Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Thursday, January 25, 2018

POLITIK KITA KENAPA MAHAL (1)?

By Hasan Van Lopha Simatupang


Beberapa waktu yang lalu dalam dialog live yang kita semua bisa saksikan, ada yang bersikukuh kalau partainya tidak menjadikan mahar politik sebagai syarat.  Ada juga yang ngotot, kalau yang mengatakan tidak ada mahar itu adalah kebohongan. Ada juga yang berusaha untuk mengganti kata mahar dengan biaya politik karena kata “mahar” dianggap sakral dan digunakan untuk keabsahan sebuah pernikahan. Ada yang senyum-senyum saja dan ada yang tertawa, tapi tidak terlihat yang sedih.


Siapa yang jujur dan siapa yang tidak jujur, entahlah. Yang pasti, untuk yang berbohong sudah dijanjikan jalur neraka dan untuk yang jujur sudah dijanjikan jalur surga. Mereka dan kita semua tinggal memilih jalur yang mana. Itupun kalau masih percaya surga dan neraka itu ada.

Cuma, semua yang hadir - dan juga saya – sepakat bahwa politik kita mahal sekali biayanya. Dan disanalah awal silang singkarut politik yang ada ini.



Kenapa mahal?

Semua asumsi memang bisa kita keluarkan, tapi perlu riset mendalam untuk menjawabnya.

Dalam asumsi saya, dengan posisi sebagai masyarakat pada umumnya, politik itu mahal karena kita memang tidak sedang berpolitik. Sebagian dari kita saat ini sedang membagi-bagi uang dan menikmati pembagian itu dengan menjadikan politik sebagai sarananya.

Berbeda dengan politisi-politisi pendiri negara ini dulu berpolitik. Para orang tua kita itu berpolitik untuk tujuan yang hendak dicapainya bersama-sama dengan pendukungnya masing-masing. Kalaupun kemudian ada uang yang bisa dihasilkan dari aktifitas politiknya, itu adalah bonus bukan tujuan. bisa di cek saja berapa banyak politisi zaman itu yang kaya raya.

Berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Hampir semuanya adalah aktifitas uang dan politik sebagai bonusnya. Jadi wajar saja kalau politik kita kemudian membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk menduduki jabatan tertentu.



Ada yang keliru dalam cara kita menilai orang yang duduk di jabatan publik tertentu serta memiliki akses kepada keuangan negara atau daerah atau instansi lainnya.

Menduduki jabatan tertentu dianggap sama dengan memiliki keuntungan ekonomis tertentu. Sehingga jika seseorang menjabat sebuah jabatan, kemudian yang ditakar adalah berapa banyak uang yang bisa dihasilkan dari jabatannya itu bukan apa saja yang mampu dilakukannya dengan jabatannya. Bodoh sekali kalau ada orang yang menjabat sebagai bupati lalu hanya sanggup membeli satu rumah tipe menengah saja padahal ada ratusan milyar yang bisa dimainkannya. Kira-kira begitu.

Padahal, kalau si-pejabat itu jujur dalam tugasnya, dan hanya mengambil yang benar-benar hak nya selama jabatan, serta tidak memiliki usaha yang lain, mungkin memang hanya rumah itulah yang sanggup dibelinya.

Itulah kenapa, ada pejabat yang hidupnya sederhana, hartanya tidak terlalu banyak dan keluarganya tidak glamor, menjadi pemandangan yang aneh di negara ini. Kalaupun ada, sebagian masyarakat curiga sikap itu hanya kepura-puraan. Karena konsepsi awal yang terbangun, pejabat itu mestilah kaya raya.

Masyarakat kemudian menilai si pejabat memiliki harta yang berlimpah-limpah dari memanfaatkan jabatannya itu. Para petualang, berlomba mendekati si pejabat dan berusaha agar si pejabat setiap saat mengeluarkan uang untuk kebutuhan para petualang itu atau minimal memberikan akses untuk mendapatkan uang melalui kewenangan yang dimiliki oleh si pejabat.

Orang-orang yang disekitar pejabatpun memoles diri untuk “pantas” berada dalam kehidupan si pejabat dengan biaya yang juga tidak sedikit. Serta tidak sedikit masyarakat yang terpesona dengan kedermawanan si pejabat yang kedermawanan itu sebenarnya dibiayai dengan keahlian memainkan anggaran. Belum lagi si pejabat berubah gaya hidupnya dengan biaya yang juga tidak sedikit.

Akhirnya, perputaran politik itu dianggap sebagai perputaran uang.



Dulu saya pernah menjadi koordinator tim relawan untuk seorang senior yang kami anggap baik dan layak untuk memimpin. Kami bereksperimen untuk politik yang hanya untuk tujuan politik, bukan untuk tujuan menghasilkan uang dari aktifitas politik. Istilah kerennya, kami berinvestasi kepada orang-orang baik untuk mendapat pemimpin yang baik pula. Kami mencoba membalik keadaan dari calon pemimpin berinvestasi kepada calon pemilih menjadi calon pemilih yang berinvestasi kepada calon pemimpin. Tapi usaha ini kandas.

