Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Monday, October 8, 2018

HOAKS DAN KAPASITAS OTAK

http://rfwahyudi.blogspot.com


Oleh: Arief Wahyudi

Kata Foucault, "kedaulatan manusia tersembunyi dalam pengetahuan". Saya membaca diktum Foucault ini pada buku Leela Gandhi dalam edisi bahasa Indonesia berjudul "Teori Poskolonial Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat".


Diktum Foucault ini, bisa ditelisik pembuktiannya dalam karya Yuval Noah Hariri berjudul "Sapiens A History of Humankind" (sudah ada juga edisi dalam bahasa Indonesia). Hariri menceritakan bahwa terbentuknya imperium besar sepanjang sejarah dan runtuhnya peradaban-peradaban besar, berhubungan dengan bagaimana pengetahuan manusia berkembang. Singkatnya bagaimana manusia menggunakan otaknya.

Semakin rendah daya guna otak akan semakin rendah pengetahuannya serta semakin mudah manusia itu dimanipulasi, diarahkan dan dikuasai.

Bagaimana kebodohan bisa dikuasai secara culas, silahkan baca novel berjudul "Animal Farms" yang ditulis oleh Goerge Orwell (sudah ada juga dalam edisi bahasa Indonesia).

Pada point ini, terkait dengan maraknya hoaks, ada benarnya apa yang dikatakan Rocky Gerung, "Naikan kapasitas otak, maka hoaks akan turun".

Jadi, proses masuk dan dipercayanya hoaks itu berkaitan dengan kapasitas otak untuk mengeksplorasi informasi dan menambah pengetahuan. Hoaks dengan mudah menguasai kapasitas otak yang lemah dan mempengaruhi prilaku.

Hoaks itu informasi palsu, bukan itu informasi yang sebenarnya, berbeda dengan opini yang muncul karena sudut pandang berbeda melihat masalah. Mengenalinya memang agak sulit, apalagi jika hoaksnya dikamuflase dalam bentuk opini sehingga memunculkan makna yang berbeda dan kelihatan masuk akal. Jelas dibutuhkan kapasitas otak yang kuat.

Sebagai contoh kita lihat pada dua narasi berikut ini untuk mendeteksi apakah info itu hoaks atau opini. Pertama, pemerintah berlaku zalim kepada ulama; dan Kedua, rezim ini melarang azan atau mengatur volume azan.

Untuk yang pertama, bukan hoaks, tapi opini. Mengapa opini, karena memang ada orang berstatus ulama yang memiliki permasalahan hukum negara dan merasa sedang di zalimi. Sudut pandangnya adalah status ulama yang melekat pada person yang mengalami permasalahan tersebut sehingga ketika yang bersangkutan bermasalah, opininya adalah adanya penzaliman terhadap ulama.

Belum tentu semua orang setuju dengan opini ini. Yang kontra sudut pandangnya tidak pada status ulama, tapi pada individu, warga negara, kebetulan berstatus ulama, yang memiliki permasalahan ditambah lagi fakta bahwa tidak semua orang berstatus ulama mengalami permasalahan yang sama. Jadi, pro dan kontranya adalah soal perbedaan sudut pandang, yakni kelompok pro melihat ada ulama yang dizalimi, sedangkan kelompok kontra melihat ada person yang bermasalah hukum. Opini mana yang paling tepat, tergantung pendirian keilmuan yang dimiliki oleh si pemilik opini dan sudut pandangnya masing-masing dalam mempertahankan opininya.

