Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Monday, November 6, 2017

PAK KADES, TERIMALAH SALAM HORMAT KU


Hamparan tanah pantai yang hendak di tanam mangrove
Kades dan hamparan tanah pantai yang hendak ditanamnya mangrove


Namanya Safril. Saya memanggilnya Pak Kades.

Sebenarnya nurani saya sudah memberikan warning, bahwa saya tidak boleh memuji orang berlebih-lebihan karena jika suatu saat ternyata orang yang dipuji itu tidak seperti yang diharapkan rasanya gimanaaa gitu. Lagi pula memuji membabi buta itu akan membuat kita terjerumus dalam pengkhultusan yang menggelapkan otak dan hati sehingga tak mampu lagi melihat secara objektif.


Dan, orang-orang hebat nan bijaksana, tak satupun yang mengkhultuskan dirinya sendiri atau ingin dikhultuskan oleh orang lain. Rasul ku yang ku cintai, bahkan foto beliau pun tidak ada. Yang begituan adalah sentuhan rasa sombong dan ria yang mengakar di hati.

Tapi, saya memang angkat topi untuk pak Safril, Kepala Desa Bagan Kuala Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.

Orangnya masih muda, tamatan STM, dan sudah berkelana ke berbagai penjuru dalam usahanya memperbaiki kualitas hidup sampai kecintaannya kepada Desa kelahiran memanggilnya pulang untuk berkompetisi menjadi kepala desa di sana dan menang.

“Kenapa Pak Kades mau menjadi menjadi kepala desa?” tanya saya.

“Desa kami ini keadaannya memprihatikan, bang?” katanya. “Tapi, sekarang kami punya kesempatan untuk memperbaikinya.  Kami punya dana desa yang cukup banyak dari pemerintah. Dengan dana desa itu, saya membuat apa saja yang kami perlukan untuk memperbaiki desa kami”. Kemudian dilanjutkannya, “selama ini, dana desa itu tidak begitu terasa manfaatnya untuk kami. Orang tertarik dan berebut menjadi kepala desa karena memikirkan apa yang bisa diambilnya dari dana desa. Sekarang kami merubahnya cara berpikirnya bukan lagi apa yang bisa diambil, tapi apa yang bisa dilakukan dengan dana desa yang ada”. Itulah dialog di awal perkenalan ku dengan Pak Kades.

Memang menarik besaran dana desa yang mereka kelola. Tahun 2015, 620 juta, tahun 2016, 720 juta dan tahun 2017, 790 juta. “Pak Kades sudah punya mobil” tanya ku nakal. “belum Bang, gaji Kades belum cukup untuk beli mobil” jawabnya. “Kan, dana desanya lumayan”. Goda ku lagi. dia hanya terseyum.

Tahun 2016, pertama kali saya berkunjung ke desa itu sambil membawa mahasiswa untuk Kuliah Kerja Lapangan. Kami datang kesana karena informasi dari salah satu mahasiswa yang mengatakan bahwa desa itu akan tenggelam karena abrasi pantai. Mereka sudah kehilangan lebih dari 1,5 kilometer daratan. Pasir-pasir putihnya sudah berganti dengan tanah lumpur. Lautnya yang bening sudah berubah menjadi kecoklatan berlumpur. Tak ada lagi keindahan pantai di sana.

Katanya, dulu desa itu indah. Pasir pantainya punya kualitas yang baik, bisa untuk bahan membuat kaca. Hutan mangrovenya juga bagus. Tapi sekarang, itu hanya hamparan tanah. Pasir pantai sudah nyaris habis di keruk dan di jual, hutan mangrove sudah ditebangi dan dampaknya sekarang mereka rasakan.
Jangan pikir penjualan pasir dan penembangan mangrove membuat masyarakat di sana kaya. Tidak, mereka tetap dalam kesederhanaan hidup nelayan. Mereka pun tidak bisa menjelaskan siapa yang diuntungkan dengan rusaknya alam itu.

Tahun 2016 itu kami hanya membawa 250 batang bibit mangrove. Ternyata itu mangrove pertama yang ditanam kembali di lokasi yang ditunjukan Pak Kades. 250 bibit itu hanya cukup untuk secuil saja dari hamparan tanah pantai yang hendak di tanam. Kemaren, kami datang lagi ke sana dengan modal 1.500 bibit. Insya Allah Desember nanti kembali lagi dengan 10.000 bibit. Dan, kami bukan satu-satunya yang berhasil di tarik kepeduliannya oleh pak Kades.

“ini Kampung Kito, bang”, kata pak Kades. Motto itu terpampang besar di Gapura Desa yang mereka bangun menggunakan dana Desa. Motto ini yang dijadikan jargon untuk merubah mindset dan kesadaran masyarakat di sana untuk memelihara dan menjaga  kampungnya sendiri.

Sekarang, desa itu telah berubah banyak.

