Bagi saya, bicara politik di
mesjid atau di rumah-rumah ibadah agama lainnya, sah-sah saja.
Bagaimana caranya mengontrol
apa yang akan dibicarakan orang?
Begitu juga kalau ada masyarakat
yang berpredikat ulama, kiyai, ustad, pendeta dan pemuka agama lainnya
berbicara tentang politik. Itu juga sah-sah saja, karena beliau semua adalah
warga negara yang memiliki hak politik. Tidak ada yang aneh dengan itu. Tidak
fair, karena predikatnya itu lalu hak dan partisipasi politiknya ditiadakan.
Malah, menurut saya, debat tentang
memisahkan agama dari politik atau menyatukan agama dengan politik di Indonesia
bukanlah hal yang relevan dan perlu dibicarakan. Mengapa, karena setiap orang
yang berpolitik di Indonesia, adalah orang yang beragama. Minimal di KTP nya
tercatum agama yang dianutnya. Soal kualitas ber-agamanya tergantung
personaliti masing-masing.
Waktu mendengar bahwa ada
pembicaraan terkait politik di mesjid, saya langsung mikir, so what gitu loh.
Bagi saya itu biasa saja. Kalau
bukan di mesjid, dimana lagi nilai-nilai keimanan bagi umat muslim akan
mewarnai kegiatan politik umatnya. Begitu juga dengan ulama, kiyai, ustad yang
berbicara politik. Kalau mereka tidak melek politik, lalu bagaimana mereka akan
mengingatkan umat tentang konsep keimanan untuk mewarnai aktivitas politik?
konteks yang sama juga
berlaku untuk rumah ibadah-rumah ibadah dan pemuka-pemuka agama lainnya.
Lalu masalahnya apa?
Sepanjang yang bisa
diperhatikan, titik perdebatannya adalah apakah nilai-nilai agama dijunjung
tinggi dalam berpolitik atau agama itu yang dijadikan anak tangga politik?
Begitu juga dalam urusan
dukung mendukung kandidat. Apakah kandidat yang akan dipilih itu karena
semata-mata agamanya, atau kandidat tersebut adalah orang yang memiliki
kompetensi yang dibutuhkan dan dia beragama?
Masalah yang lain adalah apakah
masjid akan menjadi pusat dari rule of
games politik atau malah menjadi posko pemenangan kandidat atau partai
tertentu?
Masalah berikutnya, jika
mesjid mengakomodir kepentingan umat, dari kelompok-kelompok yang ada, kelompok
yang mana yang akan diakamodir?
Dilematis Penggunaan Mesjid untuk kegiatan politik
Pertanyaan-pertanyaan di atas
menunjukan dilematisnya posisi mesjid dalam urusan-urusan politik. Mengapa
dilematis? karena pada satu sisi mesjid bisa berperan aktif dalam menentukan
kualitas perpolitikan kita, pada sisi yang lain penggunaan mesjid untuk
kepentingan politik justru berpotensi memunculkan dikatomi antar umat beragama bahkan
dikatomi antar umat dalam agama yang sama.
Wujud yang populer dari
dikatomi hari ini adalah pernyataan “mewakili suara umat” yang kemudian
disambut dengan pertanyaan "umat yang mana?”. Rocky Gerung menyebutnya dengan “terjadi
Duel Kesolehan” (tulisan saya tentang ini silahkan baca di sini)
Nah, inilah tantangannya
bagi lembaga keagamaan, termasuk mesjid, pada keterlibatannya dalam urusan
politik. Yakni, bisa atau tidak mesjid menjadi semacam quality control untuk politik yang berkualitas atau malah terjebak
menjadi kelompok partisipan kepentingan politik tertentu.
Menurut saya, pada kondisi
yang ideal, mesjid lah tumpuan umat muslim di Indonesia untuk menghasilkan aktivitas
politik yang berkualitas. Ulama, kiyai, ustad memang harus berbicara politik
untuk menjernihkan suasana, bukan untuk memburamkan suasana.
Tentu saja sebagai individu,
para ulama, kiyai, ustad dan segenap pengurus Mesjid memiliki hak politik dan
karena itu akan ada keberpihakan karena hak politik itu mesti disalurkan pada
salah satu pilihan politik. Tapi penyaluran hak dan keperihakan itu mesti
dilakukan secara professional melalui saluran-saluran yang tepat. Kalau ada jemaah
yang mengikuti pilihan politik para ulama, kiyai dan ustad, itu adalah haknya
masing-masing. Kalau ada yang tidak mengikuti itu juga haknya sebagai warga
negara yang memiliki hak politik.
Ada beban dan tanggung jawab
persatuan umat dan keutuhan bangsa serta negara yang melekat pada predikat ulama,
kiyai, ustad. Bagi saya semua yang berpredikat ulama, kiyai, ustad adalah ulama,
kiyai, ustad untuk semua umat muslim, bukan jemaahnya saja. Mengapa? karena
mereka bertanggungjawab untuk menjadi jembatan bagi pengetahuan agama dan
hubungan umat dengan Allah SWT sesuai ciri dan lingkup pengetahuan
masing-masing. Kalau dikatomi justru dimulai dari mereka, tentu ini akan
mengecewakan.
Mesjid juga begitu. Mesjid
adalah tempat bagi semua umat muslim. tidak ada mesjid khusus untuk pendukung
si A dan hanya yang mendukung si A yang boleh sholat dan mengikuti pengajian di
sana atau mesjid khusus untuk pendukung si B dan hanya yang mendukung si B yang
boleh sholat dan mengikuti pengajian di sana. Rasanya, pendirian mesjid tidak
ditujukan untuk pengelompokan seperti itu.
Idealnya mesjid, ulama,
kiyai dan ustad berperan sebagai quality
control untuk politik yang berkualitas. Untuk kepentingan inilah mereka harus
melek dan berbicara tentang politik, agar melalui mereka masyarakat dapat
melihat keadaan apa adanya dengan basis informasi yang kredibel.
Jika mesjid, ulama, kiyai,
ustad sudah turun tangan, mestinya, caci-maki, hina-menghina, saling-merendahkan,
fitnah-memfitnah tidak ada lagi karena sudah dikontrol berbasiskan nilai-nilai
keagamaan. Diskursus politiknya menjadi diskursus yang berbasis objektifitas. Kemudian
pada tingkat yang lebih lanjut, korupsi, penyalahgunaan wewenang,
kesewenang-wenangan, arogansi, dan penyimpangan prilaku lainnya bisa
diminimalisir dengan peran aktif mesjid, ulama, kiyai dan ustad.
Ulama, kiyai dan ustad lah
yang paling berkompeten untuk menginjeksikan nilai-nilai agama ke dalam kepala
dan dada para pelaku politik dan mesjid sebagai wadahnya. Dengan demikian agama
lah yang kemudian menjadi roh perpolitikan kita, bukan politik yang menjadi roh
keber-agamaan kita. Dari aktivitas seperti inilah kita bisa berharap akan munculnya
politisi-politisi yang menjunjung agama di atas kepalanya, bukan menjadikan
agama sebagai anak tangga untuk pijakan kaki kekuasaannya. Agama itu bukan isu politik, tapi jalan
menuju Allah SWT meski pada praktek, tafsirnya bisa berbeda-beda.
Jadi, untuk tujuan yang
ideal ini, jika di mesjid orang berbicara politik, so what gitu loh.
Begitulah…
No comments:
Post a Comment