Dulu, setelah rame
orang menghujat “mulut jamban” yang dilengketkan ke Ahok,
saya pikir Indonesia akan penuh dengan
orang-orang santun yang menolak menghujat, memaki, menghina, mencaci, memfitnah dan mengurusi urusan
orang lain yang tidak berhubungan dengannya. Ternyata tidak.
Mengapa saya berpikir begitu?
Logikanya sederhana saja.
Orang yang rame-rame menghujat “mulut jamban”
itu semestinya karena mengetahui,
setidaknya merasa, “mulut jamban” itu tidak baik,
makanya dihujatnya dan orangnya ditolaknya.
Demikian juga dengan orang yang dihujat dan simpatisan
yang dihujat, semestinya kemudian menyadari ada kekeliruan dalam cara komunikasinya yang
mengakibatkan mereka di tolak
sebagian kelompok.
Karena itu juga,
setelah orang yang dihujat itu tidak muncul lagi di publik, mestinya
bentuk prilaku
yang dihujat juga tidak ada lagi di publik. Orang yang berani menilai
orang lain lebih buruk dibanding dirinya, mestinya telah memastikan bahwa dirinya tidak sama saja atau malah lebih buruk dibandingkan
orang yang dinilainya itu. Demikian juga orang yang telah menerima penilaian buruk,
semestinya menyadari bahwa ada sesuatu
yang dipandang keliru dan tidak boleh berulang lagi. Bukankah begitu?
Logika saya ini tidak tepat atau kita memang sudah tidak logis lagi?
Entah lah.
Nyatanya, model “mulut jamban”
ini tetap saja rame meski tidak dalam narasi yang diucapkan, tapi diketikan
di status medsos atau melalui komen-komen pada kolam komentar
di medsos. Malah ada akun-akun anonim dengan identitas dipalsukan yang
kelihatannya sengaja didedikasikan khusus untuk memaki,
menghina, mencaci, menfitnah orang lain,
membuat jengkel orang lain dan mendistribusikan penyimpangan prilaku itu.
Saya perhatikan malah “mulut jamban” nya lebih jamban lagi dari pada mulut
yang dihujatnya itu. Kalau yang ini mungkin lebih tepat disebut
“jempol jamban”, hehehe. Memang ada yang berusaha sesantun mungkin,
tapi isinya, meski santun, tetap saja “mulut jamban”. Secara,
“mulut jamban” ini kan didedikasikan terhadap
orang-orang yang mulutnya hanya mampu memproduksi sampah dan kotoran lainnya.
Ini adalah fakta
yang menyedihkan di negara kita yang berbasis agama dan keberadaban dengan budaya leluhur
yang bermartabat. Orang yang menikmati keadaan ini atau berusaha mendapatkan manfaat dari keadaan seperti ini,
silahkan ditanggung dosanya. Kalau saya mah,
ogah pake banget.
Memperbincangkan inilah kemaren dengan beberapa teman, kami akhirnya sampai kepada diskusi terkait istilah “sumbu-sumbuan” dalam model berpikir massa.
Ada istilah sumbu panjang, ada istilah sumbu pendek dan ada istilah sumbu
yang dikendalikan remot.
Istilah “sumbu-sumbuan” ini ditasbihkan kepada
model berpikir yang hilang akal sehatnya, tidak mampu lagi logis,
hilang fungsi control dari nuraninya dan yang tersisa hanya emosi
yang meledak-ledak. Jika sumbunya telah sampai kepada batas kemampuan berpikirnya,
meledaklah dia. Kira-kira begitu. Model beginian bisa anda lihat pada berbagai kelompok terutama jika sudah terkait dengan dukung-mendukung
personal tertentu. Ini bukan soal agama atau keyakinan.
Ini adalah soal tabiat yang bersangkutan.
Ada yang panjang sumbunya.
Artinya, dia sudah berusaha mengendalikan diri semaksimal mungkin,
berusaha mengikuti alur diskusi
yang ada, sudah berusaha untuk bersabar, tapi setelah mentok dan tidak mampu lagi berargumen,
dia meledak. Setelah meledak, hilanglah kesantunan diskusi dan
berubah menjadi caci maki, serangan terhadap pribadi orang lain, ajakan persekusi, dan sumpah serapah lainnya.
Ada yang pendek sumbunya.
