Jadi heboh tentang angka 2030 sejak beredar pidato pak Prabowo terkait keadaan Indonesia
yang diprediksi bubar dan ada skenario
asing untuk itu. Kehebohan bertambah setelah diketahui bahwa pidato itu terinspirasi dari bagian cerita pada sebuah novel berjudul Ghost
Fleet: a Novel of The Next World War yang ditulis oleh Peter Warren Singer
dan August Cole. Kehebohan
semakin lengkap setelah cuitan Twitter penulis novel tersebut dikutip
media-media Indonesia sampai pada kalimat “Fiction, not prediction, right?”
dan ‘Ask the Indonesian general...”
(baca di sini).
Respon publik macam-macam (sepanjang yang
melintas di ruang medsos saya).
Ada yang tidak percaya, ada yang miris, ada yang marah, ada yang mencemooh, ada
yang menggangapnya ngawur, ada yang memunculkan meme dengan data pembanding
bahwa 2030 Indonesia justru diprediksi menjadi salah satu negara top di dunia. Ada
juga yang mendukung, membela
dan meyakini bahwa itu bisa saja terjadi. Ada yang langsung menjadikannya
sebagai jargon untuk dukung-mendukung atau tolak-menolak kandidat-kandidat
tertentu pada pilpres 2019 mendatang.
Pada perspektif pribadi saya, sah-sah saja jika
pak Prabowo menjadikan novel itu sebagai acuan dalam mengembangkan kerangka
berpikir. Itu hak Beliau. Pak Prabowo sendiri sudah mengatakan bahwa beliau
menyampaikan itu sebagai peringatan agar kita waspada. Lagi pula, cerita-cerita fiksi,
terutama yang mendapat pengakuan sebagai novel yang baik, tentunya ditulis dengan
landasan berpikir dan penguasaan informasi yang kuat terhadap materi novelnya. Wajar kalau ceritanya menjadi inspiratif dan mempengaruhi
banyak orang. Meskipun demikian, fiksi tetap saja
fiksi, seperti cuitan Twitter August Cole, si penulis Ghost Fleet, “Fiction,
not prediction, right?”
Mengapa? Karena riset yang dilakukan oleh penulis fiksi
untuk fiksinya, meskipun dilakukan mendalam dan detail, tetapi digunakan untuk
mendapatkan plot-plot yang tepat dalam mengembangkan imajinasinya sendiri
sehingga bercampur antara data-data dengan daya hayal si penulis. Jadi bukan
bagaimana data-data itu dianalisis untuk menjelaskan fakta dan fenomena, tetapi
bagaimana fakta-fakta itu digunakan untuk menguatkan alur cerita yang disusun
oleh penulis.
Banyak sekali cerita fiksi inspiratif dan mempengaruhi orang banyak berbasis pengetahuan
mendalam yang bisa kita sebut untuk contoh,
seperti novel-novelnya Asmaraman Kho Ping Hoo, Tetralogi Laskar Pelanggi-nya Adrea Hirata, Animal Farm-nya George Orwel, Dunia Shopie nya Jostein Gaarder, The Da Vinci Code nya Dan Brown, Negeri Van Oranje-nya Wahyuningrat
dkk,
dll. Sekali lagi,
“Fiction, not
prediction, right?”
Terlepas dari itu semua, ajakan pak Prabowo untuk
waspada terhadap hal-hal yang merusak persatuan dan kesatuan kita (baik dari luar maupun dari dalam negeri) yang
akhirnya berpotensi merusak negara perlu untuk diperhatikan dan diambil langkah-langkah untuk mengantisipasinya. Untuk 2030
sendiri, kita pun dapat memilih percaya atau tidak
percaya. Kita juga bisa memilih untuk melihat masa depan negara dengan
pandangan yang pesimis atau optimis.
Saya memilih optimis dan percaya negara ini, Insya Allah, masih ada di
tahun 2030. Berikut catatan optimisme saya ini:
Pertama:
Optimisme saya bukan berarti menutup mata dan menyatakan bahwa
negara ini dalam keadaan baik-baik saja. Banyak permasalahan yang perlu diatasi,
seperti masalah penegakan hukum, etika politik, infrastruktur, praktek korupsi,
kolusi dan nepotisme (KKN), keamanan, tenaga kerja asing, impor bahan kebutuhan
pokok, harga barang-barang konsumsi rumah tangga, harga BBM, pendidikan, toleransi,
keuangan negara, distribusi ekonomi, pengangguran dan sebagainya.
