Yang lalu, sudah saya tulis asumsi
kenapa politik kita mahal dan bahwa saya optimis dunia politik kita sudah
berada di jalur yang tepat karena ada beberapa perubahan fundamental dalam
prilaku dan partisipasi politik masyarakat. Silahkan baca di sini
Apa saja perubahan itu?
Kalau dulu pejabat dianggap mesti
kaya, kalau sekarang pajabat yang kaya dan bermewah-mewah malah dicurigai telah
melakukan korupsi dan jadi pergunjingan masyarakat. Saya beberapa kali dapat
cerita dari teman-teman yang aktif berpolitik bahwa ada pejabat yang baru mulai
membangun rumahnya setelah habis masa jabatan agar tidak dipandang miring oleh
masyarakat.
Jadi kalau dulu akan dianggap
bodoh orang yang menjabat – termasuk keluarganya – tapi ngak kaya-kaya karena
memanfaatkan jabatannya. Sekarang terbalik. Jika ada pejabat yang kaya – apa
lagi kaya mendadak – bisa berbahaya kalau tidak bisa mempertanggungjawabkan
asal muasal harta kekayaannya itu.
Penggunaan uang negara juga
semakin ketat. Saya jujur saja senang melihat video pak Jowoki “marah-marah”
soal perencanaan keuangan yang lebih banyak untuk kegiatan formalnya dari pada
substansinya. Anggarannya 3 miliar, untuk kegiatan inti hanya 500 juta dan
sisanya (2,5 miliar) untuk rapat-rapat (lihat di sini). Juga kritik pak Jowoki terhadap penanaman pohon yang katanya tiap tahun jutaan
pohon tapi pohonnya ngak kelihatan (Lihat di sini).
Jika sudah dikritik begitu, tapi pola nya tidak berubah juga, sungguh terlalu.
Juga, pada wilayah-wilayah
populer, politisi yang hanya mengandalkan uang saja belum tentu akan menang.
Jangankan untuk menang, untuk bisa maju lagi pada periode berikutnya saja belum
tentu bisa. Para pemilih sudah mulai melihat prestasi apa yang dilakukan selama
menjabat. Animo politik dan partisipasi politiknya juga meningkat. Diskursus
tentang apa yang terjadi di dunia politik dan dinamika parta-partai politik
menjadi percakapaan sehari-hari. Partai politik juga tidak bisa sekehendak
hatinya menentukan calon yang hendak di usung dan mau tidak mau harus
mempertimbangkan ekspektasi publik. Menurut saya ini kemajuan yang luar biasa.
Ini kenapa kalau pilkada langsung ini dikembalikan kepada DPRD, bagi saya
sebuah kemunduran.
Untuk Pilkada DKI Jakarta kemaren,
terlepas dari dinamika seluruh proses yang ada, berkumpulnya anak-anak muda
yang menamakan diri Kawan Ahok juga menorehkan pembaharuan tersendiri dalam
dinamika politik kita. Komunitas Kawan Ahok ini berhasil “memaksa” partai
politik untuk mendukung mereka. Apa yang dilakukan Kawan Ahok ini memunculkan fenomena
baru dari komunitas masyarakat pendukung berperan sebagai relawan partai politik
menjadi partai politik berperan sebagai relawan komunitas pendukung.
Setidaknya fenomena menjadi
sinyal bagi partai politik bahwa partai politik tidak lagi menjadi satu-satunya
pemain dalam percaturan politik walaupun keputusan akhir tetap ditangan
kandidat yang hendak bertarung. Artinya, komunitas masyarakat juga punya
pengaruh besar, tinggal menjaga kualitasnya saja. Untuk menjaga kualitas inilah
kenapa segala bentuk hoax dan fitnah yang merusak cara berpikir itu mesti di
tolak. Ini tidak hanya sekedar prilaku negatif dalam politik yang berbasis
kebohongan, tapi juga membuat masyarakat tidak mampu melihat gambaran realitas
apa adanya.
