Membaca
berita di CNN Indonesia tentang curhat pedagang tanah abang yang diminta “uang
lapak” atau “uang keamanan” di sana membawa saya kepada beberapa kenangan
berurusan dengan preman.
Kalian
mungkin juga pernah berurusan dengan para preman ini.
Preman
menurut aplikasi KBBI V di HP saya berarti sebutan kepada orang jahat
(penodong, perampok, pemeras, dan sebagainya). Aktifitas ke-preman-an ini
disebut premanisme yang menurut kamus itu berarti cara hidup seperti preman,
biasanya dengan mengedepankan kekerasan.
Di
wikipedia, premanisme adalah sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk
merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya
terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain (https://id.wikipedia.org/wiki/Premanisme).
Nah,
kalau ada yang bangga disebut, atau menyebut diri, atau bercita-cita menjadi
preman, rasanya aneh sekali. Soalnya dari nomenkelatur di kamus itu, menjadi
preman itu berarti menjadi orang jahat:)
Mungkin
karena itu saya belum pernah melihat dan mendengar ada orang yang mencantum ‘preman’
sebagai pekerjaan di KTP nya. Tapi, premanisme bisa kita lihat dimana-mana di
negara ini, meski banyak yang tidak mengakui.
Berita
di CNN ini membuka memori, betapa ngak enaknya berurusan dengan preman. Mungkin
sebagian memori itu sekarang sudah tidak terjadi lagi tapi beberapanya baru
saja saya alami.
Dulu
waktu pertama merantau untuk kuliah, saya diingatkan teman-teman di kampung
yang sudah berpengalaman keluar kota. Katanya, “nanti kalau di terminal Bukit
Tinggi ada yang jual buku, jangan di pegang bukunya. Kalau sudah dipegang, kita
akan dipaksa untuk membeli.”
Benar,
saya mengalami tiga kali di peras dengan modus jual buku ini. Teman saya yang
duduk di sebelah saya pernah dipukul dadanya kerena menolak membeli buku. Tapi,
belakangan ini saya pulang kampung, alhamdulillah tidak pernah lagi
mengalaminya di terminal itu. orang-orang yang jual buku ke dalam bus masih
ada, tapi saya tidak dipaksa lagi untuk membeli. Mereka memakai cara yang lebih
kreatif, meletakan bukunya di paha anak saya, hehehe.
Waktu
mahasiswa, organisasi kami mengisi kegiatan Ramadhan dengan jualan buka puasa
di pinggir jalan. Kami juga harus bayar “uang lapak” ke oknum preman. Yang ini mengatasnamakan
organisasi tertentu. 2 organisasinya, 2 juga “uang lapaknya.” Katanya untuk
keamanan. Tapi gangguan keamanan dari
siapa, saya ngak tahu. Aneh juga, retribusi pemerintah tidak ada, tapi uang
lapak premannya ada:)
Sekarang
apakah masih begitu, saya juga ngak tahu.
Tahun
lalu, seorang sahabat datang minta saya untuk membantu saudaranya yang hendak berdagang
di salah satu jalan di kota saya. Saya dimintanya untuk menego “uang lapak.” Terpaksa
saya harus menelpon beberapa ‘ketua’ untuk itu, hehehe. Kalau yang ini bayar double.
Satu ke pemerintah untuk retribusi, satu lagi ke oknum preman yang mengatasnamakan
organisasi tertentu untuk keamanan lapak.
Pernah
juga seorang sahabat datang berkeluh kesah. Mereka sedang membangun rumah, lalu
datang utusan untuk mengutip iuran. Katanya untuk keamanan bahan bangunan dan
keluar masuk truk pengangkut bahan. Kalau yang ini atas nama “pemuda setempat.”
Pernah
juga datang mahasiswa melapor ke saya dan minta perpanjangan waktu mengumpulkan
tugasnya. Alasannya, saat perjalanan pulang, dia di cegat segerombolan pemuda,
di rampas dompet dan semua barangnya termasuk laptop yang digunakan untuk
mengerjakan dan menyimpan tugas itu. Tak berani mahasiswa ini waktu saya ajak
buat pengaduan ke polisi.
