Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Wednesday, November 8, 2017

KALAH OLEH PREMAN



Membaca berita di CNN Indonesia tentang curhat pedagang tanah abang yang diminta “uang lapak” atau “uang keamanan” di sana membawa saya kepada beberapa kenangan berurusan dengan preman.

Kalian mungkin juga pernah berurusan dengan para preman ini.

Preman menurut aplikasi KBBI V di HP saya berarti sebutan kepada orang jahat (penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya). Aktifitas ke-preman-an ini disebut premanisme yang menurut kamus itu berarti cara hidup seperti preman, biasanya dengan mengedepankan kekerasan.

Di wikipedia, premanisme adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain (https://id.wikipedia.org/wiki/Premanisme).

Nah, kalau ada yang bangga disebut, atau menyebut diri, atau bercita-cita menjadi preman, rasanya aneh sekali. Soalnya dari nomenkelatur di kamus itu, menjadi preman itu berarti menjadi orang jahat:)



Mungkin karena itu saya belum pernah melihat dan mendengar ada orang yang mencantum ‘preman’ sebagai pekerjaan di KTP nya. Tapi, premanisme bisa kita lihat dimana-mana di negara ini, meski banyak yang tidak mengakui.

Berita di CNN ini membuka memori, betapa ngak enaknya berurusan dengan preman. Mungkin sebagian memori itu sekarang sudah tidak terjadi lagi tapi beberapanya baru saja saya alami.

Dulu waktu pertama merantau untuk kuliah, saya diingatkan teman-teman di kampung yang sudah berpengalaman keluar kota. Katanya, “nanti kalau di terminal Bukit Tinggi ada yang jual buku, jangan di pegang bukunya. Kalau sudah dipegang, kita akan dipaksa untuk membeli.”

Benar, saya mengalami tiga kali di peras dengan modus jual buku ini. Teman saya yang duduk di sebelah saya pernah dipukul dadanya kerena menolak membeli buku. Tapi, belakangan ini saya pulang kampung, alhamdulillah tidak pernah lagi mengalaminya di terminal itu. orang-orang yang jual buku ke dalam bus masih ada, tapi saya tidak dipaksa lagi untuk membeli. Mereka memakai cara yang lebih kreatif, meletakan bukunya di paha anak saya, hehehe.

Waktu mahasiswa, organisasi kami mengisi kegiatan Ramadhan dengan jualan buka puasa di pinggir jalan. Kami juga harus bayar “uang lapak” ke oknum preman. Yang ini mengatasnamakan organisasi tertentu. 2 organisasinya, 2 juga “uang lapaknya.” Katanya untuk keamanan.  Tapi gangguan keamanan dari siapa, saya ngak tahu. Aneh juga, retribusi pemerintah tidak ada, tapi uang lapak premannya ada:)
Sekarang apakah masih begitu, saya juga ngak tahu.

Tahun lalu, seorang sahabat datang minta saya untuk membantu saudaranya yang hendak berdagang di salah satu jalan di kota saya. Saya dimintanya untuk menego “uang lapak.” Terpaksa saya harus menelpon beberapa ‘ketua’ untuk itu, hehehe. Kalau yang ini bayar double. Satu ke pemerintah untuk retribusi, satu lagi ke oknum preman yang mengatasnamakan organisasi tertentu untuk keamanan lapak.

Pernah juga seorang sahabat datang berkeluh kesah. Mereka sedang membangun rumah, lalu datang utusan untuk mengutip iuran. Katanya untuk keamanan bahan bangunan dan keluar masuk truk pengangkut bahan. Kalau yang ini atas nama “pemuda setempat.”

Pernah juga datang mahasiswa melapor ke saya dan minta perpanjangan waktu mengumpulkan tugasnya. Alasannya, saat perjalanan pulang, dia di cegat segerombolan pemuda, di rampas dompet dan semua barangnya termasuk laptop yang digunakan untuk mengerjakan dan menyimpan tugas itu. Tak berani mahasiswa ini waktu saya ajak buat pengaduan ke polisi.

