Kades dan hamparan tanah pantai yang hendak ditanamnya mangrove |
Namanya
Safril. Saya memanggilnya Pak Kades.
Sebenarnya
nurani saya sudah memberikan warning, bahwa saya tidak boleh memuji orang
berlebih-lebihan karena jika suatu saat ternyata orang yang dipuji itu tidak
seperti yang diharapkan rasanya gimanaaa gitu. Lagi pula memuji membabi buta
itu akan membuat kita terjerumus dalam pengkhultusan yang menggelapkan otak dan
hati sehingga tak mampu lagi melihat secara objektif.
Dan,
orang-orang hebat nan bijaksana, tak satupun yang mengkhultuskan dirinya
sendiri atau ingin dikhultuskan oleh orang lain. Rasul ku yang ku cintai,
bahkan foto beliau pun tidak ada. Yang begituan adalah sentuhan rasa sombong
dan ria yang mengakar di hati.
Tapi, saya
memang angkat topi untuk pak Safril, Kepala Desa Bagan Kuala Kecamatan Tanjung
Beringin Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara.
Orangnya
masih muda, tamatan STM, dan sudah berkelana ke berbagai penjuru dalam usahanya
memperbaiki kualitas hidup sampai kecintaannya kepada Desa kelahiran
memanggilnya pulang untuk berkompetisi menjadi kepala desa di sana dan menang.
“Kenapa Pak
Kades mau menjadi menjadi kepala desa?” tanya saya.
“Desa kami
ini keadaannya memprihatikan, bang?” katanya. “Tapi, sekarang kami punya
kesempatan untuk memperbaikinya. Kami punya
dana desa yang cukup banyak dari pemerintah. Dengan dana desa itu, saya membuat
apa saja yang kami perlukan untuk memperbaiki desa kami”. Kemudian dilanjutkannya,
“selama ini, dana desa itu tidak begitu terasa manfaatnya untuk kami. Orang tertarik
dan berebut menjadi kepala desa karena memikirkan apa yang bisa diambilnya dari
dana desa. Sekarang kami merubahnya cara berpikirnya bukan lagi apa yang bisa
diambil, tapi apa yang bisa dilakukan dengan dana desa yang ada”. Itulah dialog
di awal perkenalan ku dengan Pak Kades.
Memang menarik
besaran dana desa yang mereka kelola. Tahun 2015, 620 juta, tahun 2016, 720
juta dan tahun 2017, 790 juta. “Pak Kades sudah punya mobil” tanya ku nakal. “belum
Bang, gaji Kades belum cukup untuk beli mobil” jawabnya. “Kan, dana desanya
lumayan”. Goda ku lagi. dia hanya terseyum.
Tahun 2016,
pertama kali saya berkunjung ke desa itu sambil membawa mahasiswa untuk Kuliah
Kerja Lapangan. Kami datang kesana karena informasi dari salah satu mahasiswa
yang mengatakan bahwa desa itu akan tenggelam karena abrasi pantai. Mereka sudah
kehilangan lebih dari 1,5 kilometer daratan. Pasir-pasir putihnya sudah
berganti dengan tanah lumpur. Lautnya yang bening sudah berubah menjadi
kecoklatan berlumpur. Tak ada lagi keindahan pantai di sana.
Katanya,
dulu desa itu indah. Pasir pantainya punya kualitas yang baik, bisa untuk bahan
membuat kaca. Hutan mangrovenya juga bagus. Tapi sekarang, itu hanya hamparan
tanah. Pasir pantai sudah nyaris habis di keruk dan di jual, hutan mangrove
sudah ditebangi dan dampaknya sekarang mereka rasakan.
Jangan pikir
penjualan pasir dan penembangan mangrove membuat masyarakat di sana kaya. Tidak,
mereka tetap dalam kesederhanaan hidup nelayan. Mereka pun tidak bisa
menjelaskan siapa yang diuntungkan dengan rusaknya alam itu.
Tahun 2016
itu kami hanya membawa 250 batang bibit mangrove. Ternyata itu mangrove pertama
yang ditanam kembali di lokasi yang ditunjukan Pak Kades. 250 bibit itu hanya
cukup untuk secuil saja dari hamparan tanah pantai yang hendak di tanam. Kemaren,
kami datang lagi ke sana dengan modal 1.500 bibit. Insya Allah Desember nanti
kembali lagi dengan 10.000 bibit. Dan, kami bukan satu-satunya yang berhasil di
tarik kepeduliannya oleh pak Kades.
“ini Kampung
Kito, bang”, kata pak Kades. Motto itu terpampang besar di Gapura Desa yang
mereka bangun menggunakan dana Desa. Motto ini yang dijadikan jargon untuk
merubah mindset dan kesadaran
masyarakat di sana untuk memelihara dan menjaga kampungnya sendiri.
Sekarang,
desa itu telah berubah banyak.
