Berbagai
diskursus yang berkembang belakangan ini terutama dalam kaitannya dengan
percaturan politik di negeri ini mengingatkan saya pada relativisme kebenaran yang
berkembang berabad-abad yang lalu, di Yunani kuno, melalui tangan kaum sofis.
Banyak
literature yang menceritakan tentang
kaum sofis ini. Tapi untuk tulisan ini, akan dirujuk apa yang diceritakan
Mohammad Hatta (Bung Hatta) dalam bukunya “Alam Berpikir Yunani”. Dalam buku
ini, Bung Hatta membuat sub bab khusus tentang kaum Sofis yang diberi judul
‘Sofisme”.
Pada
bagian Pengantar Kata untuk Jilid Kedua bukunya itu, Bung Hatta menulis “...
ada baiknya rakyat kita bercermin sedikit pada masa sofisme itu. Banyak teladan
yang dapat diambil dari situ, untuk menghindarkan apa yang tak baik dilakukan,
untuk menahan bahwa nafsu yang bisa membahayakan keselamatan negara”.
Kontribusi Kaum Sofis Terhadap Kehancuran Athena Kuno
Sofisme
ini dalam pengertian yang sederhana merupakan aliran filosofi dalam sejarah
filsafat Yunani yang di bawa oleh kaum sofis. Kata sofis inipun pada awalnya
ditujukan kepada orang-orang pandai yang memiliki keahlian di bidang bahasa,
filsafat, politik dan lain-lainnya. Mereka dihormati karena pengetahuan dan
kebijaksanannya. Tapi, dengan berkembangnya waktu, sebutan Kaum Sofis kemudian
berubah menjadi ejekan bagi orang-orang yang pandai bersilat lidah dan bermain
kata-kata.
Mereka
tidak mengajarkan kebenaran, tapi mempertahankan pembenaran dengan kemampuan
berpidato dan beretorika sebagai alatnya. Tulis Bung Hatta “bukan meyakinkan
orang jadi tujuan, melainkan menundukan orang dengan daya kata”.
Tidak
ada kebenaran mutlak bagi Kaum Sofis. Segala sesuatunya bersifat relatif,
bergantung waktu, keadaan dan kepentingan. Bung Hatta menggambarkan ‘kebenaran’
kaum sofis dengan narasi “Orang yang benar ialah orang yang pendapatnya
dibenarkan oleh orang banyak. Mempengaruhi orang banyak dengan pidato yang
tangkas menjadi tujuan. Bukan kebenaran isi kata yang diutamakan, melainkan
tarikannya”. Mereka hanya menyampaikan apa yang ingin di dengar orang banyak.
Kemampuan
menundukan orang lain melalui daya kata inilah yang ‘dijual’ Kaum Sofis kepada masyarakat
Athena waktu itu guna memenuhi syahwat politik untuk di dengar dan mendapatkan
tempat di publik. Untuk memenuhi syahwat itu, guru Sofis mengajarkan bagaimana
cara bersikukuh bersilat lidah mempertahankan pendirian, termasuk juga merubah
pendirian sekiranya dibutuhkan untuk mempertahankan posisi serta menihilkan
pandangan orang lain.
Lalu,
sendi-sendi kebernegaraan Yunani menjadi rapuh. Tulis Bung Hatta, “Dengan
caranya mengajar itu, ... guru-guru sofis menunda demokrasi Atena ke jalan
anarki, sikap yang tidak punya aturan.” Tulis Bung Hatta lagi, “Demokrasi yang
berjalan baik bermula di bawah pimpinan Perikles, berpaling ke jalan anarkhi
atas pengaruh sofisme itu”. Inilah kontribusi kaum sofis dengan sofismenya bagi
kehancuran Athena dan Yunani.
Memang
secara langsung sofisme tidak menghancurkan Athena. Tapi sofisme berkontribusi
melonggarkan sendi-sendi Athena, hingga ketika Athena di gempur oleh
tentangganya seperti Sparta, mereka tidak mampu mempertahankan diri dan menelan
kekalahan. Yunani kemudian juga tak berdaya melawan Persia dan Romawi.
Socrates
adalah korban dari tajamnya kata-kata Kaum Sofis. Dia terpaksa harus meninggal
dengan meminum racun sebagai konsekuensi kekalahannya bersilat lidah di dalam
Pengadilan yang di dominasi Kaum Sofis.
Sofisme Zaman
Now
Peringatan
Bung Hatta soal relativ-nya kebenaran Kaum Sofis yang memanfaatkan suasana
demokrasi untuk memenuhi syahwat berkuasa perlu untuk dicermati. Bung Hatta
mengingatkan “Demokrasi hanya selamat hidupnya dengan rasa tanggung jawab dan
pengertian akan kebenaran. Rasa tanggung jawab hilang, jika yang kemarin
disebut benar sekarang dibatalkan ... Kalau tiap-tiap orang mau benar saja
karena percaya, bahwa tidak ada kebenaran yang umum sifatnya, maka ia terlalu
mementingkan awak sendiri dan melupakan masyarakat”.