Terakhir, beberapa hari yang lalu, saat bus yang kami sewa menurunkan mahasiswa yang baru saja menanam mangrove sebagai bagian dari Kuliah Kerja Lapangan, datang dua orang oknum mengatasnamakan organisasi tertentu meminta “retribusi” bus. Katanya juga untuk keamanan. Dari lima bus, dua lolos, tiga mesti bayar. Jumlahnya bervariasi, ada yang 20 ribu, ada yang 14 ribu. Celakanya, supir bus membebankan biaya itu kepada mahasiswa. Katanya, sudah biasa begitu.
Entah atas dasar apa, bus yang berhenti menurunkan penumpang itu harus membayar retribusi kepada mereka.

Bagi sebagian orang, ini adalah cara mendapatkan uang dengan mudah. Tak perlu kerja keras. Cukup mengandalkan otot, senjata, dan kelompok yang keras.

Memang memprihatikan dan memalukan. Tapi ini adalah keadaan sosial kita yang kompleks. Banyak penyebabnya. Ada faktor pendidikan di sana, ada faktor ekonomi di sana, ada faktor karakter di sana, ada eforia kelompok, ada longgarnya pengawasan pemerintah serta pengawasan penegak hukum dan banyak lagi.
Kalau kelompok ini teroganisir dengan rapi, mereka memiliki kemampuan dan kekuasaan yang terkadang melebihi kekuasaan pemerintah setempat. Apalagi kalau mendapatkan dukungan dari oknum-oknum tertentu yang juga sama-sama meraup keuntungan dari premanisme ini.

Sering sekali kita harus menerima kekalahan ketika berurusan dengan preman.

Tapi, menjadi preman juga tidak mudah. Mereka juga selalu harus siap berhadapan dengan preman lainnya. Terkadang mesti mempertaruhkan nyawa untuk itu.

Tidak semua juga ‘jahat’. Ada melakukan pekerjaannya dengan cara-cara yang bermartabat. Ada yang menjaga kompleks perumahan, pertokoan, tempat hiburan, parkir dan lainnya. Mereka ini mendapatkan uang bukan dari hasil memeras, tapi dari hasil bekerja yang mengeluarkan keringat.

Saya punya sahabat yang dulunya berkecimpung di dunia preman. Baginya, memeras orang itu pekerjaan yang menjijikan. Uang yang didapatkan mesti dengan ukuran kerja yang jelas. Saat dia menjadi sekretaris ranting sebuah ormas, dia punya program untuk mengasuransikan seluruh anggotanya dari uang yang berasal dari iuran keamanan toko-toko yang mereka jaga.

Disinilah negara (terutama pemerintah dan pemerintah daerah) mestinya memainkan perannya dengan tepat. Untuk segala bentuk kejahatan dan gangguan yang merugikan masyarakat banyak, negara tidak boleh kalah dan berkompromi apalagi manarik keuntungan dari sana. Jika negara saja yang dilengkapi dengan komponen kekuasaan, kalah, apalagi masyarakat.

Tapi, pada konteks pemberdayaan, pemerintah perlu memberikan dukungan yang memadai, melatih mereka dengan keahlian khusus dan memastikan kehadiran mereka bukan ancaman bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat.

Memang ini seperti lingkaran setan yang sulit dipecahkan, ditambah lagi banyak setan yang melingkar-lingkar di sana.

Btw, saya juga pernah memposting tulisan Alm Prof. Satjipto Rahardjo yang berjudul “Demokrasi atau Bangkitnya Preman”

Begitulah...

Note: fotonya saya skrinsyut dari berita CNN
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171108064640-20-254227/curhat-pedagang-tanah-abang-diminta-uang-lapak/

No comments:

Post a Comment