Untuk yang kedua, ini bukan opini, tapi hoaks. Mengapa hoaks, karena tidak ada satupun peraturan di Indonesia yang melarang azan atau mengatur volume azan serta rezim ini tidak pernah mengeluarkan peraturan baru tentang azan. Benar bahwa ada peraturan tentang penggunaan speaker di masjid, surau atau langgar, tapi tidak benar peraturan itu dikeluarkan oleh rezim ini karena peraturannya sudah ada sejak tahun 1978. Rezim ini hanya mengeluarkan surat edaran untuk mensosialisasikan peraturan yang dibuat pada tahun 1978 itu. Tidak benar ada larangan azan dan pengaturan tentang volume azan karena pada peraturan itu justru dikatakan bahwa suara azan di masjid, surau dan langgar memang harus ditinggikan dan tidak perlu ada lagi perdebatan tentang itu. Sehingga narasi ke kedua yang kita ambil sebagai contoh adalah hoaks. Silahkan download peraturannya di sini  

Mengapa hoaks ini bisa dipercaya oleh banyak orang? Karena, background argumentnya adalah adanya beberapa kasus yang sebenarnya tidak terkait dengan pemerintah seperti kasus puisi azan dan kasus protes terhadap suara speaker di masjid serta adanya statement dari menteri agama yang dipelintir seolah-olah akan melarang ditinggikan suara azan di Indonesia serta sentimen agama dalam kaitannya dengan kontestasi politik. Jadi, sepintas sangat masuk akal narasi bahwa rezim pemerintahan saat ini telah melarang atau mengatur volume azan dan akan langsung dipercaya oleh mereka yang tidak menggali lagi informasi lebih dalam. Padahal, sama sekali tidak ada pengaturan itu dan informasinya berkategori hoaks.

Penelaahan terhadap dua contoh itu bisa juga gunakan terhadap banyak isu yang beredar, baik terkait politik, ekonomi, budaya dan agama. Misalnya soal pengaruh kenaikan dollar terhadap ekonomi mikro yang dirasakan oleh masyarakat secara langsung, terdapat beragam argument di medsos. Silahkan anda periksa sendiri argument-argument itu hoaks atau opini. Begitu juga dengan realisasi janji politik Presiden, bisa juga diperiksa argument-argument yang ada itu hoaks atau opini.  

Dua contoh di atas menunjukan pentingnya kapasitas otak seperti yang disampaikan Rocky Gerung itu untuk menelaah informasi.

Pada keadaan kita hari ini, rendahnya kapasitas otak tak seluruhnya merupakan keadaan alami. Memang sebagian yang terpapar hoaks memiliki latar pengetahuan dan pendidikan yang tidak terlalu tinggi, sehingga tak terbiasa menggali informasi dan pendekatannya terhadap kabar berita berbasis emosional. Tapi, sebagiannya lagi justru orang-orang terdidik (malah ada yang pendidik), tokoh-tokoh dan pejabat di instansi negara. Mereka ini tidak lemah kapasitas otak, tapi melemahkan kapasitas otaknya sendiri sehingga menyamakan kemampuannya dengan yang tidak terdidik dengan baik.

Mengapa bisa begitu? Alasannya banyak. Bisa karena adanya kepentingan tertentu, emosional, sentimen negatif, kebencian atau bahkan pengkhultusan berlebihan terhadap individu dan kelompok tertentu. Yang pasti, daya nalarnya menghilang dan informasi tak lagi difilter dengan baik.

Jadi, kalau orang mudah percaya kepada informasi yang berindikasi hoaks dan berkontribusi menyebarkannya - dengan menggunakan pendapat Rocky Gerung - berarti kapasitas otaknya rendah dan perlu dinaikan.

Kalau kapasitas otak rendah atau direndahkan, bagaimana pengetahuan akan ditingkatkan, dan seperti yang disampaikan Foucault, bagaimana kedaulatan akan ditegakan?

Jika ingin berkontribusi memperbaiki praktek demokrasi di negeri ini dan memperkokoh kedaulatan negara, mulailah dengan meningkatkan kapasitas otak untuk mengenali hoaks agar kita bisa menghentikan hoaks itu di tangan kita dan melindungi kejernihan berpikir orang banyak, apapun atau siapapun pilihan politik kita.

Begitulah...

No comments:

Post a Comment