Berubah-ubahnya
kebenaran seperti yang diungkapkan Bung Hatta itu bisa digunakan untuk menandai
kehadiran Kaum Sofis zaman now. Perhatikan saja perubahan wacana perpolitikan kita
dan berbagai peristiwa yang lain serta lihat bagaimana sikap mereka-mereka yang
terlibat dalam wacana atau peristiwa itu. Sikap yang diperlihatkan akan
menunjukan apakah seluruh wacana itu merupakan kebenaran yang hendak
dipertahankan atau sekedar mengikuti arus kehendak publik yang diselemuti
kepentingan dan syahwat berkuasa dengan memanfaatkan selera wacana publik.
Indikatornya
sederhana saja, yakni konsistensi dalam bersikap terhadap nilai yang dianggap
kebenaran. Konsepsi idealnya, kebenaran akan tetap menjadi dan diterima sebagai
kebenaran meski keadaannya akan merugikan. Akan tetapi, jika hari ini sesuatu
diterima sebagai kebenaran oleh seseorang atau sekelompok orang tapi dilain
hari, karena keadaan tidak menguntungkan, kebenaran tadi ditolaknya dan beralih
ke kebenaran yang lain, bisa ditenggarai ada campur tangan Kaum Sofis di sana.
Misalnya,
orang-orang yang hari ini menyerukan bahwa hasil dari proses demokrasi harus
diterima dengan lapang dada, tapi di hari lain menolak dengan keras hasil dari
proses demokrasi yang lain, bisa jadi telah terpengaruh dengan polarisasi
wacana dan retorika Kaum Sofis zaman now. Jika memang proses demokrasi harus
diterima dengan lapang dada, maka semua hasil proses demokrasi itu harus
diterima lapang dada, baik saat berada pada posisi sebagai pemenang, maupun
pada posisi sebagai pihak yang kalah dalam kontestasi. Model seperti ini dapat
kita amati hampir pada seluruh wacana publik yang menyita perhatian masyarakat
luas akhir-akhir ini.
Seperti
yang diingatkan Bung Hatta, jika kebenarannya berubah-ubah, maka ia terlalu
mementingkan diri sendiri dan melupakan masyarakat. Persis seperti konstruksi
kaum sofis yang beliau gambarkan, bahwa kebenarannya bukan soal kebenaran,
tetapi soal bagaimana membungkus kepentingan yang dipoles dengan kata-kata melalui
selera orang banyak.
Keluar Dari
Kaum Sofis
Sulit
untuk tidak terjerumus dalam perangkap Kaum Sofis. Mereka, pada zaman Yunani
Kuno itu, adalah orang-orang terpelajar yang berguru dan menimba pengetahuan
kepada ahli-ahli filsafat dan memiliki
wawasan yang luas. Kemampuan mereka memikat orang lain dengan kata-kata sangat
hebat. Itu sebab mengapa orang yang ingin eksis dalam dunia politik bersedia
untuk membayar mereka dan berguru kepada mereka.
Zaman
now, mengidentifikasi kaum sofis bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan ini
semakin sulit dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang yang
tidak mampu melihat arah perkembangan wacana publik baik karena rendahnya
pengetahuan maupun karena malas melengkapi informasi ataupun terjebak dalam
pengkhultusan individu akan terombang-ambing dalam retorika yang dikembangkan
kaum sofis. Sekali lagi, tidak ada kebenaran mutlak yang bersifat umum dalam
retorika itu, hanya ada kebenaran relatif.
Cara
yang dilakukan Socrates barangkali perlu dilakukan lagi pada zaman now. Socrates
telah mencontohkan cara yang baik untuk meyelamatkan diri dari hilangnya
kebenaran oleh pembenaran. Socrates membangun metodenya dengan bertanya dan
terus bertanya sampai tidak ada lagi jawaban untuk pertanyaan. Mungkin dalam
bahasa kita sekarang, kita bisa menyebutnya dengan berpikir kritis terhadap
wacana-wacana retorik.
Salahkah
kaum sofis? Tidak. Kaum Sofis ini telah memberikan manfaat yang sangat besar
pada konteks pengembangan filsafat yang berpusat kepada manusia.
Lalu
masalahnya apa? Orang-orang yang tidak siap, agak mampet cara berpikirnya, tak
mampu mengasah akal lebih jauh, akan menjadi bingung dan tak dapat melihat
batas antara benar dan salah dalam konteks berpikir. Karena sudah mampet
berpikir, sedangkan segala sesuatunya membingungkan dan berubah-ubah, mulailah
banyak yang marah-marah dan hilang rasionalitasnya.
Begitulah...
No comments:
Post a Comment