Masalah-masalah ini bukan masalah yang baru, sudah
mengakar, sudah berlangsung untuk waktu yang lama dan saling berkaitan seperti
lingkaran dan menyelesaikannya tidak semudah membalik telapak tangan. Bedanya,
sekarang terbuka semua. Karena itu saya tidak ingin fokus ke masalahnya, tapi bagaimana
progres penyelesaian dan harapan untuk masalah itu tidak muncul berulang-ulang.
Jika kemudian pemerintah sekarang memilih untuk fokus ke infrastruktur, itu
mesti dilihat sebagai upaya untuk memecahkan kebuntuan dalam lingkaran masalah
yang begitu kompleks. Lingkaran permasalahan itu harus dipecahkan dan untuk
memecahkannya harus dititikanberatkan kepada fokus tertentu yang digarap dengan
sangat serius. Setidaknya satu masalah dapat diselesaikan dan setelah itu
segera pindah ke masalah berikutnya.
Sebagai contoh ringan: sekarang di kota domisili saya, beberapa
ruas jalan utama tidak diaspal, tapi di beton. Digantinya aspal menjadi beton
ini, barangkali biayanya lebih mahal dan akan menggerus pembiayaan untuk sektor
yang lainnya. Tetapi, setelah selesai, daya tahannya lebih lama dan
perawatannya tidak mesti menggeluarkan biaya rutin seperti perawatan aspal,
sehingga tidak perlu terus menerus dana besar dianggarkan untuk jalan itu dan dana
yang ada dapat dioptimalkan untuk sektor yang lain sekaligus menutup permainan
anggaran untuk perbaikan jalan. Ini yang saya maksud dengan progres dan harapan
masalah yang sama tidak berulang. Tentu saja bukan berarti, masalah yang lain
diabaikan begitu saja, tapi fokus utama penting ditetapkan agar lingkaran
masalah dapat diurai.
Kedua:
Ini juga terkait dengan progres negara. Saya bertanya
kepada seorang sahabat yang mendalami bidang akademik hubungan internasional
bagaimana mengetahui sebuah negara berpotensi untuk segera bubar. Jawabannya,
lihat saja Fragile State Indeks (FSI).
Lalu saya pun mengunduh Annual Rangking FSI untuk tahun 2016 dan 2017 (lihat di sini dan di sini)
FSI merengking 178 negara yang tergabung dalam PBB
berdasarkan level stabilitas, tekanan yang dihadapi dan dampaknya terhadap kerapuhan
negara. Posisi Indonesia pada rangking FSI ini justru menunjukan trend yang
positif.
FSI mengkategori negara ke 11 kategori: 1) Very Sustainable; 2) Sustainable; 3) Very Stable; 4) More Stable;
5) Stable; 6) Warning; 7) Elevated Warning;
8) High Warning; 9) Alert; 10) High Alert; dan 11) Very High
Alert. Indikatornya meliputi
indikator sosial, indikator ekonomi, serta indikator politik dan militer
(silahkan baca sendiri ya). Hanya satu negara dalam kategori Very Sustainable, yakni Finlandia. Indonesia
berada pada posisi Elevated Warning
untuk tahun 2016 bersama-sama dengan 39 negara lain, diantaranya, Mexico, Vietnam,
Arab Saudi, China, Turki, Thailand dan Israel. Skor Indonesia sama dengan China
(74.9) dan lebih baik dibandingkan Turki (77.3) dan Thailand (78.9) serta
Israel (79.7).
Tahun 2017 Indonesia masih di posisi Elevated Warning, tapi skornya naik menjadi 72.9, lebih baik
dibadingkan China (74.7), Thailand (76.2), India (77.9) dan Rusia (79.2). Turki
malah turun ke posisi High Warning
dengan skor 80.8.
FSI juga merengking trend negera-negara selama satu
dekade, dengan kategori: 1) Significant
Improvement; 2) Strong Improvement;
3) Some Improvement; 4) Marginal Improvement; 5) Marginal Worsening; 6) Some Worsening; 7) Worsening; 8) Significant
Worsening; dan 9) Critical Worsening.
Pada annual report 2016, Indonesia berada pada posisi Strong Improvement,
bersama 38 negara lainnya. Negara Asian lainnya yang masuk kategori ini adalah
Brunai Darussalam dan Vietnam.
