Politik
memang dinamis, sedinamis kepentingan yang ada di dalamnya.
Dari
sisi politik, tidak ada yang tidak mungkin, tidak ada yang kejam, tidak larut
dalam pertimbangan apakah akan ada yang terluka, tidak larut dalam pertimbangan
akankah mereka yang digadang-gadangkan itu akan mampu atau tidak. Yang ada
hanyalah kebutuhan, bahwa hari ini ada kontestasi yang hendak dimenangkan.
Itulah
seni mendudukan kandidat dan itu biasa-biasa saja. Kandidat yang didudukan itu mesti punya kemungkinan menang paling tinggi
diantara pilihan-pilihan yang ada, lalu waktu yang akan menjawab, apakah
kemampuan yang diceritakan itu benar nyata atau tidak. Dan ini masih bagian
pertama.
Bagian
ke dua, bagaimana mempengaruhi suara para
pemilik suara. Ada seribu satu narasi yang bisa disusun dan ada seribu satu
jalan yang bisa ditempuh, serta ada seribu satu alasan yang bisa diciptakan.
Tinggal ditentukan yang mana yang paling cocok dengan kadar selera pemilih. Jangan
heran jika mereka yang tampil bisa berubah-rubah warna dan wacana. Jangan heran
kalau yang kemaren tidak boleh, sekarang boleh. Yang kemaren disuatu tempat
dilarang, ditempat yang lain dilakukan. Semua tergantung kadar selera calon pemilih yang akan dipengaruhi.
Semakin
tinggi daya nalar pemilik suara, semakin berat pekerjaan untuk mempengaruhinya.
Tak cukup dengan menjual angan-angan yang diwacanakan. Tak mempan kampanye
hitam yang digaungkan. Tak berpengaruh tumpukan uang yang dijejalkan. Si kandidat
dan pendukungnya, harus benar-benar punya ukuran yang jelas, rekam jejak yang
mampuni dan ekspektasi masa depan yang meyakinkan. Tanpa itu jangan harap pemilik
suara akan menyerahkan suaranya.
Sebaliknya,
semakin rendah daya nalar pemilik suara, semakin mudah mempengaruhi bahkan
mengatur kemana suara miliknya itu akan diserahkan. Kandidat tak perlu menunjukan
hasil kerja-kerja kerasnya. Cukup dengan tidak menganggu zona nyamannya. Cukup
dengan memberikan kenikmatan sesaat yang dikehendakinya. Cukup dengan memuji
angan-angannya walau untuk sementara. Cukup dengan menimbulkan kekaguman-kekaguman
yang memenuhi hasratnya. Cukup dengan meyakinkan bahwa mereka seolah-olah sudah
berjalan di jalan yang seharusnya. Kemudian tinggal tunggu saja kehadirannya di
bilik suara.
Disinilah
kepiawaian para sutradara ditentukan, sekaligus tanggung jawab moral dan etiknya
di uji. Apakah mereka akan mendewasakan kecerdasan atau memelihara dan
memanfaatkan kebodohan. Itulah pilihan bagi mereka.
Selanjutnya
bagian ke tiga. Tahap pembuktian dalam waktu yang berjalan. Apakah mereka yang
telah dipilih itu akan membuat sutradara dan pemilik suara tersenyum bangga
atau meringis sedih. Para sutradara akan tersenyum dan bersedih berdasarkan terpenuhi
atau tidak kebutuhan dan kepentingannya. Para pemilik suara dengan daya nalar
tinggi akan tersenyum atau meringis berdasarkan penalaran objektif terhadap realitas
yang ada. Sedangkan pemilik suara dengan daya nalar rendah akan tersenyum atau
meringis berdasarkan penilaian subjektif terhadap kebutuhan jangka pendeknya
dan kesenangan praktis yang mempengaruhi perasaanya.
Lalu
seni politik pun kembali ke bagian pertama.
Dari
seluruh bagian itu, pemilik suaralah pemegang kuncinya. Para sutradara hanyalah
menyediakan pilihan-pilihan untuk dipilih. Semakin cerdas para pemilik suara,
semakin cerdas juga pemimpin yang dihasilkannya dan semakin jelas arah tujuan
bersama yang hendak diraih.
Sebaliknya,
semakin rendah daya nalar pemilik suara, semakin besar peluang bagi mereka yang
sebenarnya tidak bisa berbuat apa-apa menikmati manisnya kekuasaan. Dan, kehidupan
pemilik suara itu tidak pernah akan lebih baik dari keadaan sebelumnya.
Tinggal
kita, para pemilik suara yang memilih, kita akan menjadi pemilik suara yang seperti
apa.
Selamat
menikmati pilihan-pilihan untuk Pilkada 2018.
No comments:
Post a Comment