Oleh:
Arief Wahyudi
Ada seorang mahasiswa yang
sudah tidak lagi mengikuti kelas ku bertanya tentang keadaan kita hari ini. Pertanyaannya,
“Pak, bagaimana dengan nilai rupiah yang sekarang sudah hampir 15.000? Apa
bakal inflasi nanti pak? Apa kemungkinan krisis moneter (krismon) bakal terjadi
lagi? Dan kira-kira ini karena apa, hutang kita masih banyak tapi nilai rupiah
kita anjlok gini pak?”
Saya tentu saja tidak bisa
menjawab detail pertanyaan ini, apalagi terkait hal-hal yang sangat teknis
karena bukan bidang keilmuan ku. Saya juga tidak ingin “merasa ahli” lalu
berdebat tidak karuan terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak begitu
diketahuinya untuk kemudian menjadi semacam parade “keseolah-olah pintaran”.
Tapi, pertanyaan mahasiswa
ini berarti dua hal: Pertama, itulah kira-kira yang sedang berkecamuk dalam
pikiran sebagian masyarakat kita hari ini dan memerlukan jawaban-jawaban dalam
bahasa yang bisa dimengerti oleh mereka. Kedua, inisiatif mahasiswa ini untuk
bertanya kepada ku, meski tidak di ruang kelas, merupakan gambaran bahwa dalam
kebingungan, masih ada anak-anak muda kita yang tidak menalan mentah-mentah
informasi yang berseliweran dan berusaha menggali informasi sebagai vitamin
bagi cara berpikirnya. Para oknum ASN dan pendidik (guru dan dosen) yang
ikut-ikutan ngerumpi di medsos atau kadang dengan jahil ikutan share hoax seharusnya
meniru apa yang dilakukan mahasiswa ku ini, hehehe.
Untuk menjawab pertanyaan
itu, meski tidak menggunakan perspektif ekonomi, tapi bisa dilihat dari
perspektif yang lain, dalam hal ini aku melihatnya pada perspektif
kewarganegaraan. Perspektif ini melihat gejala-gejala yang ada dalam lingkup
relasi negara dengan warganya dan relasi warganya dengan negaranya. Oleh karena
itu, seluruh pertanyaan itu kemudian ku ringkas saja menjadi pertanyaan
tunggal, naiknya dollar dan apa dampaknya terhadap keadaan kita sebagai warga
negera dari sebuah negara. Tentu saja jawaban terhadap pertanyaan tunggal ini
bukanlah spekulasi terhadap konteks teknis turun naiknya dollar itu, tapi pada
pilihan-pilihan kita sebagai warga negara untuk menentukan sikap pada keadaan
yang terjadi. Saya sendiri tidak akan mengatur orang lain harus memilih pilihan
yang mana.
Pada konteks ini, kita bisa mereview
keadaannya melalui analisis wacana-wacana yang berkembang dikalangan warga negara
dan perubahan pada kontruksi sosial kenegaraan yang ada.
Pertama, wacana-wacana.
Apakah dengan naiknya
dollar, lalu keadaan negara kita baik-baik saja? Tentu saja tidak. Pasti ada
dampaknya. Tapi, apakah naiknya Dollar itu begitu mengancam negara dan akan
menimbulkan krisis yang berbahaya bagi masyarakat baik jangka pendek maupun
jangka panjang? Nah, pada konteks ini kita perlu untuk menganalisis
wacana-wacana yang berkembang karena pertanyaan ini sifatnya perspektif dengan
sudut pandang subjektif berdasarkan indikator-indikator yang digunakan untuk
mengangkat wacana.
Kalau diperhatikan dengan
baik, wacana-wacana yang berkembang terkait harga dollar dapat dikelompokkan
menjadi dua kelompok wacana, yakni wacana meragukan kemampuan pemerintah dan
wacana yang meyakini kemampuan pemerintah. Wacana ini berafiliasi langsung pada
pilihan politik pada pilpres 2019 nanti. Tak perlu saya jabarkan afialisi
politik itu. Tapi, disinilah kita mesti jeli melihat apakah wacana-wacana itu
betul-betul wacana keekonomian negara atau ada bias politik di dalamnya.
