Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Friday, September 7, 2018

DOLLAR DAN KITA HARI INI

http://rfwahyudi.blogspot.com


Oleh: Arief Wahyudi

Ada seorang mahasiswa yang sudah tidak lagi mengikuti kelas ku bertanya tentang keadaan kita hari ini. Pertanyaannya, “Pak, bagaimana dengan nilai rupiah yang sekarang sudah hampir 15.000? Apa bakal inflasi nanti pak? Apa kemungkinan krisis moneter (krismon) bakal terjadi lagi? Dan kira-kira ini karena apa, hutang kita masih banyak tapi nilai rupiah kita anjlok gini pak?”


Saya tentu saja tidak bisa menjawab detail pertanyaan ini, apalagi terkait hal-hal yang sangat teknis karena bukan bidang keilmuan ku. Saya juga tidak ingin “merasa ahli” lalu berdebat tidak karuan terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak begitu diketahuinya untuk kemudian menjadi semacam parade “keseolah-olah pintaran”.

Tapi, pertanyaan mahasiswa ini berarti dua hal: Pertama, itulah kira-kira yang sedang berkecamuk dalam pikiran sebagian masyarakat kita hari ini dan memerlukan jawaban-jawaban dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh mereka. Kedua, inisiatif mahasiswa ini untuk bertanya kepada ku, meski tidak di ruang kelas, merupakan gambaran bahwa dalam kebingungan, masih ada anak-anak muda kita yang tidak menalan mentah-mentah informasi yang berseliweran dan berusaha menggali informasi sebagai vitamin bagi cara berpikirnya. Para oknum ASN dan pendidik (guru dan dosen) yang ikut-ikutan ngerumpi di medsos atau kadang dengan jahil ikutan share hoax seharusnya meniru apa yang dilakukan mahasiswa ku ini, hehehe.  

Untuk menjawab pertanyaan itu, meski tidak menggunakan perspektif ekonomi, tapi bisa dilihat dari perspektif yang lain, dalam hal ini aku melihatnya pada perspektif kewarganegaraan. Perspektif ini melihat gejala-gejala yang ada dalam lingkup relasi negara dengan warganya dan relasi warganya dengan negaranya. Oleh karena itu, seluruh pertanyaan itu kemudian ku ringkas saja menjadi pertanyaan tunggal, naiknya dollar dan apa dampaknya terhadap keadaan kita sebagai warga negera dari sebuah negara. Tentu saja jawaban terhadap pertanyaan tunggal ini bukanlah spekulasi terhadap konteks teknis turun naiknya dollar itu, tapi pada pilihan-pilihan kita sebagai warga negara untuk menentukan sikap pada keadaan yang terjadi. Saya sendiri tidak akan mengatur orang lain harus memilih pilihan yang mana.



Pada konteks ini, kita bisa mereview keadaannya melalui analisis wacana-wacana yang berkembang dikalangan warga negara dan perubahan pada kontruksi sosial kenegaraan yang ada.

Pertama, wacana-wacana.

Apakah dengan naiknya dollar, lalu keadaan negara kita baik-baik saja? Tentu saja tidak. Pasti ada dampaknya. Tapi, apakah naiknya Dollar itu begitu mengancam negara dan akan menimbulkan krisis yang berbahaya bagi masyarakat baik jangka pendek maupun jangka panjang? Nah, pada konteks ini kita perlu untuk menganalisis wacana-wacana yang berkembang karena pertanyaan ini sifatnya perspektif dengan sudut pandang subjektif berdasarkan indikator-indikator yang digunakan untuk mengangkat wacana.

Kalau diperhatikan dengan baik, wacana-wacana yang berkembang terkait harga dollar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok wacana, yakni wacana meragukan kemampuan pemerintah dan wacana yang meyakini kemampuan pemerintah. Wacana ini berafiliasi langsung pada pilihan politik pada pilpres 2019 nanti. Tak perlu saya jabarkan afialisi politik itu. Tapi, disinilah kita mesti jeli melihat apakah wacana-wacana itu betul-betul wacana keekonomian negara atau ada bias politik di dalamnya.

