Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Thursday, April 26, 2018

BICARA POLITIK DI MASJID? SO WHAT GITU LOH


https://nsghtphotography.deviantart.com/art/mesjid-raya-I-110525203


Bagi saya, bicara politik di mesjid atau di rumah-rumah ibadah agama lainnya, sah-sah saja.

Bagaimana caranya mengontrol apa yang akan dibicarakan orang?


Begitu juga kalau ada masyarakat yang berpredikat ulama, kiyai, ustad, pendeta dan pemuka agama lainnya berbicara tentang politik. Itu juga sah-sah saja, karena beliau semua adalah warga negara yang memiliki hak politik. Tidak ada yang aneh dengan itu. Tidak fair, karena predikatnya itu lalu hak dan partisipasi politiknya ditiadakan.



Malah, menurut saya, debat tentang memisahkan agama dari politik atau menyatukan agama dengan politik di Indonesia bukanlah hal yang relevan dan perlu dibicarakan. Mengapa, karena setiap orang yang berpolitik di Indonesia, adalah orang yang beragama. Minimal di KTP nya tercatum agama yang dianutnya. Soal kualitas ber-agamanya tergantung personaliti masing-masing.

Waktu mendengar bahwa ada pembicaraan terkait politik di mesjid, saya langsung mikir, so what gitu loh.

Bagi saya itu biasa saja. Kalau bukan di mesjid, dimana lagi nilai-nilai keimanan bagi umat muslim akan mewarnai kegiatan politik umatnya. Begitu juga dengan ulama, kiyai, ustad yang berbicara politik. Kalau mereka tidak melek politik, lalu bagaimana mereka akan mengingatkan umat tentang konsep keimanan untuk mewarnai aktivitas politik?

konteks yang sama juga berlaku untuk rumah ibadah-rumah ibadah dan pemuka-pemuka agama lainnya.



Lalu masalahnya apa?

Sepanjang yang bisa diperhatikan, titik perdebatannya adalah apakah nilai-nilai agama dijunjung tinggi dalam berpolitik atau agama itu yang dijadikan anak tangga politik?

Begitu juga dalam urusan dukung mendukung kandidat. Apakah kandidat yang akan dipilih itu karena semata-mata agamanya, atau kandidat tersebut adalah orang yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan dan dia beragama?

Masalah yang lain adalah apakah masjid akan menjadi pusat dari rule of games politik atau malah menjadi posko pemenangan kandidat atau partai tertentu?

Masalah berikutnya, jika mesjid mengakomodir kepentingan umat, dari kelompok-kelompok yang ada, kelompok yang mana yang akan diakamodir?



Dilematis Penggunaan Mesjid untuk kegiatan politik

Pertanyaan-pertanyaan di atas menunjukan dilematisnya posisi mesjid dalam urusan-urusan politik. Mengapa dilematis? karena pada satu sisi mesjid bisa berperan aktif dalam menentukan kualitas perpolitikan kita, pada sisi yang lain penggunaan mesjid untuk kepentingan politik justru berpotensi memunculkan dikatomi antar umat beragama bahkan dikatomi antar umat dalam agama yang sama.

Wujud yang populer dari dikatomi hari ini adalah pernyataan “mewakili suara umat” yang kemudian disambut dengan pertanyaan "umat yang mana?”. Rocky Gerung menyebutnya dengan “terjadi Duel Kesolehan” (tulisan saya tentang ini silahkan baca di sini)
Nah, inilah tantangannya bagi lembaga keagamaan, termasuk mesjid, pada keterlibatannya dalam urusan politik. Yakni, bisa atau tidak mesjid menjadi semacam quality control untuk politik yang berkualitas atau malah terjebak menjadi kelompok partisipan kepentingan politik tertentu.

Menurut saya, pada kondisi yang ideal, mesjid lah tumpuan umat muslim di Indonesia untuk menghasilkan aktivitas politik yang berkualitas. Ulama, kiyai, ustad memang harus berbicara politik untuk menjernihkan suasana, bukan untuk memburamkan suasana.

Tentu saja sebagai individu, para ulama, kiyai, ustad dan segenap pengurus Mesjid memiliki hak politik dan karena itu akan ada keberpihakan karena hak politik itu mesti disalurkan pada salah satu pilihan politik. Tapi penyaluran hak dan keperihakan itu mesti dilakukan secara professional melalui saluran-saluran yang tepat. Kalau ada jemaah yang mengikuti pilihan politik para ulama, kiyai dan ustad, itu adalah haknya masing-masing. Kalau ada yang tidak mengikuti itu juga haknya sebagai warga negara yang memiliki hak politik.



Ada beban dan tanggung jawab persatuan umat dan keutuhan bangsa serta negara yang melekat pada predikat ulama, kiyai, ustad. Bagi saya semua yang berpredikat ulama, kiyai, ustad adalah ulama, kiyai, ustad untuk semua umat muslim, bukan jemaahnya saja. Mengapa? karena mereka bertanggungjawab untuk menjadi jembatan bagi pengetahuan agama dan hubungan umat dengan Allah SWT sesuai ciri dan lingkup pengetahuan masing-masing. Kalau dikatomi justru dimulai dari mereka, tentu ini akan mengecewakan.

Mesjid juga begitu. Mesjid adalah tempat bagi semua umat muslim. tidak ada mesjid khusus untuk pendukung si A dan hanya yang mendukung si A yang boleh sholat dan mengikuti pengajian di sana atau mesjid khusus untuk pendukung si B dan hanya yang mendukung si B yang boleh sholat dan mengikuti pengajian di sana. Rasanya, pendirian mesjid tidak ditujukan untuk pengelompokan seperti itu.

Idealnya mesjid, ulama, kiyai dan ustad berperan sebagai quality control untuk politik yang berkualitas. Untuk kepentingan inilah mereka harus melek dan berbicara tentang politik, agar melalui mereka masyarakat dapat melihat keadaan apa adanya dengan basis informasi yang kredibel.

Jika mesjid, ulama, kiyai, ustad sudah turun tangan, mestinya, caci-maki, hina-menghina, saling-merendahkan, fitnah-memfitnah tidak ada lagi karena sudah dikontrol berbasiskan nilai-nilai keagamaan. Diskursus politiknya menjadi diskursus yang berbasis objektifitas. Kemudian pada tingkat yang lebih lanjut, korupsi, penyalahgunaan wewenang, kesewenang-wenangan, arogansi, dan penyimpangan prilaku lainnya bisa diminimalisir dengan peran aktif mesjid, ulama, kiyai dan ustad.



Ulama, kiyai dan ustad lah yang paling berkompeten untuk menginjeksikan nilai-nilai agama ke dalam kepala dan dada para pelaku politik dan mesjid sebagai wadahnya. Dengan demikian agama lah yang kemudian menjadi roh perpolitikan kita, bukan politik yang menjadi roh keber-agamaan kita. Dari aktivitas seperti inilah kita bisa berharap akan munculnya politisi-politisi yang menjunjung agama di atas kepalanya, bukan menjadikan agama sebagai anak tangga untuk pijakan kaki kekuasaannya. Agama itu bukan isu politik, tapi jalan menuju Allah SWT meski pada praktek, tafsirnya bisa berbeda-beda.

Jadi, untuk tujuan yang ideal ini, jika di mesjid orang berbicara politik, so what gitu loh.

Begitulah…

NOTE: Foto Mesjid yang saya gunakan hanyalah untuk ilustrasi tulisan ini dan tidak berkaitan dengan materi tulisan. Saya menggunakannya karena suka mesjidnya sebagai mesjid bersejarah di kota saya dan saya suka fotonya. Fotonya bukan hak cipta saya, karena saya ambil dari sini https://nsghtphotography.deviantart.com/art/mesjid-raya-I-110525203.

No comments:

Post a Comment