Begitu tersulut, meledak. Begitu tersengol,
mengamuk. Begitu berbeda pandangan, mencaci dan seterusnya.
Dengan anteng, model beginian membinatang-binatangkan
orang lain di medsos. Ada juga yang mengerikan dengan ajakan untuk melakukan kekejaman-kekejaman
yang tidak manusiawi.
Ada yang sumbunya dikendalikan dengan remot kontrol. Artinya,
model berpikirnya mengikuti ritme-ritme tertentu
yang sepertinya telah diatur baik disadarinya atau tidak. Model yang ini dapat diidentifikasi dari pola-pola komunikasi dan tindakan
yang serupa dari beberapa akun mendsos dalam
merespon pandangan-pandangan
yang berbeda.
Tapi, yang paling menarik dari
model “sumbu-sumbuan” ini adalah mereka sering menjadi anti tesis untuk mereka sendiri. Misalnya mereka menggunakan akun anonim tapi mencerca akun anomin
yang lain. Mereka meminta kelompok tertentu untuk move on
soal tapi mereka sendiri tidak move on.
Mereka menuduh orang lain menyebarluaskan hoax dan fitnah,
tapi mereka sendiri bolak-balik menyebar hoax dan
fitnah. Mereka meminta orang lain untuk berbicara fakta sambil sekaligus menolak untuk menggali fakta lebih dalam dan menolak fakta
yang disampaikan orang lain. Mereka mengkritik
pihak lain habis-habisan sehingga tak bisa lagi dibedakan antara menghina,
mencerca, memfitnah dengan mengkritik, tapi saat mereka dikritik mereka juga
tidak menerimanya.
Keadaan ini menunjukan bahwa selain terjebak dalam model berpikir “sumbu-sumbuan” itu,
mereka juga masuk dalam keadaan kemunafikan dan ambivalensi,
sehingga tuntutan kebaikan itu seolah-olah hanya berlaku untuk
orang lain sedang mereka sendiri tetap dalam keburukannya. Pepatahnya, semut di ujung lautan terlihat, tapi gajah di
depan wajah tak terlihat.
Nah, esensi dari model
berpikir “sumbu-sumbuan” dan berakhir dalam
keadaan “mulut jamban” sebenarnya adalah adanya pemaksaan kehendak dan memaksakan kebenaran diri sendiri kepada orang lain. Mereka-mereka yang model berpikirnya
“sumbu-sumbuan” ini baru akan nyaman, jika apa saja
yang mereka sampaikan diterima dan di’iya’kan.
Jika tidak, anda lagi nyari perkara dengan mereka dan akan merasakan “mulut jamban” mereka yang
disalurkan lewat jempol.
Jadi, fenomena ini sebenarnya merupakan bentuk dari ditutupnya ruang
dialog meski dengan kamuflase diskusi atau
debat di dunia maya. Inilah
yang disebut Hitler dengan model berpikir intelegensi murni rendah
yang dimunculkan oleh sintimen primitif.
Tentang intelengsi murni dan
sentiment primitif ala Hitler ini sudah pernah saya tulis. silahkan baca di sini
Munculnya fenomena “mulut jamban” dan model berpikir “sumbu-sumbuan”
ini juga wujud kedangkalan berpikir sekaligus kedangkalan jiwa orang-orang yang
terlibat di dalamnya. Hilang kemampuannya mengendalikan diri dan kadang menjadi
konyol dan berdampak buruk (beberapa kasus kemudian menjadi masalah hukum).
Kalau anda mau seperti itu, ya, terserah anda. Kalau saya,
sekali lagi saya ogah pake banget.
Bagi saya, bebas-bebas saja jika orang lain ingin
menyampaikan pendapatnya kepada saya dan saya juga bebas-bebas saja menyampaikan
pendapat ke orang lain dalam bingkai penghormatan kemanusiaan. Apakah saya
kemudian menerima pendapat itu atau tidak, itu urusan saya. Sebaliknya, apakah orang
lain itu menerima pendapat saya atau tidak, itu juga urusannya. Berpendapat tidak
perlu sampai merusak persaudaraan, persahabatan maupun pertemanan. Dari silang
pendapat itulah hal-hal baik bisa muncul sepanjang silang pendapat itu
dilakukan untuk tujuan yang baik pula.
No comments:
Post a Comment