Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Thursday, April 23, 2020

PULKAM DAN MUDIK


Oleh: Arief Wahyudi

Pulang kampung (Pulkam) dan mudik itu sama tapi tidak serupa. Konsepsi ini bukan pada arti harfiah dari sebuah istilah, tapi pada konteks sosial yang melatar belakangi istilah itu digunakan. Dan, pembahasan ini sifatnya Indonesia banget karena ini berkaitan dengan tradisi di Indonesia.

Kesamaan Pulkam dan mudik itu adalah pada sama-sama berarti kembali ke kampung halaman, yakni, kelompok urban (perantau) kembali ke daerah asalnya. Contoh, jika saya pulang ke rumah ibu saya di kampung, itu bisa disebut pulang kampung atau mudik.



Bedanya, pada konteks sosial yang melatar belakanginya dan konteks sosial itu kemudian menjadi dasar pengambilan kebijakan publik. Yang disebut pulkam itu bisa terjadi kapan saja akan tetapi mudik memiliki momentum waktu dan ekskalasi. Jadi tidak semua aktifitas kembali ke kampung halaman itu disebut mudik pada konteks sosial kita sehingga kebijakan pemerintah untuk meresponnya juga berbeda.

Contohnya begini: jika saya kembali ke kampung saya pada masa libur anak sekolah, dalam konteks sosial kita itu disebut ‘sekedar’ pulang kampung, bukan mudik. Itu sifatnya personal, saya dan keluarga saya saja dan bukan tradisi bersama, sehingga ekskalasinya tidak tinggi. Tidak dalam bentuk gerakan massal kelompok urban meninggalkan kota. Sehingga tidak ada kebijakan khusus dari pemerintah untuk fenomena ini. Tidak ada angkutan khusus pulkam. Tidak ada rekayasa lalu lintas untuk kepentingan pulkam serta tidak ada tuslah dan sebagainya.     

Berbeda jika saya pulang kampung pada libur besar seperti libur hari raya Idul Fitri, meski pulang kampung juga, tapi bukan sekedar pulang kampung. Pada konteks sosial kita inilah yang disebut ‘mudik’. Ada latar tradisi yang memunculkan semacam kewajiban bagi masyarakat perantauan untuk kembali ke kampung halamannya sehingga ekskalasinya menjadi tinggi. Sifatnya berupa gerakan masal kelompok urban meninggalkan kota domisili. Kota besar yang biasanya ramai, bisa mendadak sunyi. Titik-titik kemacetan berpindah, dari biasanya di dalam kota menjadi di wilayah-wilayah perlintasan arus kembali ke kampung halaman tadi itu.



Karena ekskalasinya yang tinggi itu, makanya muncul kebijakan-kebijakan khusus untuk mudik seperti panambahan jumlah armada transportasi, rekayasa lalu lintas, sampai kegiatan-kegiatan mudik bareng yang difasilitasi baik oleh pemerintah maupun BUMN dan perusahaan swasta lainnya serta ormas-ormas. Tidak pernah kita dengar operasi pulpen dilakukan oleh polisi saat musim libur sekolah seperti operasi ketupat yang dilakukan untuk melancarkan arus mudik. Tidak ada juga posko mudik libur sekolah di gelar dijalan-jalan seperti posko mudik lebaran

Dengan demikian meski sama-sama berarti kembali ke kampung, tapi pada konteks sosial dan kebijakan untuk meresponnya, tidak sama antara pulkam dengan mudik. Jadi, kalau dilarang mudik, yang dilarang itu bukan hanya aktivitas individu pulang kampung saja, tapi juga seluruh aktivitas yang memfasilitasi kegiatan mudik tersebut. Misalnya, karena larangan mudik, tahun ini tidak akan ada BUMN dan perusahaan swasta yang membuat kegiatan untuk memfasilitasi mudik gratis. Tidak akan penambahan bus-bus berstiker “angkutan khusus lebaran”.



Nah, dalam kaitannya dengan Covid-19, memang muncul kerancuan. Pada konteks ini yang dilarang itu adalah interaksi fisik secara langsung untuk mencegah penyebaran virus Carona nya atau Physikal Distancing. Pelarangan mudik bagian dari usaha ini karena dikhawatirkan akan memperluas penyebaran virus. Persoalannya, orang yang pulang kampung tidak pada momentum mudik pun punya potensi yang sama meski potensinya mungkin tidak sebesar momen mudik. Tapi, bagaimana cara malarang orang pulang kampung? Bagi yang tak peduli Physikal Distancing, tak ada mobil, naik sepeda pun jadi.

