Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Sunday, March 25, 2018

2030 DAN SETERUSNYA, SAYA TETAP OPTIMIS!


http://www.rfwahyudi.blogspot.co.id


Jadi heboh tentang angka 2030 sejak beredar pidato pak Prabowo terkait keadaan Indonesia yang diprediksi bubar dan ada skenario asing untuk itu. Kehebohan bertambah setelah diketahui bahwa pidato itu terinspirasi dari bagian cerita pada sebuah novel berjudul Ghost Fleet: a Novel of The Next World War yang ditulis oleh Peter Warren Singer dan August Cole. Kehebohan semakin lengkap setelah cuitan Twitter penulis novel tersebut dikutip media-media Indonesia sampai pada kalimat “Fiction, not prediction, right?” dan ‘Ask the Indonesian general...” (baca di sini).


Respon publik macam-macam (sepanjang yang melintas di ruang medsos saya). Ada yang tidak percaya, ada yang miris, ada yang marah, ada yang mencemooh, ada yang menggangapnya ngawur, ada yang memunculkan meme dengan data pembanding bahwa 2030 Indonesia justru diprediksi menjadi salah satu negara top di dunia. Ada juga yang mendukung, membela dan meyakini bahwa itu bisa saja terjadi. Ada yang langsung menjadikannya sebagai jargon untuk dukung-mendukung atau tolak-menolak kandidat-kandidat tertentu pada pilpres 2019 mendatang.


Pada perspektif pribadi saya, sah-sah saja jika pak Prabowo menjadikan novel itu sebagai acuan dalam mengembangkan kerangka berpikir. Itu hak Beliau. Pak Prabowo sendiri sudah mengatakan bahwa beliau menyampaikan itu sebagai peringatan agar kita waspada. Lagi pula, cerita-cerita fiksi, terutama yang mendapat pengakuan sebagai novel yang baik, tentunya ditulis dengan landasan berpikir dan penguasaan informasi yang kuat terhadap materi novelnya. Wajar kalau ceritanya menjadi inspiratif dan mempengaruhi banyak orang. Meskipun demikian, fiksi tetap saja fiksi, seperti cuitan Twitter August Cole, si penulis Ghost Fleet, Fiction, not prediction, right?”

Mengapa? Karena riset yang dilakukan oleh penulis fiksi untuk fiksinya, meskipun dilakukan mendalam dan detail, tetapi digunakan untuk mendapatkan plot-plot yang tepat dalam mengembangkan imajinasinya sendiri sehingga bercampur antara data-data dengan daya hayal si penulis. Jadi bukan bagaimana data-data itu dianalisis untuk menjelaskan fakta dan fenomena, tetapi bagaimana fakta-fakta itu digunakan untuk menguatkan alur cerita yang disusun oleh penulis.

Banyak sekali cerita fiksi inspiratif dan mempengaruhi orang banyak berbasis pengetahuan mendalam yang bisa kita sebut untuk contoh, seperti novel-novelnya Asmaraman Kho Ping Hoo, Tetralogi Laskar Pelanggi-nya Adrea Hirata, Animal Farm-nya George Orwel, Dunia Shopie nya Jostein Gaarder, The Da Vinci Code nya Dan Brown, Negeri Van Oranje-nya Wahyuningrat dkk, dll. Sekali lagi, Fiction, not prediction, right?”

Terlepas dari itu semua, ajakan pak Prabowo untuk waspada terhadap hal-hal yang merusak persatuan dan kesatuan kita (baik dari luar maupun dari dalam negeri) yang akhirnya berpotensi merusak negara perlu untuk diperhatikan dan diambil langkah-langkah untuk mengantisipasinya. Untuk 2030 sendiri, kita pun dapat memilih percaya atau tidak percaya. Kita juga bisa memilih untuk melihat masa depan negara dengan pandangan yang pesimis atau optimis.

Saya memilih optimis dan percaya negara ini, Insya Allah, masih ada di tahun 2030. Berikut catatan optimisme saya ini:


Pertama:
Optimisme saya bukan berarti menutup mata dan menyatakan bahwa negara ini dalam keadaan baik-baik saja. Banyak permasalahan yang perlu diatasi, seperti masalah penegakan hukum, etika politik, infrastruktur, praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), keamanan, tenaga kerja asing, impor bahan kebutuhan pokok, harga barang-barang konsumsi rumah tangga, harga BBM, pendidikan, toleransi, keuangan negara, distribusi ekonomi, pengangguran dan sebagainya.  

Masalah-masalah ini bukan masalah yang baru, sudah mengakar, sudah berlangsung untuk waktu yang lama dan saling berkaitan seperti lingkaran dan menyelesaikannya tidak semudah membalik telapak tangan. Bedanya, sekarang terbuka semua. Karena itu saya tidak ingin fokus ke masalahnya, tapi bagaimana progres penyelesaian dan harapan untuk masalah itu tidak muncul berulang-ulang. Jika kemudian pemerintah sekarang memilih untuk fokus ke infrastruktur, itu mesti dilihat sebagai upaya untuk memecahkan kebuntuan dalam lingkaran masalah yang begitu kompleks. Lingkaran permasalahan itu harus dipecahkan dan untuk memecahkannya harus dititikanberatkan kepada fokus tertentu yang digarap dengan sangat serius. Setidaknya satu masalah dapat diselesaikan dan setelah itu segera pindah ke masalah berikutnya.

Sebagai contoh ringan: sekarang di kota domisili saya, beberapa ruas jalan utama tidak diaspal, tapi di beton. Digantinya aspal menjadi beton ini, barangkali biayanya lebih mahal dan akan menggerus pembiayaan untuk sektor yang lainnya. Tetapi, setelah selesai, daya tahannya lebih lama dan perawatannya tidak mesti menggeluarkan biaya rutin seperti perawatan aspal, sehingga tidak perlu terus menerus dana besar dianggarkan untuk jalan itu dan dana yang ada dapat dioptimalkan untuk sektor yang lain sekaligus menutup permainan anggaran untuk perbaikan jalan. Ini yang saya maksud dengan progres dan harapan masalah yang sama tidak berulang. Tentu saja bukan berarti, masalah yang lain diabaikan begitu saja, tapi fokus utama penting ditetapkan agar lingkaran masalah dapat diurai.


Kedua:    
Ini juga terkait dengan progres negara. Saya bertanya kepada seorang sahabat yang mendalami bidang akademik hubungan internasional bagaimana mengetahui sebuah negara berpotensi untuk segera bubar. Jawabannya, lihat saja Fragile State Indeks (FSI). Lalu saya pun mengunduh Annual Rangking FSI untuk tahun 2016 dan 2017 (lihat di sini  dan di sini)

FSI merengking 178 negara yang tergabung dalam PBB berdasarkan level stabilitas, tekanan yang dihadapi dan dampaknya terhadap kerapuhan negara. Posisi Indonesia pada rangking FSI ini justru menunjukan trend yang positif.

FSI mengkategori negara ke 11 kategori: 1) Very Sustainable; 2) Sustainable; 3) Very Stable; 4) More Stable; 5) Stable; 6) Warning; 7) Elevated Warning; 8) High Warning; 9) Alert; 10) High Alert; dan 11) Very High Alert. Indikatornya meliputi indikator sosial, indikator ekonomi, serta indikator politik dan militer (silahkan baca sendiri ya). Hanya satu negara dalam kategori Very Sustainable, yakni Finlandia. Indonesia berada pada posisi Elevated Warning untuk tahun 2016 bersama-sama dengan 39 negara lain, diantaranya, Mexico, Vietnam, Arab Saudi, China, Turki, Thailand dan Israel. Skor Indonesia sama dengan China (74.9) dan lebih baik dibandingkan Turki (77.3) dan Thailand (78.9) serta Israel (79.7).

Tahun 2017 Indonesia masih di posisi Elevated Warning, tapi skornya naik menjadi 72.9, lebih baik dibadingkan China (74.7), Thailand (76.2), India (77.9) dan Rusia (79.2). Turki malah turun ke posisi High Warning dengan skor 80.8.

FSI juga merengking trend negera-negara selama satu dekade, dengan kategori: 1) Significant Improvement; 2) Strong Improvement; 3) Some Improvement; 4) Marginal Improvement; 5) Marginal Worsening; 6) Some Worsening; 7) Worsening; 8) Significant Worsening; dan 9) Critical Worsening. Pada annual report 2016, Indonesia berada pada posisi Strong Improvement, bersama 38 negara lainnya. Negara Asian lainnya yang masuk kategori ini adalah Brunai Darussalam dan Vietnam.