Wacana meragukan kemampuan pemerintah bertitik tolak dari angka kenaikan Dollar yang tak segera turun menuju angka Rp. 10.000 per 1 Dollar dan asumsi terhadap dampak yang akan terjadi. Sudut pandang yang digunakan umumnya sosio politik ekonomi negara dan elemen-elemen mikroekonomi. Pada konteks ini, argument yang dibangun adalah bahwa kebijakan ekonomi pemerintah dianggap tidak memiliki pengaruh signifikan pada usaha penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar dan dampaknya dirasakan oleh masyarakat terutama kelompok ekonomi miskin dan menengah. Argument pada kelompok wacana ini diikuti dengan narasi berdasarkan pengalaman buruk krisis moneter pada tahun 1998 serta adanya negeri-negara yang bangkrut karena depresi mata uangnya terhadap Dollar sangat tinggi seperti Venezuela. Argumen pokoknya bahwa kita diambang krisis dan pemerintah gagal mengadalikan depresi rupiah, pondasi ekonomi hancur lebur, dan peristiwa 1998 bisa kembali terulang serta kita bisa menjadi seperti Venezuela



Memang, rontoknya rupiah tahun 1998 menimbulkan dampak sosial yang luar biasa dan secara politik berkontribusi merutuhkan rezim orde baru, serta dampaknya masih dirasakan bertahun-tahun kemudian. Begitu juga keadaan di Venezuela sekarang ini. Mereka berada dalam krisis yang memprihatikan. BBC Indonesia, 22 Agustus 2018, menaikan berita dengan judul “Mata Uang Venezuela Amruk: Kertas Tisu di Jual 2,6 Juta, Daging Ayam 14,6 Juta”. Silahkan baca di sini. Pada berita itu disebutkan bahwa IMF memperkirakan tahun ini inflasi di Venezuela bisa mencapai 1.000.000% (satu juta persen) dengan nilai tukar satu Dollar sama dengan 6,3 juta Bolivar. Di negara ini, 2,4 Kg daging ayam mesti dibeli dengan harga 14,6 juta Bolivar. Satu gulung tisu beharga 2,6 juta Boliviar dan perlu 3 juta Bolivar untuk membeli 10 buah wortel, bahkan harga popok bayi mencapai 8 juta Bolivar.  

Apakah Indonesia akan kembali seperti krismon di 1998 atau lebih parah lagi menjadi seperti yang dialami Venezuela, atau Krismon itu dan kasus Venezuela hanya digunakan untuk narasi politik, saya tidak dapat menjawabnya. Faktanya Dollar memang menguat.

Wacana yang meyakini kemampuan pemerintah bertitik tolak pada indikator-indikator ekonomi negara dan lingkup global yang mempengaruhi keadaan ekonomi serta nilai tukar mata uang sebuah negara. Sudut pandangnya adalah keberlanjutan pembagunan dan proyeksi jangka panjang melalui pondasi ekonomi yang telah dan sedang dibangun serta konsep makroekonomi. Wacananya adalah bahwa secara makro, meski kenaikan Dollar melebihi asumsi dasar di APBN dan memiliki dampak secara mikro (kehidupan individu), tapi indikator ekonomi makro dan penguatan pondasi ekonomi menunjukan bahwa pengaruhnya tidak sampai membuat Indonesia terancam krisis seperti 1998 apalagi seperti Venezuela. Dengan kata lain, naiknya dollar ini bukan sesuatu yang tidak bisa diatasi oleh pemerintah kita.

Argument ini dikembangkan dengan mengacu kepada perbandingan keadaan ekonomi saat ini dengan keadaan pada saat 1998 dan perbandingan keadaan Indonesia dengan negara berkembang lainnya yang terdampak penguatan Dollar. Selain itu naiknya Dollar juga dilihat dari pengaruh eksternal seperti perang dagang internasional yang melibatkan Amerika dan China serta usaha Amerika menguatkan dominasi Dollarnya, situasi geopolitik internasional yang kemudian berdampak kepada banyak negara berkembang. Saya tidak bisa menjelaskan detail soal ini, biarlah itu tugas ahli-ahli ekonomi yang mengutamakan kepentingan keilmuannya daripada kepentingan politiknya dan emosi atau sentimennya.