Wacana meragukan kemampuan
pemerintah bertitik tolak dari angka kenaikan Dollar yang tak segera turun menuju
angka Rp. 10.000 per 1 Dollar dan asumsi terhadap dampak yang akan terjadi. Sudut
pandang yang digunakan umumnya sosio politik ekonomi negara dan elemen-elemen
mikroekonomi. Pada konteks ini, argument yang dibangun adalah bahwa kebijakan ekonomi
pemerintah dianggap tidak memiliki pengaruh signifikan pada usaha penguatan
nilai tukar rupiah terhadap dollar dan dampaknya dirasakan oleh masyarakat
terutama kelompok ekonomi miskin dan menengah. Argument pada kelompok wacana ini
diikuti dengan narasi berdasarkan pengalaman buruk krisis moneter pada tahun
1998 serta adanya negeri-negara yang bangkrut karena depresi mata uangnya
terhadap Dollar sangat tinggi seperti Venezuela. Argumen pokoknya bahwa kita
diambang krisis dan pemerintah gagal mengadalikan depresi rupiah, pondasi
ekonomi hancur lebur, dan peristiwa 1998 bisa kembali terulang serta kita bisa
menjadi seperti Venezuela
Memang, rontoknya rupiah
tahun 1998 menimbulkan dampak sosial yang luar biasa dan secara politik
berkontribusi merutuhkan rezim orde baru, serta dampaknya masih dirasakan
bertahun-tahun kemudian. Begitu juga keadaan di Venezuela sekarang ini. Mereka
berada dalam krisis yang memprihatikan. BBC Indonesia, 22 Agustus 2018, menaikan berita
dengan judul “Mata Uang Venezuela Amruk: Kertas Tisu di Jual 2,6 Juta, Daging
Ayam 14,6 Juta”. Silahkan baca di sini. Pada berita itu disebutkan bahwa IMF memperkirakan
tahun ini inflasi di Venezuela bisa mencapai 1.000.000% (satu juta persen)
dengan nilai tukar satu Dollar sama dengan 6,3 juta Bolivar. Di negara ini, 2,4
Kg daging ayam mesti dibeli dengan harga 14,6 juta Bolivar. Satu gulung tisu
beharga 2,6 juta Boliviar dan perlu 3 juta Bolivar untuk membeli 10 buah
wortel, bahkan harga popok bayi mencapai 8 juta Bolivar.
Apakah Indonesia akan
kembali seperti krismon di 1998 atau lebih parah lagi menjadi seperti yang
dialami Venezuela, atau Krismon itu dan kasus Venezuela hanya digunakan untuk
narasi politik, saya tidak dapat menjawabnya. Faktanya Dollar memang menguat.
Wacana yang meyakini
kemampuan pemerintah bertitik tolak pada indikator-indikator ekonomi negara dan
lingkup global yang mempengaruhi keadaan ekonomi serta nilai tukar mata uang
sebuah negara. Sudut pandangnya adalah keberlanjutan pembagunan dan proyeksi
jangka panjang melalui pondasi ekonomi yang telah dan sedang dibangun serta konsep
makroekonomi. Wacananya adalah bahwa secara makro, meski kenaikan Dollar
melebihi asumsi dasar di APBN dan memiliki dampak secara mikro (kehidupan
individu), tapi indikator ekonomi makro dan penguatan pondasi ekonomi menunjukan
bahwa pengaruhnya tidak sampai membuat Indonesia terancam krisis seperti 1998
apalagi seperti Venezuela. Dengan kata lain, naiknya dollar ini bukan sesuatu
yang tidak bisa diatasi oleh pemerintah kita.
Argument ini dikembangkan
dengan mengacu kepada perbandingan keadaan ekonomi saat ini dengan keadaan pada
saat 1998 dan perbandingan keadaan Indonesia dengan negara berkembang lainnya
yang terdampak penguatan Dollar. Selain itu naiknya Dollar juga dilihat dari pengaruh
eksternal seperti perang dagang internasional yang melibatkan Amerika dan China
serta usaha Amerika menguatkan dominasi Dollarnya, situasi geopolitik
internasional yang kemudian berdampak kepada banyak negara berkembang. Saya
tidak bisa menjelaskan detail soal ini, biarlah itu tugas ahli-ahli ekonomi
yang mengutamakan kepentingan keilmuannya daripada kepentingan politiknya dan
emosi atau sentimennya.
