Aku
: Tuan, sekarang saya tidak tahu apakah orang semakin pintar atau semakin aneh.
Tuan
: Mengapa bisa begitu?
Aku
: Karena sekarang banyak yang bisa berbicara dengan hewan di media sosial. Padahal
hewan kan tidak mampu menggunakan akalnya untuk menggunakan media sosial.
Tuan
: Loh. Contohnya?
Aku
: Ada yang saban hari bicara kepada kecebong, kampret, anjing, babi, monyet dll
di media sosial. Mungkin mereka pintar bisa berbicara dalam bahasa hewan-hewan
itu dan sering ngobrol sendiri dengan hewan-hewan itu, tapi mereka aneh
mengajak hewan-hewan berkomen ria di medsos. Ada yang ngetik, “Hai, cebong. Apa
kabar hari ini?” ada yang ngetik, “paham, kan, kampret?”. Malah ada yang bilang
diskursus politik kita sekarang di dominasi oleh kecebong dan kampret ini. Hebat
betul hewan-hewan itu bisa mendominasi wacana politik manusia.
Tuan
: Kenapa aneh?
Aku
: Iya, lah tuan. Saya belum pernah melihat hewan-hewan itu main fecebook,
instagram, twitter dll itu. Lah, gimana mereka mau baca komen-komen itu.
Tuan
: Hehehehe, mungkin mereka itu punya
keahlian berbicara dengan hewan seperti dalam film Dr Dolittle, atau Mowgli
dalam film The Jungle Book itu. Atau dulunya
mereka berkeinginan untuk mengikuti jejak Tarzan yang diceritakan Edgar Rice Burroughs atau Hay Bin Yaqzan yang diceritakan Ibnu
Thufail.
Mungkin juga mereka menggap hewan-hewan itu berpolitik secerdas kera dalam trilogi Planet of the Apes
atau seperti politik binatang-bintang yang diceritakan George Oewell dalam
Animal Farm-nya.
Aku : Tapi Tuan, mereka sebenarnya
tidak berbicara kepada hewan-hewan itu, melainkan mereka berbicara dengan
manusia lainnya yang mereka identifikasi sebagai hewan-hewan yang mereka sebut
itu.
Tuan : Benar, itulah maksud mereka
yang sesungguhnya. Mereka telah mengindentifikasi orang-orang yang tidak
sepemahaman dengan mereka sebagai binatang.
Aku : Mengapa bisa begitu, Tuan?
Tuan : Karena mereka tidak lagi
memiliki pengehormatan kemanusian dan tidak melihat keberpikiran manusia
sebagai fitrah. Keberpikiran inilah yang memunculkan perbedaan-perbedaan itu. Mereka
tidak lagi mampu menerima perbedaan itu untuk dapat memetik hikmah dan manfaat dari
sana. Mereka juga telah sampai di kebuntuan berpikir sehingga stagnan pada
sependek yang diketahuinya saja, padahal yang bisa dipelajari tidak terbatas. Pada
keadan ini - saat mereka mengindentifikasi manusia lain sebagai binatang - emosinya
lebih sering muncul dari akal sehat-nya.
Aku : Apakah itu perbuatan yang baik,
Tuan?
Tuan : Tentu saja tidak. Bagaimana mungkin
hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang baik. Apa pelajaran yang bisa kau ambil
dari orang-orang emosional yang mengidentifikasi orang lain sebagai binatang
selain kemampuan untuk menghina orang lain? Adakah kebaikan di sana?
Aku : Kalau begitu, kenapa dilakukan
oleh mereka, Tuan?
Tuan : Karena hawa nafsunya telah
memunculkan kebanggaan yang berlebih-lebihan terhadap dirinya sendiri.
Aku : Bolehkah kita melakukannya juga,
Tuan?
Tuan : Jangan, kita tidak boleh
melakukan itu. Setiap kali kita lakukan, setiap itu juga kita mendorong orang
lain untuk melakukan hal yang sama. Tidak boleh juga menambah idiom-idiom baru
untuk menambah semaraknya caci maki di media sosial.
Aku : Mengapa begitu, Tuan?
Tuan : Celakalah kalau kita lakukan
hal itu. Setiap kali orang terdorong untuk membinatang-binatangkan orang lain
karena kita atau setiap kali orang menggunakan idiom yang kita ciptakan itu
untuk saling mencaci maki, setiap kali itu juga dosanya mengalir ke kita.
Note: Gambar oleh Hasan Van Lopa Simatupang.
HVL: Tuan, lantas apakah marah itu tidak perlu?
ReplyDeleteapakah tidak ada pengecualian untuk mengindentikkan para manusia yg mencontoh binatang?
Marahnya manusia juga perlu,tapi tentu saja marahnya manusia berbeda dengan marahnya binatang. Marahnya binatang mengikuti instingnya dan memangsa siapa saja yang ada disekitarnya tanpa peduli kerusakan yang dimunculkan akibat marahnya itu. Sedangkan marahnya manusia adalah marahnya makhluk berakal yang nalurinya melewati saluran akal dan nurani yang dianugrahkan oleh-Nya.
ReplyDelete