Tapi, sekedar untuk melihat perbandingan, faktanya, memang keadaan ekonomi negara saat ini berbeda jauh dengan keadaan pada tahun 1998. Cukup banyak informasi yang bisa diakses tentang hal ini. Misalnya, naiknya Dollar pada 1998 menunjukan angka yang fantatis. Pada periode September 1997 sampai 1998 rupiah terdepresiasi 254% dari Rp.3.030 per 1 Dollar menjadi Rp. 10.725 per 1 Dollar dan malah sampai mencapai titik tertinggi, yakni Rp. 16.650,- per 1 Dollar pada Juni 1998. Sementara pada September 2017 sampai awal September 2018, rupiah hanya terdepresiasi 11%. Artinya, kalau pada 1998 Dollar naik dari angka yang rendah ke angka yangs sangat tinggi sedangkan pada tahun 2018 ini Dollar naik dari angka yang memang sudah tinggi sejak dari semula. Tahun 1998 itu, cadangan devisa negara hanya USD 23,61 milliar dengan tingkat inflasi mencapai 78,2% sedangkan pada tahun 2018 cadangan devisa mencapai USD 118,3 milliar dengan tingkat inflasi per Agustus 2018 hanya 3,2%.  

Optimisme ini masih ditambah lagi dengan meningkatnya posisi Indonesia pada berbagai indeks yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional seperti predikat Investment Grade dan kategori signifikan improvement pada Fragile State Indeks. Indonesia. Tahun 2018 Indonesia bahkan menduduki rengking ke 2 negara terbaik untuk berinvestasi pada survey yang dilakukan oleh US News dan berada pada rangking 9 negara teraman di dunia pada riset yang dilakukan oleh Lembaga riset internasional Gallup's Law and Order.



Apakah seluruh indikator itu menunjukan bahwa Pemerintah Indonesia benar-benar mampu mengatasipasi kenaikan Dollar sehingga meski berdampak tapi Indonesia tidak sedang dalam krisis atau sebenarnya Indonesia berada dalam puncak krisis yang berbahaya, saya tidak dapat menjawabnya. Faktanya, harga Dollar bersifat fluktuatif. Saat tulisan ini ditulis, rupiah sudah menguat kembali. Dan, Indonesia tidak menunjukan gejala-gejala krisis seperti lompatan signifikan harga-harga secara umum, rush money (penarikan uang secara massal oleh nasabah bank), tidak beroperasinya perbankan, gangguan signifikan terhadap perdagangan valas dan saham, kerusuhan sosial dan sebagainya.

Dua sudut pandang itulah yang tengah menghiasi perbedatan-perbedatan kita. Dari dua kelompok wacana itu, kita bebas untuk menentukan yang mana yang hendak dipercayai dan diikuti. 

Kedua, perubahan pada kontruksi sosial kenegaraan yang ada

Pertanyaan pokok pada point ini adalah apakah Dollar naik lalu kita menjadi menderita?

Naiknya nilai tukar Dollar terhadap rupiah sudah pasti akan memunculkan dampak bagi ekonomi negara dan kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhannya. Hal ini tidak perlu diperbedatkan lagi.  Tapi, apakah dampak itu menimbulkan penderitaan yang kemudian merubah konstruksi sosial kenegaraan kita secara frontal? Kita perlu lakukan analisis lebih jauh.

Dampak ekonomi yang saat ini banyak dikeluhkan sebenarnya tidak hanya karena terkait kenaikan Dollar. Tapi, keluhannya sudah ada terutama pasca pencabutan subsidi barang tertentu seperti BBM (kecuali premium) dan listrik (kecuali untuk ukuran voltase 900 Kwh ke bawah). Naiknya Dollar melengkapi berbagai keluhan itu.