Tahun 2016 kami datang, masih banyak jalan tanah bercampur aspal. Kemaren sudah hampir semua jalan yang dilewati teraspal dengan baik dan beberapa jalan dalam proses pengerasan. Mereka telah membuat pemecah ombak sederhana dari batu dan bambu untuk melindungi dusun-dusun dari air pasang laut. Mereka juga membuat pemecah arus sungai. Mereka membuat tangkahan perahu nelayan dari Beton, sumur bor baru untuk dusun-dusun, menanam pohon mahoni untuk keindahan desa, pembibitan bunga, lapangan badminton, dan sedang dalam pengerjaan lapangan sepak bola. Mereka juga membuat WC umum yang bisa digunakan masyarakat untuk mengubah prilaku buang air besar di sana. Dan banyak lagi hal-hal baru yang sebelumnya tidak ada.

Dari dana desa itu, mereka sekarang punya kelompok pemuda anti narkoba yang rutin memberikan penyuluhan anti narkoba, memberikan tunjangan untuk guru ngaji, imam dan nazir mesjid. Mereka juga sedang dalam persiapan untuk mengembangkan Badan Usaha Desa yang nantinya akan bergerak di bidang pengolahan Pandan, Pariwisata dan Koperasi Nelayan.

Atas prestasi itu, desanya Pak Kades mendapatkan hadiah sebuah kapal dari pemerintah pusat yang dapat digunakan untuk berwisata ke pulau Berhala, salah satu dusun di Desa Bagan Kuala.     

Sebelum sampai di desanya Pak Kades, saya dan beberapa dosen menyempatkan singgah dulu di desa yang lain dan mengkonfirmasi apakah Pak Kades ini termasuk tipe penjual kata-kata atau memang bekerja seperti yang diceritakannya.
Hmm, reputasi yang dihasilkan dari kerja kerasnya itu telah mendahului wujud fisiknya.

Kata ibu penjual gorengan kepada kami, “Dulu kampung itu jorok, pak. Orang pun malas ke sana. Sekarang sudah berubah, jalannya sudah bagus, bersih dan banyak orang yang datang ke sana.” “Kenal dengan kepala desanya?” tanya teman ku. “Ngak tau orangnya pak, tapi tau namanya.”
Waktu informasi tentang pandangan orang-orang terhadap beliau dan desa beliau ini saya sampaikan, Pak Kades cuma bilang “masak, sih bang” sambil tersenyum. Begitulah orang yang bekerja dengan hati.

Dulu, akhir tahun 2016, kami undang beliau untuk hadir di kampus saya memberikan ceramah ke mahasiswa tentang lika-liku kepemimpinan di Desa. Dengan terbata-bata dan grogi, beliau membuka pembicaraan “ini pertama kali saya di undang oleh kampus berbicara di depan teman-teman yang berpendidikan lebih tinggi dari saya. Saya sebenarnya malu. Saya tidak memiliki pengetahuan dan ilmu sehebat teman-teman”.

Kemaren waktu ketemu, beliau sampaikan ke saya, “sejak saya di undang berbicara kemaren, saya lebih berani berbicara di forum-forum”. Saya hanya tersenyum dan bilang, bahwa bagi kami, ini saatnya orang-orang yang menjadi pahlawan kecil tapi mampu melakukan hal-hal yang besar diberikan ruang yang layak.

Saat memberikan sambutan di hadapan ratusan mahasiswa kami yang menanam mangrove di sana, beliau sampaikan permintaan “teman-teman mahasiswa, mohon berkenan untuk berkunjung ke rumah-rumah warga saya di sini. Berikanlah motivasi kepada warga kami agar mau menyekolahkan anak-anaknya seperti teman-teman. Masih banyak sekali anak-anak muda kami yang tidak mau sekolah. Saya sudah buat bermacam cara agar mereka mau sekolah. Dengan kedatangan adek-adek ke rumah-rumah mereka, akan semakin meningkatkan semangat warga kami untuk sekolah.”

Kepada saya, beliau katakan. “Sekarang bang, bukan lagi membangun dari desa, tapi desa membangun. Itu yang kami lakukan”. Pernyataan ini diaminkan oleh kepala-kepala dusun dan tokoh masyarakat yang ikut ngobrol bersama kami.

Saya setuju dengan Pak Kades. Bukan lagi membangun dari desa, tapi desa membangun.

Katanya lagi, “dari pada kita berkoar-koar ngak jelas bang, lebih baik kita melakukan sesuatu yang bisa kita lakukan untuk kebaikan orang banyak”. Dan, saya setuju lagi.

Saya yakin, pak Kades bukanlah satu-satunya pak kades yang serius mengabdi dan membangun desanya meskipun banyak juga yang seriusnya sebatas “mengolah” dana desanya saja.  

Saya membayangkan seandainya kepala-kepala desa begitu semua, mungkin Jakarta dan kota-kota besar lainnya tidak akan kerepotan dengan urbanisasi, karena di desa, mereka juga punya masa depan yang cerah.

Pak Kades, terimalah salam hormat ku.

Begitulah...

Note: Hamparan tanah di belakang foto adalah tanah abrasi pantai yang hendak dihijaukan oleh Pak Kades dengan pohon mangrove. Pagar bambu dan batu adalah pemecah ombak sederhana yang dibangun agar air pasang tidak masuk lagi ke rumah warga. Bibit mangrove itu adalah bibit yang baru saja kami tanam.

1 comment: