Oleh Arief Wahyudi
Tulisan
ini ku buka dengan statement bahwa tidak ada yang salah dengan hak politik yang
diberikan kepada penyandang disabilitas mental sepanjang sifat gangguan
jiwa/ingatannya tidak permanen. Ini bukan konsolidasi orang gila, tapi memang
sudah semestinya demikian.
Berikut
penjelasannya:
Pertama:
Kita
kadang suka telat dalam menghebohkan isu-isu. Mungkin karena isunya dilihat
dari sisi kepentingan politik melulu maka hebohnya bergantung isu serta keadaan
dan keberpihakan politik yang ada. Sekali-sekali kita perlu juga melihat pada
konteks yang lain, misalnya konteks kewarganegaraan.
Banyak
hal yang sebenarnya sudah berlangsung lama, tapi hebohnya baru belakangan. Misalnya
soal isu surat edaran Kemenag yang berisi larangan azan, peraturannya sudah ada
sejak tahun 1978 melalui Instruksi Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam No.
KEP/101/78, hanya disosialisasikan kembali tahun 2018 dan menjadi heboh
seolah-olah peraturan itu baru ada tahun 2018. Uniknya, meski mengatur tentang
pengeras suara di Mesjid, Mushola dan Langgar, sebenarnya sama sekali tidak ada
larangan azan atau aturan mengenai suara speaker untuk azan dalam surat edaran
itu. Bagaimana ceritanya bisa muncul isu ada aturan tentang larangan azan itu
aku juga tak paham. Begini bunyi peraturannya yang terkait dengan Azan: “Dari
tuntunan Nabi, suara Adzan sebagai tanda masuknya shalat memang harus
ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya TIDAK DAPAT
DIPERDEBATKAN. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muadzin tidak sumbang
dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu”.
Begitu
juga soal agama Yahudi yang diperbolehkan di Indonesia. Hebohnya baru
belakangan, padahal memang tidak ada larangan bagi agama itu di Indonesia melalui
UU No. 1/PNPS/1965. Jadi aturannya sudah ada sejak tahun 1965. Begini bunyi
penjelasan Pasal 1 UU tersebut: “Karena 6 macam agama
ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka
kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2
Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan
seperti yang diberikan oleh pasal ini. Ini tidak berarti bahwa agama-agama
lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia.
Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan
mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”.
Begitu juga soal isu hak politik penyandang
disabilitas mental. Isu ini sudah didiskusikan setidaknya sejak Pilpres
2014. Bahkan, MK telah mengeluarkan keputusan No. 135/PUU-XIII/2015 yang
menyatakan bahwa penyadang disabilitas mental (terganggu jiwa/ingatannya)
memiliki hak politik sepanjang gangguan itu tidak permanen sifatnya. Konsideran
putusannya ku jadikan foto background untuk tulisan ini. Jadi mestinya tidak
perlu dihebohkan apalagi sampai latah mengatakan penyelenggara pemilu telah
melanggar UU Pemilu segala. Justru mengeneralisasi semua orang yang mengalami
disabilitas mental sebagai “orang gila” yang tidak memiliki hak politik
sehingga tidak boleh menggunakan hak pilihnya adalah pelanggaran konstitusional
terhadap hak politik penyandang disabilitas mental yang dijamin UUD NRI 1945
menurut putusan MK itu.
Kedua:
Pada dasarnya semua warga negara, baik
yang baru berumur satu detik di dunia, penyandang disabilitas mental, maupun
dalam keadaan lainnya memiliki hak politik dan berhak menggunakan hak pilihnya.
Hanya saja, persoalannya adalah pada kemampuan untuk menggunakan hak itu secara
wajar, berdasarkan keinginan sendiri dan penggertiannya terhadap tujuan dan sasaran
hak pilihnya. Karena itulah diadakan pembatasan-pembatasan menurut kepatutan
yang layak untuk dianggap adanya kemampuan menggunakan hak pilih secara wajar
itu seperti pembatasan usia dan keadaan lainnya yang terkait dengan yang
bersangkutan.
Keadaan lainnya itu misalnya,
dicabutnya hak pilih oleh berdasarkan putusan pengadilan, profesi yang
mengharuskan netralitas absolut (seperti TNI dan Polri). Penyandang disabilitas
mental masuk kategori ini. Tapi berdasarkan putusan MK tersebut penyandang
disabilitas mental yang dimaksud adalah orang yang gangguan jiwa/ingatannya
bersifat permanen sehingga mempengaruhi kemampuannya menggunakan hak itu. Jadi tidak
semua penyandang disabilitas mental bisa dinyatakan seperti yang banyak disebut
di medsos sebagai “orang gila” yang tidak layak diberikan hak pilih.
Oleh karena itu pula, memberikan hak
politik kepada penyandang disabilitas mental SEPANJANG GANGGUAN MENTAL ITU
TIDAK BERSIFAT PERMANEN bukanlah sekedar urusan politik atau mengkonsolidasi “orang
gila” untuk kemenangan politik. Tapi, mereka memang berhak untuk memilih,
siapapun yang akan dipilihnya dalam kontestasi politik itu.
Ketiga:
Memang akan merepotkan bagi petugas
penyelenggara pemilu pada prakteknya karena harus melakukan semacam uji
kemampuan memilih bagi penyandang disabilitas mental itu. Apalagi ketika
berhadapan dengan stigmatisasi-stigmatisasi kepada pemilih yang bersangkutan. Tapi,
kerepotan itu tidak boleh menghalangi warga negara menggunakan hak pilihnya
dalam pemilu. Justru, KPU dan Bawaslu harus membuat terobosan agar penyandang
disabilitas mental dapat menggunakan hak politik. Dengan alasan ini, langkah
KPU dan Bawaslu membuka akses bagi penyandang disabilitas mental ini seharusnya
diapresiasi, bukan diejek.
Itulah alasannya mengapa aku memulai
tulisannya dengan statement
bahwa tidak ada yang salah dengan hak politik yang diberikan kepada penyandang
disabilitas mental sepanjang sifat gangguan jiwa/ingatannya tidak permanen.
Bagiku,
yang miris pada isu ini bukan diakomodasinya hak politik bagi “orang gila” tapi
ramainya orang-orang yang mengaku normal kemudian menunjukan “kegilaannya” di
medsos dengan mencerca diakomodirnya hak politik penyandang disabilitas mental disana-sini
hanya karena dia, yang mencerca itu, memiliki ingatan berjangka pendek atau ketidaktahuan.
No comments:
Post a Comment