Masyarakat yang paling terdampak adalah masyarakat golongan ekonomi menengah yang dimasukan pada kategori miskin tidak bisa, dimasukan kategori kaya juga tidak bisa. Pada kelompok ini pencabutan subsidi dan naiknya Dollar berarti dua hal, yakni mengencangkan ikat pinggang pada kebutuhan pokok dan terhambatnya keinginan pada konteks pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier. Rumusnya pada kelompok ini sederhana, yakni pengeluaran otomatis bertambah sedangkan penghasilan tidak otomatis naik dan mereka tidak dapat mengakses bantuan langsung dari pemerintah untuk mereka karena tidak tersedia program tersebut. Kelompok inilah yang paling rentan dengan narasi-narasi tendensius serta propaganda anti pemerintah karena secara individu mereka memang berada pada kondisi yang tidak diuntungkan dalam hal ekonomi berbiaya tinggi dan fluktuatifnya nilai rupiah terhadap Dollar. Saya termasuk dalam kelompok ini.

Pada kelompok masyarakat golongan ekonomi kaya, pencabutan subsidi dan naiknya Dollar hanya berarti pengeluaran tambahan pada kebutuhan kebutuhan sekunder dan tersier sedangkan kebutuhan primernya tidak terganggu. Biasanya cukup murah untuk membiayai beberapa AC, kulkas, televisi terbaru, beberapa sepeda motor, beberapa mobil, biaya pembantu rumah tangga, wisata dan sebagainya karena beberapa komponen-komponennya disubsidi oleh negara, sekarang mereka harus mengeluarkan dana ekstra untuk hal tersebut.

Sedangkan pada kelompok miskin, meskipun tidak bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier secara kontiniu, tapi kebutuhan pokoknya terbantu oleh berbagai program pemerintah yang khusus untuk membantu kelompok miskin. Program itu seperti Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan bantuan tunai melalui sistem pada Kartu Indonesia Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat, Indonesia Pintar, Program E-Warung dan sebagainya. Saya beberapa waktu lalu berdiskusi dengan seorang pendamping lapangan untuk program-program ini dan diceritakannya bahwa pada wilayah kerjanya terdapat 32.000 peserta PKH yang setiap bulannya mendapatkan dana tunai dengan cara transfer langsung kepada masing-masing peserta.

Meski demikian, keluhan-keluhan ekonomi itu kelihatannya tidak terlalu signifikan pengaruhnya kepada perubahan pada kontruksi sosial kenegaraan yang ada. Operasionalisasi negara masih berjalan dengan normal. Gestur politik pemerintah tidak menunjukan kepanikan meski terdapat masalah-masalah ekonomi yang perlu diwaspadai. Kita masih bisa menyelenggarakan Asian Games dengan sukses dan menelan biaya yang tidak sedikit serta memberikan bonus kepada para atlit dengan nominal berlipat ganda dari bonus-bonus yang pernah diberikan negara sebelumnya. Proyek infrastruktur (jalan, bendungan, bandara, pelabuhan, kereta api, dan sebagainya), meski tidak segera bisa dinikmati keuntungan langsung dalam bentuk cash money di APBN, tapi cukup menjanjikan untuk jangka panjang.



Pemerintah juga masih bisa memberikan bantuan langsung terhadap korban bencana di NTB dan merekonstruksi serta merehabilitasi wilayah itu meski tanpa menetapkan bencana nasional. Artinya pemerintah cukup percaya diri masih mampu menangani dampak bencana meski tanpa bantuan asing. Para anggota Parlemen (DPR, DPD, MPR, DPRD) masih wara-wiri dalam rangka suksesi Pilpres dan Pileg dengan tenang meski pada narasi publik mereka berdebat hangat soal keadaan ekonomi. Juga belum terlihat suasana intens pada rapat-rapat di Parlemen untuk membahas keadaan ekonomi terkini yang menunjukan bahwa diperlukan kebijakan fundamental dan segera untuk mengatasi masalah ekonomi yang ada. Malah, persoalan yang sebenarnya tidak substansial justru menjadi perdebatan. Pada konteks inilah tendensius politik terlihat lebih kuat dari pada diskursus ekonominya.