Terakhir,
beberapa hari yang lalu, saat bus yang kami sewa menurunkan mahasiswa yang baru
saja menanam mangrove sebagai bagian dari Kuliah Kerja Lapangan, datang dua
orang oknum mengatasnamakan organisasi tertentu meminta “retribusi” bus. Katanya
juga untuk keamanan. Dari lima bus, dua lolos, tiga mesti bayar. Jumlahnya bervariasi,
ada yang 20 ribu, ada yang 14 ribu. Celakanya, supir bus membebankan biaya itu
kepada mahasiswa. Katanya, sudah biasa begitu.
Entah
atas dasar apa, bus yang berhenti menurunkan penumpang itu harus membayar
retribusi kepada mereka.
Bagi
sebagian orang, ini adalah cara mendapatkan uang dengan mudah. Tak perlu kerja
keras. Cukup mengandalkan otot, senjata, dan kelompok yang keras.
Memang
memprihatikan dan memalukan. Tapi ini adalah keadaan sosial kita yang kompleks.
Banyak penyebabnya. Ada faktor pendidikan di sana, ada faktor ekonomi di sana,
ada faktor karakter di sana, ada eforia kelompok, ada longgarnya pengawasan
pemerintah serta pengawasan penegak hukum dan banyak lagi.
Kalau
kelompok ini teroganisir dengan rapi, mereka memiliki kemampuan dan kekuasaan
yang terkadang melebihi kekuasaan pemerintah setempat. Apalagi kalau
mendapatkan dukungan dari oknum-oknum tertentu yang juga sama-sama meraup
keuntungan dari premanisme ini.
Sering
sekali kita harus menerima kekalahan ketika berurusan dengan preman.
Tapi,
menjadi preman juga tidak mudah. Mereka juga selalu harus siap berhadapan
dengan preman lainnya. Terkadang mesti mempertaruhkan nyawa untuk itu.
Tidak
semua juga ‘jahat’. Ada melakukan pekerjaannya dengan cara-cara yang
bermartabat. Ada yang menjaga kompleks perumahan, pertokoan, tempat hiburan, parkir
dan lainnya. Mereka ini mendapatkan uang bukan dari hasil memeras, tapi dari
hasil bekerja yang mengeluarkan keringat.
Saya
punya sahabat yang dulunya berkecimpung di dunia preman. Baginya, memeras orang
itu pekerjaan yang menjijikan. Uang yang didapatkan mesti dengan ukuran kerja
yang jelas. Saat dia menjadi sekretaris ranting sebuah ormas, dia punya program
untuk mengasuransikan seluruh anggotanya dari uang yang berasal dari iuran
keamanan toko-toko yang mereka jaga.
Disinilah
negara (terutama pemerintah dan pemerintah daerah) mestinya memainkan perannya
dengan tepat. Untuk segala bentuk kejahatan dan gangguan yang merugikan
masyarakat banyak, negara tidak boleh kalah dan berkompromi apalagi manarik
keuntungan dari sana. Jika negara saja yang dilengkapi dengan komponen kekuasaan,
kalah, apalagi masyarakat.
Tapi,
pada konteks pemberdayaan, pemerintah perlu memberikan dukungan yang memadai,
melatih mereka dengan keahlian khusus dan memastikan kehadiran mereka bukan
ancaman bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Memang
ini seperti lingkaran setan yang sulit dipecahkan, ditambah lagi banyak setan
yang melingkar-lingkar di sana.
Btw,
saya juga pernah memposting tulisan Alm Prof. Satjipto Rahardjo yang berjudul “Demokrasi
atau Bangkitnya Preman”
Begitulah...
Note:
fotonya saya skrinsyut dari berita CNN
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20171108064640-20-254227/curhat-pedagang-tanah-abang-diminta-uang-lapak/
No comments:
Post a Comment