Pada annual report 2017 Indonesia justru naik peringkat
menjadi Significant Improvement.
Indonesia satu-satunya negara Asian yang berada pada posisi tersebut. Turki
tahun 2016 dan tahun 2017 berada pada posisi Some Warsening dan cenderung menurun dengan point +2.4 tahun 2016
dan +5.9 tahun 2017 (semakin tinggi angkanya, semakin rendah nilainya).
Data FSI ini memberikan gambaran yang positif terkait
perkembangan Indonesia ke depan. Bisa jadi, trend positif inilah yang dilihat
dunia internasional sehingga beberapa negara yang sudah lama tidak berkunjung,
atau sama sekali belum pernah ke Indonesia, belakangan cukup ramai datang. Sepanjang
yang bisa saya catat, diantaranya, Raja Arab Saudi (setelah 47 tahun), Presiden
Italia (setelah 66 tahun), Presiden Prancis (setelah 30 tahun), Ratu dan Raja
Swedia (pertama kali), Ratu Denmark (pertama kali), Delegasi Kerajaan Belgia (pertama
kali).
Mungkin ini sebabnya waktu sahabat saya itu saya tanya
kemungkinan Indonesia tidak ada lagi di tahun 2030, dia terseyum. Katanya,
data-data yang ada menunjukan kalau Indonesia jauh dari tanda-tanda akan bubar.
Ketiga:
Ada perkembangan signifikan juga dalam hal keterbukaan
dan kebebasan berbicara di Indonesia, meski ternodai oleh beberapa kasus
kebablasan berbicara dan hoax, fitnah, pemaksaan pendapat, pemaksaan kehendak
serta sulitnya dibedakan antara kritikan dan kenyinyiran.
Misalnya soal hutang negara yang sekarang ramai
dibicarakan. Menarik sekali ketika Menteri Keuangan kemudian harus menjelaskan
posisi hutang negara melalui Fanspage
facebook beliau (baca di sini). Bagi saya, ini progres yang baik dan menunjukan bahwa
negara tidak lagi terpisah dari masyarakatnya, sehingga fungsi kontrol publik
bisa berjalan dengan baik dengan warga sebagai subjek dalam bernegara. Saya sendiri
tidak terlalu memahami soal hutang negara ini, karenanya saya tidak membahas
lebih jauh, tapi saya cukup mampu untuk mengerti bahwa yang sekarang bicara
soal hutang negara terutama di Medsos cukup banyak yang tingkat ketidakpahamannya
lebih parah di banding saya. Zaman Old,
terutama sebelum reformasi, selain menteri tidak perlu menjelaskan soal hutang
negara di publik, masyarakat yang berani bertanya mungkin hanya segilintir
itupun dengan resiko ancaman terhadap keselamatan.
Dalam bidang yang lain juga begitu, bahkan soal pakaian
presiden dan keluarganya, bisa ramai di publik. Malah, ada yang membuat kampanye mengganti
Presiden di tahun 2019 dan menolak program-program pemerintah, tapi tidak dalam keadaan terancam
keselamatannya. Saya kadang membayangkan seandainya mereka yang sekarang bicara
itu bicara pada zaman Orde Baru atau bicara di negara-negara yang kediktatorannya
masih kuat, barangkali mereka tidak akan bisa tidur nyenyak di rumahnya. Ini juga
progres yang baik, tinggal menjaga kualitasnya saja.
Keterbukaan dan kebebasan berbicara ini adalah kebutuhan
dasar untuk memastikan negara berjalan di rel yang seharusnya. Meskipun sekarang
kualitasnya masih cukup memprihatinkan, tapi perlahan kita sudah mulai menunju
keketeraturan. Masing-masing kemudian menjadi kontrol bagi yang lain serta
tingkat partisipasi, baik dalam distribusi informasi dan partisipasi politik
semakin meningkat. Saya yakin sekali, ke depan, bagi politisi-politisi tidak
cukup hanya mengandalkan sentimen massa, uang atau garis keturunan sebagai modal politiknya, mereka juga harus
mampu meyakinkan pemilih melalui prestasi yang dibuatnya.
