Aku
: Tuan, tidak kah Tuan ingin berdebat seperti orang-orang yang banyak berdebat
di medsos itu?
Tuan
: Tidak.
Aku
: Kenapa, Tuan? Apakah Tuan takut kalah?
Tuan
: Bukan. Gunanya apa? Apa yang kita menangkan atau apa kekalahan yang kita alami?
Aku
: Setidaknya kita merasa puas telah berhasil menundukan orang lain dengan
argumen kita?
Tuan
: Hehehe, itu kelakukan pesilat lidah. Aku bukan dan tak ingin menjadi pesilat
lidah.
Aku
: Tapi, kadang ku lihat tuan juga ikut terlibat dalam perdebatan di medsos itu?
Tuan
: Hanya untuk hal-hal yang menarik dan menambah pengetahuan atau sesuatu yang
tidak ditempatnya atau sesuatu yang bersifat fitnah yang mesti diberikan
informasi pembanding. Kadang juga karena ku lihat munculnya kesombongan yang
melebihi batas.
Aku
: Mengapa begitu, Tuan?
Tuan
: Perdebatan di Medsos itu diikuti oleh banyak orang yang kita tidak mengenal
orang-orangnya secara langsung. Di sana kita bisa menyimak siapa yang sedang
menujukan kecerdasannya dan siapa yang sedang mempertontonkan kebodohannya. Juga
menunjukan siapa yang ingin menjelaskan sesuatu dan siapa yang sekedar ingin
memojokan orang lain. Juga bisa dilihat siapa yang punya kepentingan tertentu
dan siapa yang murni panggilan nuraninya. Kalau kita larut, kita akan
kehilangan kontrol diri dan terjebak dalam ngotot-ngototan yang tidak berdasar
serta bisa menyakiti orang lain. Karenanya kita harus memilah-milah.
Aku
: Kenapa bisa begitu, Tuan?
Tuan
: Berdebat di medsos itu mengasikkan, apalagi bagi orang-orang yang menggunakan
akun-akun tanpa identitas yang jelas. Di sana dia bebas mengeluarkan apa yang
ada di kepala dan di hatinya, tanpa merasa takut dipermalukan atau
memperlihatkan kebodohannya. Di perdebatan tatap muka, hal ini sulit dilakukan.
Kalau di Medsos dia bisa berkilah kesana-kemari, tidak nyambung, dan lari dari substansi serta banyak juga yang kemudian
mencaci-maki dan menyerang pribadi orang lain. Yang model beginian enak
diikuti, apalagi kemudian berhasil membully orang lain yang akan memunculkan
kepuasan sendiri. Tapi disadari atau tidak, jika kita larut, hati kita menjadi
mengeras dan membatu, karena perdebatannya tidak dengan semangat mencari
kebenaran, tapi sekedar lomba siapa yang berhasil menundukan siapa.
Aku
: Adakah yang hatinya mengeras atau membantu itu,Tuan?
Tuan
: Ada. Mereka yang dalam perdebatan itu memfitnah atau menyebarluaskan fitnah,
membinatang-binatangkan orang lain, menghina, mencaci-maki orang lain dan
mengeluarkan umpatan-umpatan kasar yang tidak pantas terutama di ranah publik
seperti medsos, hatinya telah mengeras dan membantu. Jika hatinya masih bekerja
dengan baik dan keimanan masih tersisa di sana, akan ada getaran bahwa hal-hal
yang seperti itu tidak boleh dilakukan. Orang yang hatinya telah mengeras dan
membantu tidak bisa lagi melihat kebenaran dan rasa malu telah dicabut darinya.
No comments:
Post a Comment