Tapi, sekedar untuk melihat
perbandingan, faktanya, memang keadaan ekonomi negara saat ini berbeda jauh
dengan keadaan pada tahun 1998. Cukup banyak informasi yang bisa diakses
tentang hal ini. Misalnya, naiknya Dollar pada 1998 menunjukan angka yang
fantatis. Pada periode September 1997 sampai 1998 rupiah terdepresiasi 254%
dari Rp.3.030 per 1 Dollar menjadi Rp. 10.725 per 1 Dollar dan malah sampai
mencapai titik tertinggi, yakni Rp. 16.650,- per 1 Dollar
pada Juni 1998. Sementara pada
September 2017 sampai awal September 2018, rupiah hanya terdepresiasi 11%. Artinya,
kalau pada 1998 Dollar naik dari angka yang rendah ke angka yangs sangat tinggi
sedangkan pada tahun 2018 ini Dollar naik dari angka yang memang sudah tinggi
sejak dari semula. Tahun 1998 itu, cadangan devisa negara hanya USD 23,61
milliar dengan tingkat inflasi mencapai 78,2% sedangkan pada tahun 2018
cadangan devisa mencapai USD 118,3 milliar dengan tingkat inflasi per Agustus
2018 hanya 3,2%.
Optimisme ini masih ditambah
lagi dengan meningkatnya posisi Indonesia pada berbagai indeks yang dilakukan
oleh lembaga-lembaga internasional seperti predikat Investment Grade dan kategori
signifikan improvement pada Fragile State Indeks. Indonesia. Tahun 2018 Indonesia
bahkan menduduki rengking ke 2 negara terbaik untuk berinvestasi pada survey
yang dilakukan oleh US News dan berada pada rangking 9 negara teraman di dunia
pada riset yang dilakukan oleh Lembaga riset internasional
Gallup's Law and Order.
Apakah
seluruh indikator itu menunjukan bahwa Pemerintah Indonesia benar-benar mampu
mengatasipasi kenaikan Dollar sehingga meski berdampak tapi Indonesia tidak
sedang dalam krisis atau sebenarnya Indonesia berada dalam puncak krisis yang
berbahaya, saya tidak dapat menjawabnya. Faktanya, harga Dollar bersifat
fluktuatif. Saat tulisan ini ditulis, rupiah sudah menguat kembali. Dan,
Indonesia tidak menunjukan gejala-gejala krisis seperti lompatan signifikan
harga-harga secara umum, rush money (penarikan uang secara
massal oleh nasabah bank), tidak beroperasinya perbankan, gangguan signifikan
terhadap perdagangan valas dan saham, kerusuhan sosial dan sebagainya.
Dua sudut pandang itulah yang tengah
menghiasi perbedatan-perbedatan kita. Dari dua kelompok wacana itu, kita bebas
untuk menentukan yang mana yang hendak dipercayai dan diikuti.
Kedua,
perubahan pada kontruksi sosial kenegaraan yang ada
Pertanyaan
pokok pada point ini adalah apakah Dollar naik lalu kita menjadi menderita?
Naiknya
nilai tukar Dollar terhadap rupiah sudah pasti akan memunculkan dampak bagi ekonomi
negara dan kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini tidak perlu
diperbedatkan lagi. Tapi, apakah dampak
itu menimbulkan penderitaan yang kemudian merubah konstruksi sosial kenegaraan
kita secara frontal? Kita perlu lakukan analisis lebih jauh.
Dampak
ekonomi yang saat ini banyak dikeluhkan sebenarnya tidak hanya karena terkait
kenaikan Dollar. Tapi, keluhannya sudah ada terutama pasca pencabutan subsidi
barang tertentu seperti BBM (kecuali premium) dan listrik (kecuali untuk ukuran
voltase 900 Kwh ke bawah). Naiknya Dollar melengkapi berbagai keluhan itu.