Pada annual report 2017 Indonesia justru naik peringkat menjadi Significant Improvement. Indonesia satu-satunya negara Asian yang berada pada posisi tersebut. Turki tahun 2016 dan tahun 2017 berada pada posisi Some Warsening dan cenderung menurun dengan point +2.4 tahun 2016 dan +5.9 tahun 2017 (semakin tinggi angkanya, semakin rendah nilainya).  

Data FSI ini memberikan gambaran yang positif terkait perkembangan Indonesia ke depan. Bisa jadi, trend positif inilah yang dilihat dunia internasional sehingga beberapa negara yang sudah lama tidak berkunjung, atau sama sekali belum pernah ke Indonesia, belakangan cukup ramai datang. Sepanjang yang bisa saya catat, diantaranya, Raja Arab Saudi (setelah 47 tahun), Presiden Italia (setelah 66 tahun), Presiden Prancis (setelah 30 tahun), Ratu dan Raja Swedia (pertama kali), Ratu Denmark (pertama kali), Delegasi Kerajaan Belgia (pertama kali).  

Mungkin ini sebabnya waktu sahabat saya itu saya tanya kemungkinan Indonesia tidak ada lagi di tahun 2030, dia terseyum. Katanya, data-data yang ada menunjukan kalau Indonesia jauh dari tanda-tanda akan bubar.


Ketiga:
Ada perkembangan signifikan juga dalam hal keterbukaan dan kebebasan berbicara di Indonesia, meski ternodai oleh beberapa kasus kebablasan berbicara dan hoax, fitnah, pemaksaan pendapat, pemaksaan kehendak serta sulitnya dibedakan antara kritikan dan kenyinyiran.

Misalnya soal hutang negara yang sekarang ramai dibicarakan. Menarik sekali ketika Menteri Keuangan kemudian harus menjelaskan posisi hutang negara melalui Fanspage facebook beliau (baca di sini). Bagi saya, ini progres yang baik dan menunjukan bahwa negara tidak lagi terpisah dari masyarakatnya, sehingga fungsi kontrol publik bisa berjalan dengan baik dengan warga sebagai subjek dalam bernegara. Saya sendiri tidak terlalu memahami soal hutang negara ini, karenanya saya tidak membahas lebih jauh, tapi saya cukup mampu untuk mengerti bahwa yang sekarang bicara soal hutang negara terutama di Medsos cukup banyak yang tingkat ketidakpahamannya lebih parah di banding saya. Zaman Old, terutama sebelum reformasi, selain menteri tidak perlu menjelaskan soal hutang negara di publik, masyarakat yang berani bertanya mungkin hanya segilintir itupun dengan resiko ancaman terhadap keselamatan.

Dalam bidang yang lain juga begitu, bahkan soal pakaian presiden dan keluarganya, bisa ramai di publik. Malah, ada yang membuat kampanye mengganti Presiden di tahun 2019 dan menolak program-program pemerintah, tapi tidak dalam keadaan terancam keselamatannya. Saya kadang membayangkan seandainya mereka yang sekarang bicara itu bicara pada zaman Orde Baru atau bicara di negara-negara yang kediktatorannya masih kuat, barangkali mereka tidak akan bisa tidur nyenyak di rumahnya. Ini juga progres yang baik, tinggal menjaga kualitasnya saja.

Keterbukaan dan kebebasan berbicara ini adalah kebutuhan dasar untuk memastikan negara berjalan di rel yang seharusnya. Meskipun sekarang kualitasnya masih cukup memprihatinkan, tapi perlahan kita sudah mulai menunju keketeraturan. Masing-masing kemudian menjadi kontrol bagi yang lain serta tingkat partisipasi, baik dalam distribusi informasi dan partisipasi politik semakin meningkat. Saya yakin sekali, ke depan, bagi politisi-politisi tidak cukup hanya mengandalkan sentimen massa, uang atau garis keturunan  sebagai modal politiknya, mereka juga harus mampu meyakinkan pemilih melalui prestasi yang dibuatnya.

