Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Thursday, December 28, 2017

MENGHEWANKAN MANUSIA



desain by Hasan Van Lova Simatupang


Aku : Tuan, sekarang saya tidak tahu apakah orang semakin pintar atau semakin aneh.

Tuan : Mengapa bisa begitu?

Aku : Karena sekarang banyak yang bisa berbicara dengan hewan di media sosial. Padahal hewan kan tidak mampu menggunakan akalnya untuk menggunakan media sosial.

Tuan : Loh. Contohnya?


Aku : Ada yang saban hari bicara kepada kecebong, kampret, anjing, babi, monyet dll di media sosial. Mungkin mereka pintar bisa berbicara dalam bahasa hewan-hewan itu dan sering ngobrol sendiri dengan hewan-hewan itu, tapi mereka aneh mengajak hewan-hewan berkomen ria di medsos. Ada yang ngetik, “Hai, cebong. Apa kabar hari ini?” ada yang ngetik, “paham, kan, kampret?”. Malah ada yang bilang diskursus politik kita sekarang di dominasi oleh kecebong dan kampret ini. Hebat betul hewan-hewan itu bisa mendominasi wacana politik manusia.

Tuan : Kenapa aneh?

Aku : Iya, lah tuan. Saya belum pernah melihat hewan-hewan itu main fecebook, instagram, twitter dll itu. Lah, gimana mereka mau baca komen-komen itu.

Tuan :  Hehehehe, mungkin mereka itu punya keahlian berbicara dengan hewan seperti dalam film Dr Dolittle, atau Mowgli dalam film The Jungle Book itu. Atau dulunya mereka berkeinginan untuk mengikuti jejak Tarzan yang diceritakan Edgar Rice Burroughs atau Hay Bin Yaqzan yang diceritakan Ibnu Thufail. Mungkin juga mereka menggap hewan-hewan itu berpolitik secerdas kera dalam trilogi Planet of the Apes atau seperti politik binatang-bintang yang diceritakan George Oewell dalam Animal Farm-nya.

Aku : Tapi Tuan, mereka sebenarnya tidak berbicara kepada hewan-hewan itu, melainkan mereka berbicara dengan manusia lainnya yang mereka identifikasi sebagai hewan-hewan yang mereka sebut itu.

Tuan : Benar, itulah maksud mereka yang sesungguhnya. Mereka telah mengindentifikasi orang-orang yang tidak sepemahaman dengan mereka sebagai binatang.

Aku : Mengapa bisa begitu, Tuan?

Tuan : Karena mereka tidak lagi memiliki pengehormatan kemanusian dan tidak melihat keberpikiran manusia sebagai fitrah. Keberpikiran inilah yang memunculkan perbedaan-perbedaan itu. Mereka tidak lagi mampu menerima perbedaan itu untuk dapat memetik hikmah dan manfaat dari sana. Mereka juga telah sampai di kebuntuan berpikir sehingga stagnan pada sependek yang diketahuinya saja, padahal yang bisa dipelajari tidak terbatas. Pada keadan ini - saat mereka mengindentifikasi manusia lain sebagai binatang - emosinya lebih sering muncul dari akal sehat-nya.

Aku : Apakah itu perbuatan yang baik, Tuan?

Tuan : Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang baik. Apa pelajaran yang bisa kau ambil dari orang-orang emosional yang mengidentifikasi orang lain sebagai binatang selain kemampuan untuk menghina orang lain? Adakah kebaikan di sana?

Aku : Kalau begitu, kenapa dilakukan oleh mereka, Tuan?


Tuan : Karena hawa nafsunya telah memunculkan kebanggaan yang berlebih-lebihan terhadap dirinya sendiri.

Aku : Bolehkah kita melakukannya juga, Tuan?

Tuan : Jangan, kita tidak boleh melakukan itu. Setiap kali kita lakukan, setiap itu juga kita mendorong orang lain untuk melakukan hal yang sama. Tidak boleh juga menambah idiom-idiom baru untuk menambah semaraknya caci maki di media sosial.

Aku : Mengapa begitu, Tuan?


Tuan : Celakalah kalau kita lakukan hal itu. Setiap kali orang terdorong untuk membinatang-binatangkan orang lain karena kita atau setiap kali orang menggunakan idiom yang kita ciptakan itu untuk saling mencaci maki, setiap kali itu juga dosanya mengalir ke kita.

Begitulah....

Note: Gambar oleh Hasan Van Lopa Simatupang.

2 comments:

  1. HVL: Tuan, lantas apakah marah itu tidak perlu?
    apakah tidak ada pengecualian untuk mengindentikkan para manusia yg mencontoh binatang?

    ReplyDelete
  2. Marahnya manusia juga perlu,tapi tentu saja marahnya manusia berbeda dengan marahnya binatang. Marahnya binatang mengikuti instingnya dan memangsa siapa saja yang ada disekitarnya tanpa peduli kerusakan yang dimunculkan akibat marahnya itu. Sedangkan marahnya manusia adalah marahnya makhluk berakal yang nalurinya melewati saluran akal dan nurani yang dianugrahkan oleh-Nya.

    ReplyDelete