Masyarakat
yang paling terdampak adalah masyarakat golongan ekonomi menengah yang
dimasukan pada kategori miskin tidak bisa, dimasukan kategori kaya juga tidak
bisa. Pada kelompok ini pencabutan subsidi dan naiknya Dollar berarti dua hal,
yakni mengencangkan ikat pinggang pada kebutuhan pokok dan terhambatnya
keinginan pada konteks pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier. Rumusnya pada
kelompok ini sederhana, yakni pengeluaran otomatis bertambah sedangkan
penghasilan tidak otomatis naik dan mereka tidak dapat mengakses bantuan
langsung dari pemerintah untuk mereka karena tidak tersedia program tersebut. Kelompok
inilah yang paling rentan dengan narasi-narasi tendensius serta propaganda anti
pemerintah karena secara individu mereka memang berada pada kondisi yang tidak
diuntungkan dalam hal ekonomi berbiaya tinggi dan fluktuatifnya nilai rupiah
terhadap Dollar. Saya termasuk dalam kelompok ini.
Pada
kelompok masyarakat golongan ekonomi kaya, pencabutan subsidi dan naiknya
Dollar hanya berarti pengeluaran tambahan pada kebutuhan kebutuhan sekunder dan
tersier sedangkan kebutuhan primernya tidak terganggu. Biasanya cukup murah
untuk membiayai beberapa AC, kulkas, televisi terbaru, beberapa sepeda motor,
beberapa mobil, biaya pembantu rumah tangga, wisata dan sebagainya karena
beberapa komponen-komponennya disubsidi oleh negara, sekarang mereka harus
mengeluarkan dana ekstra untuk hal tersebut.
Sedangkan
pada kelompok miskin, meskipun tidak bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan
tersier secara kontiniu, tapi kebutuhan pokoknya terbantu oleh berbagai program
pemerintah yang khusus untuk membantu kelompok miskin. Program itu seperti Program
Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan bantuan tunai melalui sistem pada Kartu
Indonesia Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat, Indonesia Pintar, Program E-Warung
dan sebagainya. Saya beberapa waktu lalu berdiskusi dengan seorang pendamping
lapangan untuk program-program ini dan diceritakannya bahwa pada wilayah
kerjanya terdapat 32.000 peserta PKH yang setiap bulannya mendapatkan dana
tunai dengan cara transfer langsung kepada masing-masing peserta.
Meski
demikian, keluhan-keluhan ekonomi itu kelihatannya tidak terlalu signifikan
pengaruhnya kepada perubahan
pada kontruksi sosial kenegaraan yang ada. Operasionalisasi
negara masih berjalan dengan normal. Gestur politik pemerintah tidak menunjukan
kepanikan meski terdapat masalah-masalah ekonomi yang perlu diwaspadai. Kita
masih bisa menyelenggarakan Asian Games dengan sukses dan menelan biaya yang
tidak sedikit serta memberikan bonus kepada para atlit dengan nominal berlipat
ganda dari bonus-bonus yang pernah diberikan negara sebelumnya. Proyek infrastruktur
(jalan, bendungan, bandara, pelabuhan, kereta api, dan sebagainya), meski tidak
segera bisa dinikmati keuntungan langsung dalam bentuk cash money di APBN, tapi
cukup menjanjikan untuk jangka panjang.
Pemerintah
juga masih bisa memberikan bantuan langsung terhadap korban bencana di NTB dan
merekonstruksi serta merehabilitasi wilayah itu meski tanpa menetapkan bencana
nasional. Artinya pemerintah cukup percaya diri masih mampu menangani dampak
bencana meski tanpa bantuan asing. Para anggota Parlemen (DPR, DPD, MPR, DPRD)
masih wara-wiri dalam rangka suksesi Pilpres dan Pileg dengan tenang meski pada
narasi publik mereka berdebat hangat soal keadaan ekonomi. Juga belum terlihat
suasana intens pada rapat-rapat di Parlemen untuk membahas keadaan ekonomi
terkini yang menunjukan bahwa diperlukan kebijakan fundamental dan segera untuk
mengatasi masalah ekonomi yang ada. Malah, persoalan yang sebenarnya tidak
substansial justru menjadi perdebatan. Pada konteks inilah tendensius politik
terlihat lebih kuat dari pada diskursus ekonominya.
