Oleh: Arief Wahyudi
Kata
Foucault, "kedaulatan manusia tersembunyi dalam pengetahuan". Saya membaca
diktum Foucault ini pada buku Leela Gandhi dalam edisi bahasa Indonesia
berjudul "Teori Poskolonial Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat".
Diktum
Foucault ini, bisa ditelisik pembuktiannya dalam karya Yuval Noah Hariri berjudul
"Sapiens A History of Humankind" (sudah ada juga edisi dalam bahasa Indonesia).
Hariri menceritakan bahwa terbentuknya imperium besar sepanjang sejarah dan
runtuhnya peradaban-peradaban besar, berhubungan dengan bagaimana pengetahuan
manusia berkembang. Singkatnya bagaimana manusia menggunakan otaknya.
Semakin
rendah daya guna otak akan semakin rendah pengetahuannya serta semakin mudah
manusia itu dimanipulasi, diarahkan dan dikuasai.
Bagaimana
kebodohan bisa dikuasai secara culas, silahkan baca novel berjudul "Animal
Farms" yang ditulis oleh Goerge Orwell (sudah ada juga dalam edisi bahasa
Indonesia).
Pada
point ini, terkait dengan maraknya hoaks, ada benarnya apa yang dikatakan Rocky
Gerung, "Naikan kapasitas otak, maka hoaks akan turun".
Jadi,
proses masuk dan dipercayanya hoaks itu berkaitan dengan kapasitas otak untuk
mengeksplorasi informasi dan menambah pengetahuan. Hoaks dengan mudah menguasai
kapasitas otak yang lemah dan mempengaruhi prilaku.
Hoaks
itu informasi palsu, bukan itu informasi yang sebenarnya, berbeda dengan opini
yang muncul karena sudut pandang berbeda melihat masalah. Mengenalinya memang
agak sulit, apalagi jika hoaksnya dikamuflase dalam bentuk opini sehingga
memunculkan makna yang berbeda dan kelihatan masuk akal. Jelas dibutuhkan
kapasitas otak yang kuat.
Sebagai
contoh kita lihat pada dua narasi berikut ini untuk mendeteksi apakah info itu
hoaks atau opini. Pertama, pemerintah
berlaku zalim kepada ulama; dan Kedua,
rezim ini melarang azan atau mengatur volume azan.
Untuk
yang pertama, bukan hoaks, tapi opini. Mengapa opini, karena memang ada orang
berstatus ulama yang memiliki permasalahan hukum negara dan merasa sedang di
zalimi. Sudut pandangnya adalah status ulama yang melekat pada person yang mengalami
permasalahan tersebut sehingga ketika yang bersangkutan bermasalah, opininya
adalah adanya penzaliman terhadap ulama.
Belum
tentu semua orang setuju dengan opini ini. Yang kontra sudut pandangnya tidak
pada status ulama, tapi pada individu, warga negara, kebetulan berstatus ulama,
yang memiliki permasalahan ditambah lagi fakta bahwa tidak semua orang
berstatus ulama mengalami permasalahan yang sama. Jadi, pro dan kontranya adalah soal
perbedaan sudut pandang, yakni kelompok pro melihat ada ulama yang dizalimi,
sedangkan kelompok kontra melihat ada person yang bermasalah hukum. Opini mana
yang paling tepat, tergantung pendirian keilmuan yang dimiliki oleh si pemilik
opini dan sudut pandangnya masing-masing dalam mempertahankan opininya.
