Kalian sudah
familier Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bukan? Harusnya sudah:)
Mengapa?
Karena lembaga ini berisi orang-orang yang dipilih langsung oleh masyarakat
daerah untuk mewakili kepentingan daerahnya dan mereka bukan perwakilan partai.
Mereka datang ke gedung dewan sebagai individu yang dipilih tanpa embel-embel
kelembagaan. Jadi benar-benar mewakili masyarakat di daerahnya.
Jika anggota
DPR bertarung di Pileg di bawah bendera partai, para anggota DPD berjuang untuk
dan atas nama dirinya sendiri. Jadi perjuangan anggota DPD sebenarnya relatif
lebih berat dari pada anggota DPR RI.
Bagaimana
tidak, Daerah Pemilihan (dapil) anggota DPR RI paling hanya beberapa
kabupaten/kota saja. Sedangkan DPD, seluruh kabupaten/kota, kecamatan, desa, lurah,
RT, RW atau dusun di provinsi kalian adalah Dapil mereka. Terbayangkan lelahnya
perjuangan mereka. Karena perjuangan mereka yang luar biasa itu, tentu saja
tingkat kedewasaan dan kesabaran mereka demi memajukan daerah tidak perlu
dipertanyakan lagi.
Nah,
pertanyaannya, setelah berjuang demikian berat untuk duduk di parlemen, lantas
mereka sudah melakukan apa?
Saya harus
mohon maaf, karena tidak banyak informasi yang saya tahu mengenai apa saja yang
sudah dikerjakan DPD sebagai lembaga. Kalau terbatas individu anggota DPD di
daerah saya, pernah juga beberapa kali saya baca aktivitas mereka di media. Saya
yakin pasti ada yang sudah dikerjakan mereka. Ngak mungkin donk mereka
ongkang-ongkang kaki saja di kantor lalu menerima gaji. Kalian mungkin lebih banyak
tahu.
Idealnya,
dengan dua lembaga di Parlemen, DPD dan DPR RI yang mewakili daerah kita,
mestinya daerah-daerah perkembangannya bisa lebih meroket. Tentunya jika para
anggota DPD dan DPR RI itu fokus untuk memajukan dapilnya masing-masing dan
tidak berkutat pada kontestasi politik saja.
Seminggu ini
dua kali saya melihat berita yang cukup memprihatikan tentang DPD. Pertama, di salah tv swasta, kebetulan
saya melihat salah seorang wakil ketua MPR dari DPD sedang berdebat (baca:
bertengkar) dengan salah satu pakar hukum tata negara. Perdebatan itu tidak
saya ikuti dari semula, tapi kelihatannya terkait status kepemimpinan DPD dan
adanya anggota DPD yang menjadi anggota bahkan ketua Parpol.
Loh, katanya
DPD bukan utusan partai, kok ada anggota DPD yang menjadi anggota bahkan
pimpinan partai? Apa donk istimewanya DPD jika mereka bagian dari Parpol juga?
Kalau mau dari parpol kan ada DPR RI? Bagaimana dengan konflik kepentingannya? Saya
sama herannya dengan pakar tata negara itu.
Kalau saya
ditanya, jelas saya tidak setuju. Sama tidak setujunya dengan ide di DPR yang
ingin menjadikan perwakilan partai sebagai komisioner KPU dan Bawaslu. Tapi,
yah, terserah bapak/ibu itu saja lah. Saya setuju dengan pakar tata negara yang
menutup argumennya dengan kalimat “waktu akan membuktikan siapa yang benar,
apakah anggota DPD dari parpol akan memajukan atau malah memundurkan DPD kita”.
Hehehe
kelihatannya saya apatis dan pesimis ya. Memang. Apa gunanya berargumen
berkepanjangan kalau kerja-kerja kita tidak bisa dirasakan?
Kedua, ngak sengaja juga nih - jadi
bukan sengaja nyari-yari berita ya:) – saya melihat berita soal ricuhnya sidang
di DPD. Lalu jadi penasaran, saya telusuri di Medos, ketemu banyak postingan
video kericuhan itu. Problemnya sama, masalah kepemimpinan juga. O, alah. Kok
bisa.
Ternyata
pokok pangkal kegaduhan itu dari adanya putusan MA yang membuat kepemimpinan DPD
sekarang tidak sah dan sebagian anggota DPD menolak rapat dipimpin oleh mereka
yang dianggap sudah tidak sah itu. Meski demikian, tidak bisakah DPD
bermusyawarah secara baik-baik saja? Bukankah semestinya tingkat kedewasaan dan
kesabaran mereka mampuni? Apalagi mereka adalah individu-individu yang mewakili
kepentingan daerah, bukan kepentingan kelompok-kelompok. Bagaimana mereka akan
berjuang untuk daerah secara serius, kalau masalah internal seperti itu tidak
dapat mereka selesaikan dengan baik?
Saya
sebenarnya prihatin dengan DPD ini. Bukan karena wacana integrasi anggota
partai di DPD dan kericuhan masalah kepemimpinan ini ya. Tapi saya prihatin
dengan kewenangan yang mereka miliki. Mereka punya “hambatan konstitusional”
untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi mereka. Makanya, usulan amandemen UUD 1945
untuk memperkuat kewenangan DPD ini dapat saya maklumi. Meski berjuang lebih
berat, ternyata kewenangan yang mereka punya sangat terbatas. Mestinya inilah
fokus mereka. Kalau mereka malah fokus dan menghabiskan energi untuk eksistensi
individual, saya kecewa juga. Kampayenya kemaren pasti ada janji melakukan yang
terbaik untuk daerah. Tapi, ya sudah lah.
Kelihatannya
kita perlu juga mengalihkan mata ke lembaga legislatif. Mungkin karena kita
kurang memperhatikan mereka dan terlalu fokus ke eksekutif, jadinya mereka
berwacana sendiri dan bertengkar sendiri. Kita cek juga sekali-sekali kinerja
mereka, capaian prestasi mereka dan manfaat yang sudah terdistribusi sesuai
tupoksinya mereka. Setujukan saudara-sauadara, hehehe.
No comments:
Post a Comment