara atau daerah atau instansi lainnya.
Menduduki jabatan tertentu
dianggap sama dengan memiliki keuntungan ekonomis tertentu. Sehingga jika seseorang
menjabat sebuah jabatan, kemudian yang ditakar adalah berapa banyak uang yang
bisa dihasilkan dari jabatannya itu bukan apa saja yang mampu dilakukannya
dengan jabatannya. Bodoh sekali kalau ada orang yang menjabat sebagai bupati
lalu hanya sanggup membeli satu rumah tipe menengah saja padahal ada ratusan
milyar yang bisa dimainkannya. Kira-kira begitu.
Padahal, kalau si-pejabat itu
jujur dalam tugasnya, dan hanya mengambil yang benar-benar hak nya selama
jabatan, serta tidak memiliki usaha yang lain, mungkin memang hanya rumah itulah
yang sanggup dibelinya.
Itulah kenapa, ada pejabat yang
hidupnya sederhana, hartanya tidak terlalu banyak dan keluarganya tidak glamor,
menjadi pemandangan yang aneh di negara ini. Kalaupun ada, sebagian masyarakat
curiga sikap itu hanya kepura-puraan. Karena konsepsi awal yang terbangun,
pejabat itu mestilah kaya raya.
Masyarakat kemudian menilai si
pejabat memiliki harta yang berlimpah-limpah dari memanfaatkan jabatannya itu.
Para petualang, berlomba mendekati si pejabat dan berusaha agar si pejabat
setiap saat mengeluarkan uang untuk kebutuhan para petualang itu atau minimal
memberikan akses untuk mendapatkan uang melalui kewenangan yang dimiliki oleh si
pejabat.
Orang-orang yang disekitar
pejabatpun memoles diri untuk “pantas” berada dalam kehidupan si pejabat dengan
biaya yang juga tidak sedikit. Serta tidak sedikit masyarakat yang terpesona
dengan kedermawanan si pejabat yang kedermawanan itu sebenarnya dibiayai dengan
keahlian memainkan anggaran. Belum lagi si pejabat berubah gaya hidupnya dengan
biaya yang juga tidak sedikit.
Akhirnya, perputaran politik itu
dianggap sebagai perputaran uang.
Dulu saya pernah menjadi
koordinator tim relawan untuk seorang senior yang kami anggap baik dan layak
untuk memimpin. Kami bereksperimen untuk politik yang hanya untuk tujuan
politik, bukan untuk tujuan menghasilkan uang dari aktifitas politik. Istilah
kerennya, kami berinvestasi kepada orang-orang baik untuk mendapat pemimpin
yang baik pula. Kami mencoba membalik keadaan dari calon pemimpin berinvestasi
kepada calon pemilih menjadi calon pemilih yang berinvestasi kepada calon
pemimpin. Tapi usaha ini kandas.
Ada dua hal yang membuat kandas.
Pertama, ketika ketemu dengan pasangannya, kami dijustifikasi sebagai pendulang
uang dari kegiatan dukung mendukung itu. Saya pribadi tersinggung tapi maklum
saja. Kenapa? karena si pasangan memang telah mengeluarkan uang yang cukup
banyak untuk orang-orang yang menjadi tim suksesnya dan berasumsi kami juga
sama saja. Padahal, saya hanya sekali saja miminta uang, itupun untuk membayar
teh dan kopi disebuah kedai minuman saat sosialisasi bersama kandidat yang kami
dukung itu karena tidak ada lagi uang di dompet saya. Selain itu, aktifitasnya
kami biayai sendiri. Jadi kalau ada orang-orang tertentu yang mengatakan bahwa
dia dengan tulus dan ikhlas mendukung seseorang, saya percaya saja. Karena saya
pernah dan beberapa kawan pernah melakukannya. Tapi ada berapa banyak yang
begitu?
Hanya saja, ada juga beberapa
orang yang saya kenal bersikukuh mengatakan dia tidak mendapatkan uang dari
proses dukung mendukung itu, tapi saya tidak percaya. Saya mengenal pribadi
yang bersangkutan sebagai petualang dari permainan politik. Ada juga teman saya
yang dapat uang dalam proses itu Alhamdulillah, tidak dapat uang tidak apa-apa
tapi kegiatan jalan terus.
Penyebab kedua adalah, kami tidak
mampu dan tidak mau memenuhi permintaan dari calon-calon pemilih yang menjadi
target suara. Ada semacam asumsi bahwa kandidat yang datang itu mesti membawa
“buah tangan” untuk pribadi atau kelompok yang dikunjungi. Ini butuh biaya yang
tidak sedikit. Politisi kere yang hanya ingin berkontribusi untuk memperbaiki
kehidupan masyarakat tidak akan bisa membiayainya.
Kenapa harus ada buah tangan? Karena
si calon pejabat saat menjabat nanti dianggap akan menikmati keuntungan selama
lima tahun sedangkan bagi yang didatangi keuntungan yang bisa dinikmatinya
hanya saat itu saja. Makanya tidak penting apa yang bisa dilakukannya nanti,
yang penting saat itu uangnya ada atau tidak. Kalau saat itu uang tidak ada,
akan datang kandidat lain yang uangnya ada. Dan, yang ada uang inilah yang dianggap
baik hatinya. Jadi kalau tidak mau ditelikung kandidat yang lain, sediakan
uangnya. Mungkin ini sebab serangan fajar itu nge-hit di kita.
Ada juga bebarapa berita yang
saya baca, bahwa si kandidat pada saat ternyata kalah meminta kembali
barang-barang yang disumbangkannya. Ada juga yang stress dengan hutang
bertumpuk dan ada juga yang berperkara hukum karena pinjaman dana untuk biaya
suksesi tidak dibayar kembali.
Biaya saksi di TPS juga jadi
masalah. Saksi ini bukan sekedar saksi yang akan memastikan kejujuran pemilihan.
Mereka adalah suara yang dihitung sebagai suara milik si yang menugaskan
sebagai saksi. Hitungannya bukan hanya saksi itu, tetapi juga berapa suara yang
dimiliki oleh keluarga si saksi. Lalu jumlah suara ini menjadi alat transaksi. Banyak
juga yang kecewa. Setelah uang transport dikeluarkan, konsumsi diantarkan, eh,
si saksi memilih kandidat yang lain. Hehehe.
Para politisi yang mendadak jadi
politisi dan minim prestasi publik tapi bersyahwat menjadi pemimpin atau yang
selama menjabat minim prestasi lalu ingin menjabat lagi atau yang ingin
menduduki jabatan publik untuk kepentingan tertentu juga butuh biaya yang tidak
sedikit untuk memoles diri. Mulai dari biaya konsultan dan survey-survey yang
akan memberikan referensi untuk citra diri sampai biaya untuk memoles kedekatan
dengan masyarakat.
Jadi wajar saja kalau kemudian
politik kita menjadi mahal sekali. Karena kita tidak sedang menjadikan diri kita sebagai
modal politik tapi menjadikan uang kita sebagai modal politik.
Tapi, itu dulu. Sekarang walaupun
masih uang juga yang bekerja, tapi setidaknya keadaannya sudah mulai berubah,
terutama sejak Pilpres 2014. Dalam beberapa hal, keadaanya malah terbalik.
Karena perubahan inilah saya
optimis dunia politik kita sudah di jalur yang tepat meski masih ada kerikil di
sana-sini. Penjelasan optimisme ini nanti kita sambung ya bro:)
Begitulah…
No comments:
Post a Comment