Begitu juga dalam model pembiayaan
aktivitas politik. Sejak pilpres 2014, setidaknya sudah ada masyarakat yang
tidak lagi menerima investasi dari tokoh-tokoh politik tapi bersedia
berinvestasi kepada tokoh-tokoh politik yang hendak mereka dukung. Seperti yang
diberitakan Republika (baca di sini), sumbangan perorangan untuk pasangan
Jokowi-Jusuf Kala mencapai 42 miliar lebih sedangkan sumbangan perorangan untuk
pasangan Prabowo-Hatta Rajasa 2,1 miliar selama masa kampanye.
Trend investasi masyarakat ini
terus berlanjut hingga ke Pilkada DKI. Seperti diberitakan Detik (baca di sini),
pada putaran pertama, pasangan Ahok-Djarot berhasil menghimpun 18 miliar
lebih sumbangan dana kampaye dari perorangan, pasangan Agus-Silvy menghimpun
4,4 miliar lebih. Agak berbeda untuk
pasangan Anis-Sandi. Dari total 35 miliar lebih dana yang terkumpul, 34 miliar
lebih disumbangkan oleh Sandi pribadi. Malah, pasangan Ahok-Djarot pada putaran
pertama, mensetorkan 1,7 miliar dana kampanye ke kas negara karena penyumbangnya
tidak menyertai sumbangannya dengan surat pernyataan menyumbang (baca di sini).
Pada putaran kedua, seperti
diberitakan Merdeka (baca di sini), Ahok-Djarot
berhasil menghimpun 10,1 miliar sumbangan dana kampaye perseorangan dari total 27,8
miliar total dana yang terkumpul. Sedangkan Anis-Sandi, dari total 18 miliar
yang terkumpul, 16 miliar berasal dari Sandi pribadi. Untuk daerah yang lain
memang belum sempat saya lacak soal trend sumbangan perseorangan ini, tapi
setidaknya yang terjadi di Pilkada DKI Jakarta 2017 bisa jadi model bagi daerah
lainnya.
Terlepas
dari bagaimana hasil pilpres dan Pilkada DKI itu, trend sumbangan perorangan
dari masyarakat ini adalah perubahan fundamental dari model pembiayaan politik
kita. Jadi baju kaos kampaye, bendera dan atribut lainnya itu bukan lagi murni
dari dompet kandidat, tapi ada juga partisipasi publik di sana.
Semestinya,
memang masyarakat lah yang berinvestasi pada proses seleksi pemimpin sehingga
meminalisir cost politik yang ditanggung
secara individu oleh kandidat. Dengan demikian politisi dapat melaksanakan
tugas-tugasnya tanpa beban ekonomi berlebihan dan bisa menjaga independensi dan
integritasnya dari godaan para petualang APBN, APBD atau bentuk penyimpangan keuangan
lainnya.
Bahasa
ringkasnya, semakin berkuranglah kewajiban pengembalian uang yang digunakan
sebagai modal politik dalam masa jabatan jika si kandidat berhasil mememangkan
pemilihan. Kewajiban itu berubah menjadi kewajiban harus bekerja
sungguh-sungguh demi masyarakat yang telah berinvestasi kepada si kandidat
sehingga pemimpin terpilih itu bisa fokus mengerjakan apa yang diprioritaskannya.
Sekarang,
di Pilkada 2018 ini bisa juga di test. Sekiranya para kandidat ini membuka
ruang untuk sumbangan perorangan, kira-kira anda bersedia atau tidak
menyumbangkan dana untuk mensuport kampanyenya atau anda lebih senang diberikan
“sesuatu” oleh para kandidat itu? Atau kira-kira pasangan kandidat yang mana
yang paling memunculkan animo dan ekspektasi publik sehingga publik bersedia
untuk menyumbang dana kampanye?
