Oleh:
Arief Wahyudi
Pulang
kampung (Pulkam) dan mudik itu sama tapi tidak serupa. Konsepsi ini bukan pada arti
harfiah dari sebuah istilah, tapi pada konteks sosial yang melatar belakangi istilah
itu digunakan. Dan, pembahasan ini sifatnya Indonesia banget karena ini berkaitan
dengan tradisi di Indonesia.
Kesamaan
Pulkam dan mudik itu adalah pada sama-sama berarti kembali ke kampung halaman,
yakni, kelompok urban (perantau) kembali ke daerah asalnya. Contoh, jika saya
pulang ke rumah ibu saya di kampung, itu bisa disebut pulang kampung atau
mudik.
Bedanya,
pada konteks sosial yang melatar belakanginya dan konteks sosial itu kemudian
menjadi dasar pengambilan kebijakan publik. Yang disebut pulkam itu bisa
terjadi kapan saja akan tetapi mudik memiliki momentum waktu dan ekskalasi. Jadi
tidak semua aktifitas kembali ke kampung halaman itu disebut mudik pada konteks
sosial kita sehingga kebijakan pemerintah untuk meresponnya juga berbeda.
Contohnya
begini: jika saya kembali ke kampung saya pada masa libur anak sekolah, dalam konteks
sosial kita itu disebut ‘sekedar’ pulang kampung, bukan mudik. Itu sifatnya
personal, saya dan keluarga saya saja dan bukan tradisi bersama, sehingga ekskalasinya
tidak tinggi. Tidak dalam bentuk gerakan massal kelompok urban meninggalkan
kota. Sehingga tidak ada kebijakan khusus dari pemerintah untuk fenomena ini. Tidak
ada angkutan khusus pulkam. Tidak ada rekayasa lalu lintas untuk kepentingan
pulkam serta tidak ada tuslah dan sebagainya.
Berbeda
jika saya pulang kampung pada libur besar seperti libur hari raya Idul Fitri, meski
pulang kampung juga, tapi bukan sekedar pulang kampung. Pada konteks sosial
kita inilah yang disebut ‘mudik’. Ada latar tradisi yang memunculkan semacam
kewajiban bagi masyarakat perantauan untuk kembali ke kampung halamannya
sehingga ekskalasinya menjadi tinggi. Sifatnya berupa gerakan masal kelompok
urban meninggalkan kota domisili. Kota besar yang biasanya ramai, bisa mendadak
sunyi. Titik-titik kemacetan berpindah, dari biasanya di dalam kota menjadi di
wilayah-wilayah perlintasan arus kembali ke kampung halaman tadi itu.
Karena
ekskalasinya yang tinggi itu, makanya muncul kebijakan-kebijakan khusus untuk
mudik seperti panambahan jumlah armada transportasi, rekayasa lalu lintas, sampai
kegiatan-kegiatan mudik bareng yang difasilitasi baik oleh pemerintah maupun
BUMN dan perusahaan swasta lainnya serta ormas-ormas. Tidak pernah kita dengar
operasi pulpen dilakukan oleh polisi saat musim libur sekolah seperti operasi
ketupat yang dilakukan untuk melancarkan arus mudik. Tidak ada juga posko mudik
libur sekolah di gelar dijalan-jalan seperti posko mudik lebaran
Dengan
demikian meski sama-sama berarti kembali ke kampung, tapi pada konteks sosial
dan kebijakan untuk meresponnya, tidak sama antara pulkam dengan mudik. Jadi,
kalau dilarang mudik, yang dilarang itu bukan hanya aktivitas individu pulang
kampung saja, tapi juga seluruh aktivitas yang memfasilitasi kegiatan mudik
tersebut. Misalnya, karena larangan mudik, tahun ini tidak akan ada BUMN dan perusahaan
swasta yang membuat kegiatan untuk memfasilitasi mudik gratis. Tidak akan penambahan
bus-bus berstiker “angkutan khusus lebaran”.
Nah,
dalam kaitannya dengan Covid-19, memang muncul kerancuan. Pada konteks ini yang
dilarang itu adalah interaksi fisik secara langsung untuk mencegah penyebaran
virus Carona nya atau Physikal Distancing. Pelarangan mudik bagian dari usaha ini
karena dikhawatirkan akan memperluas penyebaran virus. Persoalannya, orang yang
pulang kampung tidak pada momentum mudik pun punya potensi yang sama meski potensinya
mungkin tidak sebesar momen mudik. Tapi, bagaimana cara malarang orang pulang
kampung? Bagi yang tak peduli Physikal Distancing, tak ada mobil, naik sepeda
pun jadi.
