Pernah dengar dong,
pepatah habis manis sepah di buang?
Kalau ngak pernah,
kelewatan deh. Ngapaian aja sih, kalian selama ini? Hehehe.
Pepatah ini kira-kira
artinya, hanya digunakan ketika diperlukan. Tidak berguna lagi di buang.
Di dunia nyata banyak
orang yang mengalami ini. Atau setidak-tidaknya merasa pernah mengalaminya. Kalian
pernah juga?
Saat kita lagi keren-kerennya, lagi kaya-kayanya, lagi
kuat-kuatnya, lagi tinggi jabatannya, lagi baik-baiknya, kita di puja-puja. Saat
mereka lagi butuh-butuhnya, lagi terdesak-terdasaknya, lagi gawat-gawatnya, kita
di manja-manja.
Tapi, saat kita tidak lagi
keren, tidak lagi kaya, tidak lagi kuat, tidak lagi menjabat, tidak lagi baik,
kita di cuekin saja. Saat mereka tidak lagi butuh, tidak lagi terdesak, tidak
lagi gawat, kita di lupakan.
Saat mereka punya
kepentingan kitalah dewanya, kita lah tuannya, kita lah segala-galanya. Tapi setelah
kepentingan itu selesai, kau siapa?
Ngak enak loh.
Tapi perlu kita
pikirkan juga saudara-saudara. Jangan-jangan kita sebenarnya dari semula memang
sudah dianggap sepah. Sisa-sisa yang sudah diambil manisnya dan memang tinggal
di buang saja. Hanya karena kita masih bisa bermanfaat sesaat, kita masih di
manis-maniskan.
Inilah habis sepah
manis di buang.
Mungkin inilah kenapa
kita diajarkan untuk mengenal batas, melihat keadaan dan menentukan posisi diri
agar kita tidak menjadi sepah yang dimanis-maniskan dan kapan saja bisa
dibuang.
Jadi, bro. Kita siapkan
diri kita untuk menjadi yang manis-manis, semanis gula. Walau sudah melarut dan
habis di minum, tapi kita bisa mempengaruhi darah. Bukan semanis tebu yang
diperas lalu tersisa ampas saja. Kalaupun kita sepah, kita adalah sepah manis
yang tidak bisa di buang begitu saja.
Cerdaskan diri untuk kita
mengenal batas, melihat keadaan dan menentukan posisi.
Cocok kalian rasa?
Begitulah...
No comments:
Post a Comment