Ini
penting untuk mengukur seberapa besar pengaruh uang kepada pemilih walaupun
pengalaman yang lalu di DKI Jakarta, penerima sumbangan terbesar belum tentu
memenangkan pilkada karena berbagai alasan yang lain. Tapi, ini bisa dijadikan
ukuran seberapa besar kemampuan kandidat itu untuk mendorong partisipasi publik
dalam proses demokrasi di luar pemberian suara di TPS.
Seandainya
anda lebih senang diberikan “sesuatu” oleh kandidat yang bersumber dari dana
individual kandidat, anda tidak bisa menuntut atau berkomentar banyak terhadap
tidak maksimalnya kinerja kandidat itu di masa jabatan karena sejak awal anda
sudah “di beli”.
Jika
trend sumbangan dana perorangan ini terus berlanjut dan bisa dipertahankan,
kesempatan untuk orang-orang baik yang memiliki dana terbatas dan diyakini
memiliki kemampuan untuk memimpin akan terbuka lebar. Dan, kesempatan untuk
politisi dadakan atau politisi minim prestasi yang mengandalkan uang banyak
akan semakin sempit.
Apakah
ini berarti berpolitik itu tidak perlu uang? Tentu saja bukan. Aktivitas
politik itu tetap saja perlu biaya. Untuk wara-wiri si politisi dibutuhkan
ongkos. Untuk membiayai orang-orang yang bekerja demi kepentingan si politisi
juga dibutuhkan ongkos. Tapi yang perlu dipastikan adalah tidak ada dan tidak
perlu ada biaya yang digunakan untuk “menyogok” kita, para pemilik suara. Jika
mereka ingin kita pilih, mereka harus tunjukan alasan yang menarik minat kita
selain uang.
Bagaimana
dengan ajakan ambil uangnya, jangan pilih orangnya? Saya sama sekali tidak
setuju. Ajakan ini mengajak masyarakat untuk menjadi pembohong dan penjahat.
Ambil uangnya dengan janji akan memilih kandidat yang diberikan uang, tapi
tidak ditepati (pembohong) dan ambil uangnya tapi tidak dipilih di TPS (penipuan/penjahat).
Tapi
saya setuju jika slogannya adalah jangan ambil uangnya dan jangan pilih
orangnya.
Nah,
dalam pandangan saya, murah atau mahalnya politik itu tergantung selera para
pemilih. Jika para pemilihnya harus didekati dengan cara-cara yang membutuhkan
dana besar, maka mahal lah politik itu dan hasilnya hampir bisa dipastikan
berbanding terbalik dengan harapan. Sebaliknya, jika pemilihnya tidak perlu didekati dengan metode-metode berbiaya tinggi, lebih mengandalkan prestasi diri, murah
lah politik itu dan hasilnya akan lebih maksimal karena para politisi mau tidak
mau harus memacu prestasi dirinya meski kemanfaatan langsung dari kinerjanya mungkin
tidak dapat dirasakan saat itu juga.
Jadi
bro, inilah saatnya kita menjadi pemilih yang berintegritas dan cerdas. Bukan
hanya politisi dan penyelenggara pemilu atau pilkada saja yang dituntut
berintegritas, kita para pemilih juga. Dan melihat trend yang ada dan animo
masyarakat yang muncul meski tidak semua, saya optimis dunia politik kita akan
menjadi lebih baik. Kita telah terlalu lama merasakan akibat dari cara-cara
lama berpolitik itu.
Begitulah…
Note: Gambar untuk tulisan
ini diambil dari http://www.limit.promo/2017/02/memilih-pemimpin-ber-uang-atau-ber.html.
Sukses uda Arief Wahyudi Semangat dan terus berkarya...
ReplyDeleteSemoga dengan tulisan ini mampu merubah perspektif masyarakat dalam menetapkan pilihan ..
Terimakasih prima nanda, semoga bermanfaat...
ReplyDelete