Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Tuesday, November 14, 2017

SOFISME ZAMAN NOW



Pertarungan pesilat lidah hanya menghasilkan ludah
Berbagai diskursus yang berkembang belakangan ini terutama dalam kaitannya dengan percaturan politik di negeri ini mengingatkan saya pada relativisme kebenaran yang berkembang berabad-abad yang lalu, di Yunani kuno, melalui tangan kaum sofis.

Banyak literature yang menceritakan tentang kaum sofis ini. Tapi untuk tulisan ini, akan dirujuk apa yang diceritakan Mohammad Hatta (Bung Hatta) dalam bukunya “Alam Berpikir Yunani”. Dalam buku ini, Bung Hatta membuat sub bab khusus tentang kaum Sofis yang diberi judul ‘Sofisme”.

Pada bagian Pengantar Kata untuk Jilid Kedua bukunya itu, Bung Hatta menulis “... ada baiknya rakyat kita bercermin sedikit pada masa sofisme itu. Banyak teladan yang dapat diambil dari situ, untuk menghindarkan apa yang tak baik dilakukan, untuk menahan bahwa nafsu yang bisa membahayakan keselamatan negara”.

Kontribusi Kaum Sofis Terhadap Kehancuran Athena Kuno

Sofisme ini dalam pengertian yang sederhana merupakan aliran filosofi dalam sejarah filsafat Yunani yang di bawa oleh kaum sofis. Kata sofis inipun pada awalnya ditujukan kepada orang-orang pandai yang memiliki keahlian di bidang bahasa, filsafat, politik dan lain-lainnya. Mereka dihormati karena pengetahuan dan kebijaksanannya. Tapi, dengan berkembangnya waktu, sebutan Kaum Sofis kemudian berubah menjadi ejekan bagi orang-orang yang pandai bersilat lidah dan bermain kata-kata.

Mereka tidak mengajarkan kebenaran, tapi mempertahankan pembenaran dengan kemampuan berpidato dan beretorika sebagai alatnya. Tulis Bung Hatta “bukan meyakinkan orang jadi tujuan, melainkan menundukan orang dengan daya kata”.

Tidak ada kebenaran mutlak bagi Kaum Sofis. Segala sesuatunya bersifat relatif, bergantung waktu, keadaan dan kepentingan. Bung Hatta menggambarkan ‘kebenaran’ kaum sofis dengan narasi “Orang yang benar ialah orang yang pendapatnya dibenarkan oleh orang banyak. Mempengaruhi orang banyak dengan pidato yang tangkas menjadi tujuan. Bukan kebenaran isi kata yang diutamakan, melainkan tarikannya”. Mereka hanya menyampaikan apa yang ingin di dengar orang banyak.

Kemampuan menundukan orang lain melalui daya kata inilah yang ‘dijual’ Kaum Sofis kepada masyarakat Athena waktu itu guna memenuhi syahwat politik untuk di dengar dan mendapatkan tempat di publik. Untuk memenuhi syahwat itu, guru Sofis mengajarkan bagaimana cara bersikukuh bersilat lidah mempertahankan pendirian, termasuk juga merubah pendirian sekiranya dibutuhkan untuk mempertahankan posisi serta menihilkan pandangan orang lain.

Lalu, sendi-sendi kebernegaraan Yunani menjadi rapuh. Tulis Bung Hatta, “Dengan caranya mengajar itu, ... guru-guru sofis menunda demokrasi Atena ke jalan anarki, sikap yang tidak punya aturan.” Tulis Bung Hatta lagi, “Demokrasi yang berjalan baik bermula di bawah pimpinan Perikles, berpaling ke jalan anarkhi atas pengaruh sofisme itu”. Inilah kontribusi kaum sofis dengan sofismenya bagi kehancuran Athena dan Yunani.

Memang secara langsung sofisme tidak menghancurkan Athena. Tapi sofisme berkontribusi melonggarkan sendi-sendi Athena, hingga ketika Athena di gempur oleh tentangganya seperti Sparta, mereka tidak mampu mempertahankan diri dan menelan kekalahan. Yunani kemudian juga tak berdaya melawan Persia dan Romawi.

Socrates adalah korban dari tajamnya kata-kata Kaum Sofis. Dia terpaksa harus meninggal dengan meminum racun sebagai konsekuensi kekalahannya bersilat lidah di dalam Pengadilan yang di dominasi Kaum Sofis.


Sofisme Zaman Now

Peringatan Bung Hatta soal relativ-nya kebenaran Kaum Sofis yang memanfaatkan suasana demokrasi untuk memenuhi syahwat berkuasa perlu untuk dicermati. Bung Hatta mengingatkan “Demokrasi hanya selamat hidupnya dengan rasa tanggung jawab dan pengertian akan kebenaran. Rasa tanggung jawab hilang, jika yang kemarin disebut benar sekarang dibatalkan ... Kalau tiap-tiap orang mau benar saja karena percaya, bahwa tidak ada kebenaran yang umum sifatnya, maka ia terlalu mementingkan awak sendiri dan melupakan masyarakat”.