Pada konteks sosial kemasyarakatan juga begitu. Meski setiap hari berbagai komentar muncul di ruang publik terkait keadaan ekonomi negara dan naiknya Dollar, tapi saya belum lihat ada keluhan yang menyatakan tidak mampu lagi membeli paket internet karena harganya tidak terjangkau. Jalanan masih ramai dipenuhi berbagai tipe dan level harga kendaraan bermotor. Bisnis online, usaha kuliner, usaha kreatif lainnya terus tumbuh meski terdapat fluktuatif harga pada kebutuhan modal produksi dan operasional usaha. Produk-produk teknologi terbaru masih terus dipasarkan dengan iklan-iklan yang berusaha menarik pembeli. Kita bahkan bisa melihat orang-orang yang membicarakan kemiskinan dan sulitnya ekonomi sekaligus pada saat yang sama memamerkan kemampuan ekonominya.

Harga-harga meski dikeluhkan kenaikannya, tapi sepanjang yang bisa diamati, yang terjadi bukan tak mampu di beli, tapi terjadi pengurangan pada jumlah barang yang didapatkan pada nominal uang tertentu akibat naiknya harga-harga. Sekolah-sekolah dan kampus beroperasi seperti biasanya meski ada keluhan terkait biaya pendidikan. Belum pernah terjadi pemerintah gagal bayar gaji ASN. Pada konteks swasta besaran gaji karyawan memang masih dituntut untuk bisa sampai pada kondisi ideal pada banyak wilayah di Indonesia. Tempat-tempat wisata masih dipadati oleh wisatawan baik mancanegara maupun lokal. Juga tidak terjadi kerusuhan sosial seperti penjarahan toko-toko akibat tak terjangkau harga-harga kebutuhan pokok. Juga tidak terdapat dapur umum yang khusus didirikan untuk membantu orang-orang kelaparan karena harga kebutuhan pokok membumbung tinggi.

Kondisi ini menunjukan bahwa pada realitas, suasana krisis karena pengaruh naiknya Dollar yang mengakibatkan perubahan fundamental pada konstruksi sosial kenegaraan – seperti tahun 1998, apalagi seperti Venezuela – tidak terjadi. Singkatnya, kita memang sedang mengalami fluktuasi ekonomi yang berdampak pada masyarakat terutama golongan ekonomi menengah, tapi pada konteks negara kita tidak dalam keadaan krisis yang tidak bisa diatasi apalagi kritis.  

Penutup

Seperti halnya analisis wacana-wacana di atas, pada analisis terhadap keadaan konstruksi sosial kenegaraan, sebagai warga negara kita juga dihadapkan pada pilihan sudut pandang untuk menilai keadaan negara hari ini dalam kaitannya dengan fluktuatif nilai Rupiah terhadap Dollar. Pilihannya adalah apakah kita percaya bahwa negara dalam hal ini pemerintah mampu mengatasi dampak dari naiknya nilai tukar Dollar, atau naiknya Dollar ini cukup untuk mendelegatimasi pemerintah saat ini.



Saya pribadi ikut merasakan dampak dari ekonomi biaya tinggi dan naiknya Dollar, namun saya dapat memahami apa yang sedang terjadi dari keseluruhan peristiwa yang ada. Oleh karena itu, meski turut mengingatkan kepada pemerintah untuk tetap waspada dan hati-hati menyikapi harga Dollar dan dampaknya bagi kita semua, namun saya memilih untuk optimis pemerintah masih mampu mengatasi persoalan ini dan memberikan dukungan kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang dibutuhkan. Prospek perkembangan negara cukup bagi saya untuk meyakinkan diri bahwa meski ada kesulitan di sana-sini, tapi negara sedang bergerak maju.

Pilihan anda terserah anda.

Begitulah…

Note: Gambar yang digunakan saya skrinsyut dari mesin pencari google.

No comments:

Post a Comment