Termasuk diskursus terkait 2030 ini, juga bagian dari daya kritis yang tumbuh. Sebagian masyarakat tidak lagi sekedar pendengar yang baik dan mudah percaya dengan narasi-narasi politik, tetapi juga telah melakukan telaah-telaah kritis untuk narasi-narasi politik itu. Demikian juga hal nya dengan sebagian kalangan yang mempertanyakan janji kampanye Presiden, itu juga bagian dari daya kritis yang tumbuh, meskipun muncul kesan mempertanyakan janji itu masih sebatas memanfaatkan momentum politik dan belum sungguh-sungguh ingin membangun negara.

Kesan ini muncul karena masifnya titik diskursus kepada Presiden dari pihak yang kontra justru membuat masyarakat melupakan peran lembaga-lembaga negara dan struktur hirarkis pemerintah yang lain (gubernur, bupati, walikota, sampai kepala desa) dan seolah-olah negaranya ini hanya di urus oleh seorang presiden. Selain itu, ditambah juga dengan minimnya solusi alternatif yang ditawarkan untuk mengganti kebijakan yang dianggap salah itu sehingga pendidikan politik tidak berjalan maksimal serta kemampuan politik yang berkembang masih sebatas menyalahkan dan mencari kesalahan tapi belum mampu menawarkan alternatif yang layak. Begitupun, ini juga progres yang baik. Yang sekarang mempertanyakan janji kampanye, pada gilirannya nanti, juga akan dipertanyakan janji-janji politiknya oleh masyarakat yang semakin kritis.


Tiga catatan di atas hanyalah sebagian dari alasan-alasan yang membuat saya tetap optimis tahun 2030 dan seterusnya Insya Allah Indonesia masih ada dan terbuka peluang untuk menjadi jauh lebih baik.

Apakah tidak ada kemungkinan negara ini bubar? Tentu saja ada. Jika kebodohan terus dipelihara, egoisme dipertahankan, kebencian disebarluaskan, dan permusuhan dikuatkan, bisa saja negara ini bubar.  Negara-negara yang saat ini terancam bubar dan terus-menerus berperang sesamanya rata-rata karena kebodohan, egoisme, kebencian dan permusuhan yang dipompa terus menerus diantara mereka dan dieksplorasi oleh pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari konflik-konflik itu. Oleh karena itu, langkah-langkah antisipasi perlu untuk terus menurus dilakukan. Persoalan-persoalan yang muncul dan berpotensi merusak persatuan dan kesatuan perlu diidentifikasi dan diambil tindakan yang tepat terhadap jenis-jenis persoalan yang muncul itu.

Sekali lagi saya ingin tegaskan, bahwa optimis bukan berarti mengatakan bahwa negera ini telah terbebas dari masalah-masalah. Masalahnya tetap masih ada dan banyak. Tapi, bukan perputaran masalahnya yang penting, progres seperti apa yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang penting. Karenanya, meskipun berbeda kepentingan politik, semestinya politisi kita bisa membedakan, mana yang arena pertarungan politiknya, mana yang arena untuk membangun negara bersama-sama. Kalau ada yang salah, perbaiki kesalahan itu sesuai kewenangan dan peran masing-masing, bukan sekedar mengeksplorasi masalah untuk berbagai kepentingan dan masalahnya tidak selesai-selesai juga.

Sekarang ini zamannya sudah berganti. Cara-cara lama sudah tidak patut lagi dilakukan. Pada konteks internasionalpun pertarungan ideologis sudah tidak lagi menjadi titik fokus dan berubah menjadi pertarungan modal dan teknologi serta kelihaian memanfaatkan peluang. Ringkasnya, zaman now, otak yang encer akan menguasai otak yang beku. Makanya gerakan yang diperlukan itu adalah gerakan untuk mengencerkan otak, bukan gerakan membekukan otak.


Bagi saya ini bukan sekedar soal siapa yang menjadi pemimpin saja, tapi soal bagaimana negara ini berjalan ke depan, bukan jalan di tempat apalagi kembali mundur ke belakang. Oleh karena itu pula, optimismelah yang harus dibangun, bahwa kita sedang bersiap untuk menjadi bangsa yang besar dan maju. Pertanyaan pokoknya, siapkah dan maukah kita menjadi bangsa yang besar dan maju?

Begitulah...

Note: Gambar yang digunakan untuk tulisan ini adalah cuplikan posisi indonesia pada FSI untuk trend dekade 2007-2017 yang dicuplik dari Annual Rangking FSI tahun 2017.

No comments:

Post a Comment