Termasuk diskursus terkait 2030 ini, juga bagian dari daya
kritis yang tumbuh. Sebagian masyarakat tidak lagi sekedar pendengar yang baik
dan mudah percaya dengan narasi-narasi politik, tetapi juga telah melakukan
telaah-telaah kritis untuk narasi-narasi politik itu. Demikian juga hal nya dengan
sebagian kalangan yang mempertanyakan janji kampanye Presiden, itu juga bagian
dari daya kritis yang tumbuh, meskipun muncul kesan mempertanyakan janji itu
masih sebatas memanfaatkan momentum politik dan belum sungguh-sungguh ingin
membangun negara.
Kesan ini muncul karena masifnya titik diskursus kepada Presiden
dari pihak yang kontra justru membuat masyarakat melupakan peran
lembaga-lembaga negara dan struktur hirarkis pemerintah yang lain (gubernur,
bupati, walikota, sampai kepala desa) dan seolah-olah negaranya ini hanya di urus
oleh seorang presiden. Selain itu, ditambah juga dengan minimnya solusi
alternatif yang ditawarkan untuk mengganti kebijakan yang dianggap salah itu
sehingga pendidikan politik tidak berjalan maksimal serta
kemampuan politik yang berkembang masih sebatas menyalahkan dan mencari
kesalahan tapi belum mampu menawarkan alternatif yang layak. Begitupun, ini
juga progres yang baik. Yang sekarang mempertanyakan janji kampanye, pada
gilirannya nanti, juga akan dipertanyakan janji-janji politiknya oleh
masyarakat yang semakin kritis.
Tiga catatan di atas hanyalah sebagian dari alasan-alasan yang membuat saya tetap optimis tahun 2030 dan seterusnya Insya Allah
Indonesia masih ada dan terbuka peluang untuk menjadi jauh lebih baik.
Apakah tidak ada kemungkinan negara ini bubar? Tentu saja
ada. Jika kebodohan terus dipelihara, egoisme dipertahankan, kebencian
disebarluaskan, dan permusuhan dikuatkan, bisa saja negara ini bubar. Negara-negara yang saat ini terancam bubar dan
terus-menerus berperang sesamanya rata-rata karena kebodohan, egoisme,
kebencian dan permusuhan yang dipompa terus menerus diantara mereka dan
dieksplorasi oleh pihak ketiga yang mengambil keuntungan dari konflik-konflik
itu. Oleh karena itu, langkah-langkah antisipasi perlu untuk terus menurus
dilakukan. Persoalan-persoalan yang muncul dan berpotensi merusak persatuan dan
kesatuan perlu diidentifikasi dan diambil tindakan yang tepat terhadap
jenis-jenis persoalan yang muncul itu.
Sekali lagi saya ingin tegaskan, bahwa optimis bukan
berarti mengatakan bahwa negera ini telah terbebas dari masalah-masalah. Masalahnya
tetap masih ada dan banyak. Tapi, bukan perputaran masalahnya yang penting,
progres seperti apa yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah yang penting. Karenanya,
meskipun berbeda kepentingan politik, semestinya politisi kita bisa membedakan,
mana yang arena pertarungan politiknya, mana yang arena untuk membangun negara
bersama-sama. Kalau ada yang salah, perbaiki kesalahan itu sesuai kewenangan
dan peran masing-masing, bukan sekedar mengeksplorasi masalah untuk berbagai
kepentingan dan masalahnya tidak selesai-selesai juga.
Sekarang ini zamannya sudah berganti. Cara-cara lama
sudah tidak patut lagi dilakukan. Pada konteks internasionalpun pertarungan
ideologis sudah tidak lagi menjadi titik fokus dan berubah menjadi pertarungan
modal dan teknologi serta kelihaian memanfaatkan peluang. Ringkasnya, zaman now, otak yang encer akan menguasai otak
yang beku. Makanya gerakan yang diperlukan itu adalah gerakan untuk
mengencerkan otak, bukan gerakan membekukan otak.
Bagi saya ini bukan sekedar soal siapa yang menjadi
pemimpin saja, tapi soal bagaimana negara ini berjalan ke depan, bukan jalan di
tempat apalagi kembali mundur ke belakang. Oleh karena itu pula, optimismelah
yang harus dibangun, bahwa kita sedang bersiap untuk menjadi bangsa yang besar
dan maju. Pertanyaan pokoknya, siapkah dan maukah kita menjadi bangsa yang
besar dan maju?
Begitulah...
No comments:
Post a Comment