Tahun 2016
kami datang, masih banyak jalan tanah bercampur aspal. Kemaren sudah hampir
semua jalan yang dilewati teraspal dengan baik dan beberapa jalan dalam proses
pengerasan. Mereka telah membuat pemecah ombak sederhana dari batu dan bambu
untuk melindungi dusun-dusun dari air pasang laut. Mereka juga membuat pemecah
arus sungai. Mereka membuat tangkahan perahu nelayan dari Beton, sumur bor baru
untuk dusun-dusun, menanam pohon mahoni untuk keindahan desa, pembibitan bunga,
lapangan badminton, dan sedang dalam pengerjaan lapangan sepak bola. Mereka
juga membuat WC umum yang bisa digunakan masyarakat untuk mengubah prilaku
buang air besar di sana. Dan banyak lagi hal-hal baru yang sebelumnya tidak
ada.
Dari dana
desa itu, mereka sekarang punya kelompok pemuda anti narkoba yang rutin
memberikan penyuluhan anti narkoba, memberikan tunjangan untuk guru ngaji, imam
dan nazir mesjid. Mereka juga sedang dalam persiapan untuk mengembangkan Badan
Usaha Desa yang nantinya akan bergerak di bidang pengolahan Pandan, Pariwisata
dan Koperasi Nelayan.
Atas prestasi
itu, desanya Pak Kades mendapatkan hadiah sebuah kapal dari pemerintah pusat yang
dapat digunakan untuk berwisata ke pulau Berhala, salah satu dusun di Desa
Bagan Kuala.
Sebelum
sampai di desanya Pak Kades, saya dan beberapa dosen menyempatkan singgah dulu
di desa yang lain dan mengkonfirmasi apakah Pak Kades ini termasuk tipe penjual
kata-kata atau memang bekerja seperti yang diceritakannya.
Hmm,
reputasi yang dihasilkan dari kerja kerasnya itu telah mendahului wujud
fisiknya.
Kata ibu
penjual gorengan kepada kami, “Dulu kampung itu jorok, pak. Orang pun malas ke
sana. Sekarang sudah berubah, jalannya sudah bagus, bersih dan banyak orang
yang datang ke sana.” “Kenal dengan kepala desanya?” tanya teman ku. “Ngak tau
orangnya pak, tapi tau namanya.”
Waktu informasi
tentang pandangan orang-orang terhadap beliau dan desa beliau ini saya
sampaikan, Pak Kades cuma bilang “masak, sih bang” sambil tersenyum. Begitulah orang
yang bekerja dengan hati.
Dulu, akhir
tahun 2016, kami undang beliau untuk hadir di kampus saya memberikan ceramah ke
mahasiswa tentang lika-liku kepemimpinan di Desa. Dengan terbata-bata dan
grogi, beliau membuka pembicaraan “ini pertama kali saya di undang oleh kampus
berbicara di depan teman-teman yang berpendidikan lebih tinggi dari saya. Saya sebenarnya
malu. Saya tidak memiliki pengetahuan dan ilmu sehebat teman-teman”.
Kemaren
waktu ketemu, beliau sampaikan ke saya, “sejak saya di undang berbicara
kemaren, saya lebih berani berbicara di forum-forum”. Saya hanya tersenyum dan
bilang, bahwa bagi kami, ini saatnya orang-orang yang menjadi pahlawan kecil
tapi mampu melakukan hal-hal yang besar diberikan ruang yang layak.
Saat
memberikan sambutan di hadapan ratusan mahasiswa kami yang menanam mangrove di
sana, beliau sampaikan permintaan “teman-teman mahasiswa, mohon berkenan untuk
berkunjung ke rumah-rumah warga saya di sini. Berikanlah motivasi kepada warga
kami agar mau menyekolahkan anak-anaknya seperti teman-teman. Masih banyak
sekali anak-anak muda kami yang tidak mau sekolah. Saya sudah buat bermacam
cara agar mereka mau sekolah. Dengan kedatangan adek-adek ke rumah-rumah
mereka, akan semakin meningkatkan semangat warga kami untuk sekolah.”
Kepada saya,
beliau katakan. “Sekarang bang, bukan lagi membangun dari desa, tapi desa
membangun. Itu yang kami lakukan”. Pernyataan ini diaminkan oleh kepala-kepala
dusun dan tokoh masyarakat yang ikut ngobrol bersama kami.
Saya setuju
dengan Pak Kades. Bukan lagi membangun dari desa, tapi desa membangun.
Katanya
lagi, “dari pada kita berkoar-koar ngak jelas bang, lebih baik kita melakukan
sesuatu yang bisa kita lakukan untuk kebaikan orang banyak”. Dan, saya setuju
lagi.
Saya yakin,
pak Kades bukanlah satu-satunya pak kades yang serius mengabdi dan membangun
desanya meskipun banyak juga yang seriusnya sebatas “mengolah” dana desanya
saja.
Saya
membayangkan seandainya kepala-kepala desa begitu semua, mungkin Jakarta dan
kota-kota besar lainnya tidak akan kerepotan dengan urbanisasi, karena di desa,
mereka juga punya masa depan yang cerah.
Pak Kades,
terimalah salam hormat ku.
Begitulah...
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete