Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Thursday, November 22, 2018

HAK POLITIK BAGI DISABILITAS MENTAL (BUKAN KONSOLIDASI ORANG GILA)

https://rfwahyudi.blogspot.com/

Oleh Arief Wahyudi


Tulisan ini ku buka dengan statement bahwa tidak ada yang salah dengan hak politik yang diberikan kepada penyandang disabilitas mental sepanjang sifat gangguan jiwa/ingatannya tidak permanen. Ini bukan konsolidasi orang gila, tapi memang sudah semestinya demikian.



Berikut penjelasannya:

Pertama:

Kita kadang suka telat dalam menghebohkan isu-isu. Mungkin karena isunya dilihat dari sisi kepentingan politik melulu maka hebohnya bergantung isu serta keadaan dan keberpihakan politik yang ada. Sekali-sekali kita perlu juga melihat pada konteks yang lain, misalnya konteks kewarganegaraan.

Banyak hal yang sebenarnya sudah berlangsung lama, tapi hebohnya baru belakangan. Misalnya soal isu surat edaran Kemenag yang berisi larangan azan, peraturannya sudah ada sejak tahun 1978 melalui Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam No. KEP/101/78, hanya disosialisasikan kembali tahun 2018 dan menjadi heboh seolah-olah peraturan itu baru ada tahun 2018. Uniknya, meski mengatur tentang pengeras suara di Mesjid, Mushola dan Langgar, sebenarnya sama sekali tidak ada larangan azan atau aturan mengenai suara speaker untuk azan dalam surat edaran itu. Bagaimana ceritanya bisa muncul isu ada aturan tentang larangan azan itu aku juga tak paham. Begini bunyi peraturannya yang terkait dengan Azan: “Dari tuntunan Nabi, suara Adzan sebagai tanda masuknya shalat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya TIDAK DAPAT DIPERDEBATKAN. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muadzin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu”.   

Begitu juga soal agama Yahudi yang diperbolehkan di Indonesia. Hebohnya baru belakangan, padahal memang tidak ada larangan bagi agama itu di Indonesia melalui UU No. 1/PNPS/1965. Jadi aturannya sudah ada sejak tahun 1965. Begini bunyi penjelasan Pasal 1 UU tersebut: “Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”.

Begitu juga soal isu hak politik penyandang disabilitas mental. Isu ini sudah didiskusikan setidaknya sejak Pilpres 2014. Bahkan, MK telah mengeluarkan keputusan No. 135/PUU-XIII/2015 yang menyatakan bahwa penyadang disabilitas mental (terganggu jiwa/ingatannya) memiliki hak politik sepanjang gangguan itu tidak permanen sifatnya. Konsideran putusannya ku jadikan foto background untuk tulisan ini. Jadi mestinya tidak perlu dihebohkan apalagi sampai latah mengatakan penyelenggara pemilu telah melanggar UU Pemilu segala. Justru mengeneralisasi semua orang yang mengalami disabilitas mental sebagai “orang gila” yang tidak memiliki hak politik sehingga tidak boleh menggunakan hak pilihnya adalah pelanggaran konstitusional terhadap hak politik penyandang disabilitas mental yang dijamin UUD NRI 1945 menurut putusan MK itu.



Kedua:

Pada dasarnya semua warga negara, baik yang baru berumur satu detik di dunia, penyandang disabilitas mental, maupun dalam keadaan lainnya memiliki hak politik dan berhak menggunakan hak pilihnya. Hanya saja, persoalannya adalah pada kemampuan untuk menggunakan hak itu secara wajar, berdasarkan keinginan sendiri dan penggertiannya terhadap tujuan dan sasaran hak pilihnya. Karena itulah diadakan pembatasan-pembatasan menurut kepatutan yang layak untuk dianggap adanya kemampuan menggunakan hak pilih secara wajar itu seperti pembatasan usia dan keadaan lainnya yang terkait dengan yang bersangkutan.

Keadaan lainnya itu misalnya, dicabutnya hak pilih oleh berdasarkan putusan pengadilan, profesi yang mengharuskan netralitas absolut (seperti TNI dan Polri). Penyandang disabilitas mental masuk kategori ini. Tapi berdasarkan putusan MK tersebut penyandang disabilitas mental yang dimaksud adalah orang yang gangguan jiwa/ingatannya bersifat permanen sehingga mempengaruhi kemampuannya menggunakan hak itu. Jadi tidak semua penyandang disabilitas mental bisa dinyatakan seperti yang banyak disebut di medsos sebagai “orang gila” yang tidak layak diberikan hak pilih.

Oleh karena itu pula, memberikan hak politik kepada penyandang disabilitas mental SEPANJANG GANGGUAN MENTAL ITU TIDAK BERSIFAT PERMANEN bukanlah sekedar urusan politik atau mengkonsolidasi “orang gila” untuk kemenangan politik. Tapi, mereka memang berhak untuk memilih, siapapun yang akan dipilihnya dalam kontestasi politik itu.  



Ketiga:

Memang akan merepotkan bagi petugas penyelenggara pemilu pada prakteknya karena harus melakukan semacam uji kemampuan memilih bagi penyandang disabilitas mental itu. Apalagi ketika berhadapan dengan stigmatisasi-stigmatisasi kepada pemilih yang bersangkutan. Tapi, kerepotan itu tidak boleh menghalangi warga negara menggunakan hak pilihnya dalam pemilu. Justru, KPU dan Bawaslu harus membuat terobosan agar penyandang disabilitas mental dapat menggunakan hak politik. Dengan alasan ini, langkah KPU dan Bawaslu membuka akses bagi penyandang disabilitas mental ini seharusnya diapresiasi, bukan diejek.

Itulah alasannya mengapa aku memulai tulisannya dengan statement bahwa tidak ada yang salah dengan hak politik yang diberikan kepada penyandang disabilitas mental sepanjang sifat gangguan jiwa/ingatannya tidak permanen.

Bagiku, yang miris pada isu ini bukan diakomodasinya hak politik bagi “orang gila” tapi ramainya orang-orang yang mengaku normal kemudian menunjukan “kegilaannya” di medsos dengan mencerca diakomodirnya hak politik penyandang disabilitas mental disana-sini hanya karena dia, yang mencerca itu, memiliki ingatan berjangka pendek atau ketidaktahuan.

Begitulah…

No comments:

Post a Comment