Pada
konteks sosial kemasyarakatan juga begitu. Meski setiap hari berbagai komentar
muncul di ruang publik terkait keadaan ekonomi negara dan naiknya Dollar, tapi
saya belum lihat ada keluhan yang menyatakan tidak mampu lagi membeli paket
internet karena harganya tidak terjangkau. Jalanan masih ramai dipenuhi
berbagai tipe dan level harga kendaraan bermotor. Bisnis online, usaha kuliner,
usaha kreatif lainnya terus tumbuh meski terdapat fluktuatif harga pada
kebutuhan modal produksi dan operasional usaha. Produk-produk teknologi terbaru
masih terus dipasarkan dengan iklan-iklan yang berusaha menarik pembeli. Kita
bahkan bisa melihat orang-orang yang membicarakan kemiskinan dan sulitnya
ekonomi sekaligus pada saat yang sama memamerkan kemampuan ekonominya.
Harga-harga
meski dikeluhkan kenaikannya, tapi sepanjang yang bisa diamati, yang terjadi
bukan tak mampu di beli, tapi terjadi pengurangan pada jumlah barang yang
didapatkan pada nominal uang tertentu akibat naiknya harga-harga. Sekolah-sekolah
dan kampus beroperasi seperti biasanya meski ada keluhan terkait biaya pendidikan.
Belum pernah terjadi pemerintah gagal bayar gaji ASN. Pada konteks swasta
besaran gaji karyawan memang masih dituntut untuk bisa sampai pada kondisi
ideal pada banyak wilayah di Indonesia. Tempat-tempat wisata masih dipadati
oleh wisatawan baik mancanegara maupun lokal. Juga tidak terjadi kerusuhan
sosial seperti penjarahan toko-toko akibat tak terjangkau harga-harga kebutuhan
pokok. Juga tidak terdapat dapur umum yang khusus didirikan untuk membantu
orang-orang kelaparan karena harga kebutuhan pokok membumbung tinggi.
Kondisi
ini menunjukan bahwa pada realitas, suasana krisis karena pengaruh naiknya
Dollar yang mengakibatkan perubahan fundamental pada konstruksi sosial
kenegaraan – seperti tahun 1998, apalagi seperti Venezuela – tidak terjadi. Singkatnya,
kita memang sedang mengalami fluktuasi ekonomi yang berdampak pada masyarakat
terutama golongan ekonomi menengah, tapi pada konteks negara kita tidak dalam
keadaan krisis yang tidak bisa diatasi apalagi kritis.
Penutup
Seperti
halnya analisis wacana-wacana di atas, pada analisis terhadap keadaan
konstruksi sosial kenegaraan, sebagai warga negara kita juga dihadapkan pada
pilihan sudut pandang untuk menilai keadaan negara hari ini dalam kaitannya
dengan fluktuatif nilai Rupiah terhadap Dollar. Pilihannya adalah apakah kita
percaya bahwa negara dalam hal ini pemerintah mampu mengatasi dampak dari
naiknya nilai tukar Dollar, atau naiknya Dollar ini cukup untuk mendelegatimasi
pemerintah saat ini.
Saya
pribadi ikut merasakan dampak dari ekonomi biaya tinggi dan naiknya Dollar,
namun saya dapat memahami apa yang sedang terjadi dari keseluruhan peristiwa
yang ada. Oleh karena itu, meski turut mengingatkan kepada pemerintah untuk
tetap waspada dan hati-hati menyikapi harga Dollar dan dampaknya bagi kita
semua, namun saya memilih untuk optimis pemerintah masih mampu mengatasi
persoalan ini dan memberikan dukungan kepada pemerintah untuk mengambil
langkah-langkah yang dibutuhkan. Prospek perkembangan negara cukup bagi saya
untuk meyakinkan diri bahwa meski ada kesulitan di sana-sini, tapi negara
sedang bergerak maju.
Pilihan
anda terserah anda.
Note: Gambar yang digunakan saya skrinsyut dari mesin pencari google.
No comments:
Post a Comment