Berubah-ubahnya kebenaran seperti yang diungkapkan Bung Hatta itu bisa digunakan untuk menandai kehadiran Kaum Sofis zaman now. Perhatikan saja perubahan wacana perpolitikan kita dan berbagai peristiwa yang lain serta lihat bagaimana sikap mereka-mereka yang terlibat dalam wacana atau peristiwa itu. Sikap yang diperlihatkan akan menunjukan apakah seluruh wacana itu merupakan kebenaran yang hendak dipertahankan atau sekedar mengikuti arus kehendak publik yang diselemuti kepentingan dan syahwat berkuasa dengan memanfaatkan selera wacana publik.

Indikatornya sederhana saja, yakni konsistensi dalam bersikap terhadap nilai yang dianggap kebenaran. Konsepsi idealnya, kebenaran akan tetap menjadi dan diterima sebagai kebenaran meski keadaannya akan merugikan. Akan tetapi, jika hari ini sesuatu diterima sebagai kebenaran oleh seseorang atau sekelompok orang tapi dilain hari, karena keadaan tidak menguntungkan, kebenaran tadi ditolaknya dan beralih ke kebenaran yang lain, bisa ditenggarai ada campur tangan Kaum Sofis di sana.

Misalnya, orang-orang yang hari ini menyerukan bahwa hasil dari proses demokrasi harus diterima dengan lapang dada, tapi di hari lain menolak dengan keras hasil dari proses demokrasi yang lain, bisa jadi telah terpengaruh dengan polarisasi wacana dan retorika Kaum Sofis zaman now. Jika memang proses demokrasi harus diterima dengan lapang dada, maka semua hasil proses demokrasi itu harus diterima lapang dada, baik saat berada pada posisi sebagai pemenang, maupun pada posisi sebagai pihak yang kalah dalam kontestasi. Model seperti ini dapat kita amati hampir pada seluruh wacana publik yang menyita perhatian masyarakat luas akhir-akhir ini.

Seperti yang diingatkan Bung Hatta, jika kebenarannya berubah-ubah, maka ia terlalu mementingkan diri sendiri dan melupakan masyarakat. Persis seperti konstruksi kaum sofis yang beliau gambarkan, bahwa kebenarannya bukan soal kebenaran, tetapi soal bagaimana membungkus kepentingan yang dipoles dengan kata-kata melalui selera orang banyak.


Keluar Dari Kaum Sofis

Sulit untuk tidak terjerumus dalam perangkap Kaum Sofis. Mereka, pada zaman Yunani Kuno itu, adalah orang-orang terpelajar yang berguru dan menimba pengetahuan kepada ahli-ahli filsafat  dan memiliki wawasan yang luas. Kemampuan mereka memikat orang lain dengan kata-kata sangat hebat. Itu sebab mengapa orang yang ingin eksis dalam dunia politik bersedia untuk membayar mereka dan berguru kepada mereka.

Zaman now, mengidentifikasi kaum sofis bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan ini semakin sulit dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang yang tidak mampu melihat arah perkembangan wacana publik baik karena rendahnya pengetahuan maupun karena malas melengkapi informasi ataupun terjebak dalam pengkhultusan individu akan terombang-ambing dalam retorika yang dikembangkan kaum sofis. Sekali lagi, tidak ada kebenaran mutlak yang bersifat umum dalam retorika itu, hanya ada kebenaran relatif.

Cara yang dilakukan Socrates barangkali perlu dilakukan lagi pada zaman now. Socrates telah mencontohkan cara yang baik untuk meyelamatkan diri dari hilangnya kebenaran oleh pembenaran. Socrates membangun metodenya dengan bertanya dan terus bertanya sampai tidak ada lagi jawaban untuk pertanyaan. Mungkin dalam bahasa kita sekarang, kita bisa menyebutnya dengan berpikir kritis terhadap wacana-wacana retorik.

Salahkah kaum sofis? Tidak. Kaum Sofis ini telah memberikan manfaat yang sangat besar pada konteks pengembangan filsafat yang berpusat kepada manusia.

Lalu masalahnya apa? Orang-orang yang tidak siap, agak mampet cara berpikirnya, tak mampu mengasah akal lebih jauh, akan menjadi bingung dan tak dapat melihat batas antara benar dan salah dalam konteks berpikir. Karena sudah mampet berpikir, sedangkan segala sesuatunya membingungkan dan berubah-ubah, mulailah banyak yang marah-marah dan hilang rasionalitasnya.

Semoga saja, tidak ada lagi yang harus menelan racun dalam usahanya mencari dan menunjukan kebenaran yang hakiki seperti yang dialami Socrates kala itu. Percuma kita punya tokoh-tokoh sehebat bung Hatta dan kawan-kawannya kalau tak ada apapun yang bisa kita contoh dari mereka.*

Begitulah...

No comments:

Post a Comment