Mungkin inilah sebabnya pemerintah bisa tegas melarang mudik tapi tidak bisa tegas melarang orang pulang kampung. Larangan mudik bisa efektif karena negara bisa mengontrol fasilitasisasinya tapi pulang kampung akan sangat sulit dikontrol apalagi jika menggunakan kendaraan pribadi. Mungkin ini juga sebabnya model pendekatan yang digunakan untuk mudik berupa larangan tegas sedangkan untuk pulang kampung berupa himbauan. Dengan adanya larangan ini, tentunya yang memfasilitasi mudik akan diberikan sanksi oleh pemerintah, sedangkan yang pulang kampuang dihimbau untuk tidak pulang kampung dulu.  

Saya sendiri tidak ikut mudik ke kampung halaman saya tahun ini, tapi Insya Allah akan pulang kampung setelah Covid-19 tidak lagi menjadi ancaman. Bagaimanapun saya merindukan Alm Ayah, ibu dan keluarga saya.



Sebagai masukan untuk pemerintah, meski jika ditelaah dengan baik bisa dipahami pemaknaan istilah-istilah yang digunakan, tapi mungkin penggunaan istilah di ruang publik terutama terkait dengan kebijakan pemeritah perlu dipilih secara selektif. Mengapa? Karena bisa memunculkan beragam persepsi dan menambah dosa pengejek. Jadi, pejabat pemeritahan perlu hati-hati dalam menggunakan istilah agar tidak menjadi bahan kegaduhan.

Loh, kok bisa menambah dosa pengejek? Iya, donk. Pengejek ini, meski paham lidah yang buruk adalah sumber dosa, tapi hobinya memang mengejek, menertawakan, bahkan menghina dan mencaci. Mereka bahkan bisa mentertawakan orang lain dengan sesuatu yang dia sendiri tidak paham benar. Tidak ada yang lucu saja bisa dijadikan bahan mengejek, apalagi ada yang bisa dijadikan lucu-lucuan, makin dahsyat.

Kasihan para tukang ejek ini, ibadahnya tidak bernilai karena pahalanya bisa hilang setiap kali dia mengejek orang lain. Lama-lama mereka bisa bangkrut dan malah minus pahala. Para tukang ejek ini juga perlu diselamatkan.

Begitulah…

4 comments:

  1. Mudik dan Pulkam memiliki makna yang sama pak, yakni sama-sama pulang ke kampung halaman maknanya. Memang benar mudik memiliki latar bekalang yang berbeda dengan pulkam. Kalaulah mudik yang melatarbelakangi ya dengan kejadian budaya nasional yakni tridisi pulang kampung disaat lebaran atau acara besar.. tapi untuk membedakan isitilah mudik dengan pulkam ini merupakan sebuah kerancuan untuk dijadikan sebuah dasar kebijakan PSSB bagi petugas lapangan dan Masyarakat pak. Karena otomatis masyarakat akan tetap pulang ke kampung halaman dalam situasi seperti ini. Dan tentu dengan alasan pulkam bukan alasan mudik.

    Jadi pertanyaan saya apakah cocok seorang pemimpin membedakan dua istilah yang memiliki makna yang sama dan dijadikan perbedaan dua istilah ini swbagi dasar untuk membuat kebijakan ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena itu saya sarankan pejabat pemerintah agar berhati-hati dalam menggunakan istilah. Ada yang bisa memahami dan ada yang tidak.

      Delete
    2. Bukan kepala negara yang mengatakan bahwasanya mudik dilarang dan Pulkam tidak dilarang?

      Yang membuat kegaduan isitilah dan menjadikannya sebuah dasar kebijakan adalah pusat pak, kenapa bapak tidak mengingatkan pusat harus berhati-hati menggunakan istilah ?

      Karena mereka masyarakat jadi bingung dibuatnya.

      Delete
  2. Bukannya saya sudah mengingatkan itu di tulisan di atas? Sudah dibaca?

    ReplyDelete