Ada dua hal yang membuat kandas. Pertama, ketika ketemu dengan pasangannya, kami dijustifikasi sebagai pendulang uang dari kegiatan dukung mendukung itu. Saya pribadi tersinggung tapi maklum saja. Kenapa? karena si pasangan memang telah mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk orang-orang yang menjadi tim suksesnya dan berasumsi kami juga sama saja. Padahal, saya hanya sekali saja miminta uang, itupun untuk membayar teh dan kopi disebuah kedai minuman saat sosialisasi bersama kandidat yang kami dukung itu karena tidak ada lagi uang di dompet saya. Selain itu, aktifitasnya kami biayai sendiri. Jadi kalau ada orang-orang tertentu yang mengatakan bahwa dia dengan tulus dan ikhlas mendukung seseorang, saya percaya saja. Karena saya pernah dan beberapa kawan pernah melakukannya. Tapi ada berapa banyak yang begitu?

Hanya saja, ada juga beberapa orang yang saya kenal bersikukuh mengatakan dia tidak mendapatkan uang dari proses dukung mendukung itu, tapi saya tidak percaya. Saya mengenal pribadi yang bersangkutan sebagai petualang dari permainan politik. Ada juga teman saya yang dapat uang dalam proses itu Alhamdulillah, tidak dapat uang tidak apa-apa tapi kegiatan jalan terus.



Penyebab kedua adalah, kami tidak mampu dan tidak mau memenuhi permintaan dari calon-calon pemilih yang menjadi target suara. Ada semacam asumsi bahwa kandidat yang datang itu mesti membawa “buah tangan” untuk pribadi atau kelompok yang dikunjungi. Ini butuh biaya yang tidak sedikit. Politisi kere yang hanya ingin berkontribusi untuk memperbaiki kehidupan masyarakat tidak akan bisa membiayainya.  

Kenapa harus ada buah tangan? Karena si calon pejabat saat menjabat nanti dianggap akan menikmati keuntungan selama lima tahun sedangkan bagi yang didatangi keuntungan yang bisa dinikmatinya hanya saat itu saja. Makanya tidak penting apa yang bisa dilakukannya nanti, yang penting saat itu uangnya ada atau tidak. Kalau saat itu uang tidak ada, akan datang kandidat lain yang uangnya ada. Dan, yang ada uang inilah yang dianggap baik hatinya. Jadi kalau tidak mau ditelikung kandidat yang lain, sediakan uangnya. Mungkin ini sebab serangan fajar itu nge-hit di kita.

Ada juga bebarapa berita yang saya baca, bahwa si kandidat pada saat ternyata kalah meminta kembali barang-barang yang disumbangkannya. Ada juga yang stress dengan hutang bertumpuk dan ada juga yang berperkara hukum karena pinjaman dana untuk biaya suksesi tidak dibayar kembali.

Biaya saksi di TPS juga jadi masalah. Saksi ini bukan sekedar saksi yang akan memastikan kejujuran pemilihan. Mereka adalah suara yang dihitung sebagai suara milik si yang menugaskan sebagai saksi. Hitungannya bukan hanya saksi itu, tetapi juga berapa suara yang dimiliki oleh keluarga si saksi. Lalu jumlah suara ini menjadi alat transaksi. Banyak juga yang kecewa. Setelah uang transport dikeluarkan, konsumsi diantarkan, eh, si saksi memilih kandidat yang lain. Hehehe.



Para politisi yang mendadak jadi politisi dan minim prestasi publik tapi bersyahwat menjadi pemimpin atau yang selama menjabat minim prestasi lalu ingin menjabat lagi atau yang ingin menduduki jabatan publik untuk kepentingan tertentu juga butuh biaya yang tidak sedikit untuk memoles diri. Mulai dari biaya konsultan dan survey-survey yang akan memberikan referensi untuk citra diri sampai biaya untuk memoles kedekatan dengan masyarakat.

Jadi wajar saja kalau kemudian politik kita menjadi mahal sekali. Karena kita tidak sedang menjadikan diri kita sebagai modal politik tapi menjadikan uang kita sebagai modal politik.

Tapi, itu dulu. Sekarang walaupun masih uang juga yang bekerja, tapi setidaknya keadaannya sudah mulai berubah, terutama sejak Pilpres 2014. Dalam beberapa hal, keadaanya malah terbalik.

Karena perubahan inilah saya optimis dunia politik kita sudah di jalur yang tepat meski masih ada kerikil di sana-sini. Penjelasan optimisme ini nanti kita sambung ya bro:)

Begitulah…

Note: Terimakasih kepada Hasan Van Lopha yang telah membuat ilustrasi untuk tulisan ini.

No comments:

Post a Comment