Lagi-lagi aku dikirimkan
link berita tentang Mohamed Salah oleh seorang sahabat yang barang-barang
pribadinya (jaket, helm, bantal di mobil, dasi) berlogo klub sepak bola Liverpool.
Dan, lagi-lagi berita itu membuatku terkagum-kagum dengan M. Salah ini.
Kali ini beritanya tentang
rumah M. Salah yang dimasuki maling, lalu barang-barang di rumah itu di ambil si
pencuri dan Salah memaafkannya, membebaskannya dari hukuman penjara, memberinya
uang dan memberikan pekerjaan agar kehidupan si maling berubah. Gambar yang
digunakan pada tulisan ku skrinsyut dari berita itu dan beritanya silahkan baca
di sini.
Luar biasa. Dan, aku kagum. Dia
benar-benar muslim sejati dan aku menjadi malu pada diriku sendiri.
Aku mengaguminya tapi tidak
mengkhultuskannya. Dia juga manusia seperti ku yang tak sempurna serta tidak
disucikan hatinya seperti Allah SWT mensucikan hati kekasih-Nya, Rasulullah SAW.
Tapi di banding diriku, jelas M. Salah lebih berhasil mengaktifkan imajinasinya
dalam memaknai kitab suci yang ku (mungkin juga M. Salah) yakini sebagai wahyu
Ilahi, bukan fiksi. Karena itu aku mengagguminya, karena dia lebih baik dan
jauh lebih baik dibanding diriku.
Lalu aku terbayang
peristiwa-peristiwa di negeri ku yang beritanya melintas melalui medsos di
smartphone ku. Tentang orang miskin kelaparan yang tinggal dibelakang rumah
orang kaya yang bermegah-megah. Tentang orang yang belum tentu pencuri tetapi
dihajar sampai mati di depan rumah tempat berkhitmad kepada Allah SWT. Tentang dana
untuk mencetak dan penyebarluasan kitab suci lalu dikorupsi untuk kepentingan
pribadi. Tentang tipu menipu kepada orang-orang yang berhasrat pergi ibadah ke
tanah suci yang uangnya di gunakan untuk selfi-selfi di lain negeri. Tentang sandi-sandi
dalam korupsi yang menggunakan istilah-istilah kitab suci. Tentang brutalnya
orang-orang di jalan raya karena mau seenaknya saja dan tidak mau saling
mengalah. Tentang anak yang menggugat dan meminta hukuman untuk orang tuanya. Tentang
pejabat-pejabat yang menyelewengkan amanah meski disumpah di bawah kitab suci.
Aku juga teringat
berita-berita tentang orang-orang yang saling fitnah, saling maki, saling caci,
saling hina, saling menyakiti, bahkan saling membunuh karena merasa berhak
untuk lebih ‘suci’ dan lebih pintar dibadingkan orang lain hanya karena aktifnya
imajinasi menghasilkan tafsir yang berbeda terhadap kitab suci. Aku juga
teringat tentang ambigunya narasi-narasi para petinggi yang membuat kabur makna
antara agama menjadi roh politik atau politik yang menjadi rohnya agama. Juga teringat
tentang gemarnya orang-orang mengkomsumsi narkoba dan meyerahkan nyawa sia-sia dibawah
kendali miras oplosan. Teringat juga tentang anak-anak muda yang bertelanjang
di depan kamera lalu melakukan perbuatan asusila dan menyebarluas rekamannya
kemana-mana. Aku juga teringat dengan idiom-idiom dungu, idiot, brengsek,
tolol, bego, laknat, bangsat, keparat, yang dipopulerkan dalam wacana-wacana
dan diikuti oleh mereka-mereka yang mengemarinya. Dan banyak lagi yang melintas
diingatan ku.
Lalu, membaca berita tentang
M. Salah yang memaafkan dan membantu pencuri membuat ku merenung. Ada apa dengan
kita? Kita muslim sejatikah atau kemusliman kita hanyalah fiksi? Ini adalah
soal tabiat, bukan soal yang lain.
Lagi-lagi salah memberikan
ku pelajaran yang berharga. Dia tidak berkoar-koar tentang kebenarannya. Tidak juga
menilai orang lain dengan ukuran dirinya sendiri apalagi merendahkan orang lain.
Dia hanya bermain bola sebaik-baiknya dan berprestasi di sana. Dalam prestasinya
itu dia tidak malu bersujud di tanah becek lapangan bola sebagai rasa syukurnya
kepada Sang Pencipta untuk setiap gol yang berhasil dimasukannya. Dia tidak menyembunyikan
keyakinan serta tak menghilangkan rasa hormat dan kecintaannya kepada
Rasulullah, sehingga malalui dirinya terpancar kemuliaan ajaran agama. Tak berlaku
istilah Islamophobia untuk M. Salah karena dia adalah prestasi yang patut
dihargai. Sungguh luar biasa caranya berdakwah.
Tapi ku yakin negeri ku tak
seburuk berita-berita yang melintas di medsos ku. Seorang tokoh senior pernah
menasehati saat aku berkeluh kesah tentang fenomena-fenomena. Beliau bilang, “percayalah,
itu hanya kepingan-kepingan kecil yang terlihat besar di media”. Aku percaya
nasehat itu, karena aku memang melihat banyak sekali orang-orang baik di
sekitar ku.
Maha Besar Allah SWT yang menunjukan
tanda-tanda kebesaran-Nya agar orang-orang berakal bisa belajar dari sana.
No comments:
Post a Comment