Untuk
yang kedua, ini bukan opini, tapi hoaks. Mengapa hoaks, karena tidak ada
satupun peraturan di Indonesia yang melarang azan atau mengatur volume azan
serta rezim ini tidak pernah mengeluarkan peraturan baru tentang azan. Benar bahwa
ada peraturan tentang penggunaan speaker di masjid, surau atau langgar, tapi
tidak benar peraturan itu dikeluarkan oleh rezim ini karena peraturannya sudah
ada sejak tahun 1978. Rezim ini hanya mengeluarkan surat edaran untuk
mensosialisasikan peraturan yang dibuat pada tahun 1978 itu. Tidak benar ada larangan
azan dan pengaturan tentang volume azan karena pada peraturan itu justru
dikatakan bahwa suara azan di masjid, surau dan langgar memang harus
ditinggikan dan tidak perlu ada lagi perdebatan tentang itu. Sehingga narasi ke
kedua yang kita ambil sebagai contoh adalah hoaks. Silahkan download
peraturannya di sini
Mengapa
hoaks ini bisa dipercaya oleh banyak orang? Karena, background argumentnya adalah adanya beberapa kasus yang sebenarnya
tidak terkait dengan pemerintah seperti kasus puisi azan dan kasus protes
terhadap suara speaker di masjid serta adanya statement dari menteri agama yang
dipelintir seolah-olah akan melarang ditinggikan suara azan di Indonesia serta sentimen
agama dalam kaitannya dengan kontestasi politik. Jadi, sepintas sangat masuk
akal narasi bahwa rezim pemerintahan saat ini telah melarang atau mengatur
volume azan dan akan langsung dipercaya oleh mereka yang tidak menggali lagi
informasi lebih dalam. Padahal, sama sekali tidak ada pengaturan itu dan
informasinya berkategori hoaks.
Penelaahan
terhadap dua contoh itu bisa juga gunakan terhadap banyak isu yang beredar,
baik terkait politik, ekonomi, budaya dan agama. Misalnya soal pengaruh kenaikan
dollar terhadap ekonomi mikro yang dirasakan oleh masyarakat secara langsung,
terdapat beragam argument di medsos. Silahkan anda periksa sendiri argument-argument
itu hoaks atau opini. Begitu juga dengan realisasi janji politik Presiden, bisa
juga diperiksa argument-argument yang ada itu hoaks atau opini.
Dua
contoh di atas menunjukan pentingnya kapasitas otak seperti yang disampaikan
Rocky Gerung itu untuk menelaah informasi.
Pada
keadaan kita hari ini, rendahnya kapasitas otak tak seluruhnya merupakan keadaan
alami. Memang sebagian yang terpapar hoaks memiliki latar pengetahuan dan pendidikan
yang tidak terlalu tinggi, sehingga tak terbiasa menggali informasi dan pendekatannya
terhadap kabar berita berbasis emosional. Tapi, sebagiannya lagi justru
orang-orang terdidik (malah ada yang pendidik), tokoh-tokoh dan pejabat di
instansi negara. Mereka ini tidak lemah kapasitas otak, tapi melemahkan
kapasitas otaknya sendiri sehingga menyamakan kemampuannya dengan yang tidak
terdidik dengan baik.
Mengapa
bisa begitu? Alasannya banyak. Bisa karena adanya kepentingan tertentu,
emosional, sentimen negatif, kebencian atau bahkan pengkhultusan berlebihan
terhadap individu dan kelompok tertentu. Yang pasti, daya nalarnya menghilang
dan informasi tak lagi difilter dengan baik.
Jadi,
kalau orang mudah percaya kepada informasi yang berindikasi hoaks dan
berkontribusi menyebarkannya - dengan menggunakan pendapat Rocky Gerung -
berarti kapasitas otaknya rendah dan perlu dinaikan.
Kalau
kapasitas otak rendah atau direndahkan, bagaimana pengetahuan akan ditingkatkan,
dan seperti yang disampaikan Foucault, bagaimana kedaulatan akan ditegakan?
Jika
ingin berkontribusi memperbaiki praktek demokrasi di negeri ini dan memperkokoh
kedaulatan negara, mulailah dengan meningkatkan kapasitas otak untuk mengenali
hoaks agar kita bisa menghentikan hoaks itu di tangan kita dan melindungi
kejernihan berpikir orang banyak, apapun atau siapapun pilihan politik kita.
Begitulah...
No comments:
Post a Comment