Mungkin
inilah sebabnya pemerintah bisa tegas melarang mudik tapi tidak bisa tegas melarang
orang pulang kampung. Larangan mudik bisa efektif karena negara bisa mengontrol
fasilitasisasinya tapi pulang kampung akan sangat sulit dikontrol apalagi jika
menggunakan kendaraan pribadi. Mungkin ini juga sebabnya model pendekatan yang
digunakan untuk mudik berupa larangan tegas sedangkan untuk pulang kampung berupa
himbauan. Dengan adanya larangan ini, tentunya yang memfasilitasi mudik akan
diberikan sanksi oleh pemerintah, sedangkan yang pulang kampuang dihimbau untuk
tidak pulang kampung dulu.
Saya
sendiri tidak ikut mudik ke kampung halaman saya tahun ini, tapi Insya Allah
akan pulang kampung setelah Covid-19 tidak lagi menjadi ancaman. Bagaimanapun saya
merindukan Alm Ayah, ibu dan keluarga saya.
Sebagai
masukan untuk pemerintah, meski jika ditelaah dengan baik bisa dipahami
pemaknaan istilah-istilah yang digunakan, tapi mungkin penggunaan istilah di
ruang publik terutama terkait dengan kebijakan pemeritah perlu dipilih secara
selektif. Mengapa? Karena bisa memunculkan beragam persepsi dan menambah dosa pengejek.
Jadi, pejabat pemeritahan perlu hati-hati dalam menggunakan istilah agar tidak
menjadi bahan kegaduhan.
Loh,
kok bisa menambah dosa pengejek? Iya, donk. Pengejek ini, meski paham lidah
yang buruk adalah sumber dosa, tapi hobinya memang mengejek, menertawakan,
bahkan menghina dan mencaci. Mereka bahkan bisa mentertawakan orang lain dengan
sesuatu yang dia sendiri tidak paham benar. Tidak ada yang lucu saja bisa
dijadikan bahan mengejek, apalagi ada yang bisa dijadikan lucu-lucuan, makin
dahsyat.
Kasihan
para tukang ejek ini, ibadahnya tidak bernilai karena pahalanya bisa hilang setiap
kali dia mengejek orang lain. Lama-lama mereka bisa bangkrut dan malah minus pahala.
Para tukang ejek ini juga perlu diselamatkan.
Mudik dan Pulkam memiliki makna yang sama pak, yakni sama-sama pulang ke kampung halaman maknanya. Memang benar mudik memiliki latar bekalang yang berbeda dengan pulkam. Kalaulah mudik yang melatarbelakangi ya dengan kejadian budaya nasional yakni tridisi pulang kampung disaat lebaran atau acara besar.. tapi untuk membedakan isitilah mudik dengan pulkam ini merupakan sebuah kerancuan untuk dijadikan sebuah dasar kebijakan PSSB bagi petugas lapangan dan Masyarakat pak. Karena otomatis masyarakat akan tetap pulang ke kampung halaman dalam situasi seperti ini. Dan tentu dengan alasan pulkam bukan alasan mudik.
ReplyDeleteJadi pertanyaan saya apakah cocok seorang pemimpin membedakan dua istilah yang memiliki makna yang sama dan dijadikan perbedaan dua istilah ini swbagi dasar untuk membuat kebijakan ?
Karena itu saya sarankan pejabat pemerintah agar berhati-hati dalam menggunakan istilah. Ada yang bisa memahami dan ada yang tidak.
DeleteBukan kepala negara yang mengatakan bahwasanya mudik dilarang dan Pulkam tidak dilarang?
DeleteYang membuat kegaduan isitilah dan menjadikannya sebuah dasar kebijakan adalah pusat pak, kenapa bapak tidak mengingatkan pusat harus berhati-hati menggunakan istilah ?
Karena mereka masyarakat jadi bingung dibuatnya.
Bukannya saya sudah mengingatkan itu di tulisan di atas? Sudah dibaca?
ReplyDelete