AH,
TUAN. MENGAPA KITA BEGITU?
Tuan, mengapa kita begitu?
Kita melarang orang untuk sombong, tapi kita tak kalah
sombongnya.
Kita melarang orang untuk tidak
menistakan kita, tapi kita tak kalah menistanya.
Kita melarang orang untuk
menghina dan mencaci kita, tapi kita tak kalah menghina dan mencacinya.
Kita melarang orang untuk
berkata-kata kasar, tapi kata-kata kita tak kalah kasarnya.
Kita melarang orang untuk
memfitnah kita, tapi fitnah dari kita terus ada.
Kita melarang orang untuk berpraduga
negatif, tapi praduga negatif kita tak henti-hentinya.
Tuan, mengapa kita begitu?
Kita meminta orang untuk
menghargai kita, tapi kita tak dapat menghargai orang lain.
Kita meminta orang untuk cerdas,
tapi kita tak membiarkannya berpikir.
Kita meminta orang untuk belajar,
tapi kita tak mau menerima hasil belajarnya.
Kita meminta orang untuk
menjernihkan hati, tapi hati kita tidak jernih.
Kita meminta orang untuk mencari
informasi, tapi kita menolak informasi.
Kita meminta orang untuk
menghargai perbedaan, tapi kita tidak menerima orang yang berbeda.
Tuan, mengapa kita begitu?
Kita ingin orang menerima
kehendak kita, tapi kita tidak ingin orang juga berkehendak.
Kita ingin orang memikirkan perkataan
kita, tapi kita tidak mau memikirkan perkataan orang lain.
Kita ingin orang menghargai apa
yang kita hargai, tapi kita menolak bahwa orang juga menghargai apa yang mereka
hargai.
Kita ingin agar kitalah yang
paling benar, tapi marah jika orang mengatakan bahwa mereka juga merasa paling
benar.
Kita ingin orang menerima tafsir
kita, tapi kita menolak orang memiliki tafsirnya sendiri.
Kita ingin orang mengakui
kemuliaan kita, tapi kita menolak memuliakan orang lain.
Tuan, mengapa kita begitu?
Tak bisakah semua yang kita
larang, kita minta dilakukan orang lain dan kita inginkan dari orang lain itu,
kita lakukan untuk diri kita terlebih dahulu?
Bukankah untuk memperbaiki
keadaan, kita harus memulainya dari memperbaiki diri kita sendiri terlebih
dahulu?
Bukankah untuk mencerdaskan orang
lain, kita harus memulainya dari mencerdaskan diri kita dahulu?
Bukankah untuk menjernihkan akal
dan pikiran orang lain, kita harus memulainya dari menjernihkan akal dan
pikiran kita sendiri terlebih dahulu?
Bukankah untuk menghasilkan
perubahan kita harus bersedia menjadi bagian dari perubahan dan merubah diri
kita terlebih dahulu?
Bukankah untuk meluruskan
informasi kita harus meluruskan informasi kita terlebih dahulu?
Tuan, mengapa kita begitu?
Berikanlah aku yang sedang
belajar dan terus belajar ini sebuah ilmu yang mapan, yang dapat ku dengar dan
ku baca dan dijadikan pedoman.
Berikanlah aku yang sedang
menempa diri ini sebuah arahan yang jelas dan tidak plinplan serta berubah-ubah
bergantung keadaan.
Berikanlah aku yang
terombang-ambing narasi ini sebuah ketenangan menyejukan yang jauh dari amarah
yang menghancurkan.
Berikanlah aku yang bingung ini sebuah
jalan yang tidak gelap tertutupi berbagai kepentingan.
Berikanlah aku yang ingin
berprilaku lebih baik ini contoh kebaikan prilaku yang berguna untuk kehidupan dan
kebersamaan.
Berikanlah aku yang merindukan
kemuliaan ini sebuah keteladanan sikap dari orang-orang yang dimuliakan.
Tuan, mengapa kita begitu.
Aku semakin bingung, sebenarnya
yang munafik itu siapa? Kita kah? Mereka kah? Atau kita dan mereka sama saja?
No comments:
Post a Comment