Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Tuesday, July 31, 2018

ABSURDITAS KOMENTATOR ISLAM NUSANTARA


https://rfwahyudi.blogspot.com/
  
Jujur saja, aku merasa sedikit kesal dengan ulah sebagian komentator konsepsi Islam Nusantara, terutama terhadap komentar-komentar mereka di medsos. Bukan karena terlibat dukung-mendukung konsep Islam Nusantara itu karena aku juga awam dengan konsepnya, tapi karena komentar-komentar mereka telah mendistorsi diskursus yang sesungguhnya. Mereka merubah dialog yang seharusnya berbasis keilmuan menjadi ajang saling hujat, fitnah, caci-maki, tuduh-menuduh, hina-menghina, tolak menolak, label-melabeli bahkan ada yang ancam-mengancam.  


Prilaku ini menghilangkan kesempatan bagi kita semua untuk menyimak dan mengambil hikmah serta pengetahuan dari dialog keilmuan yang bermartabat antara para ulama dan cedikiawan muslim di Indonesia, serta belajar dari mereka bagaimana perbedaan pendapat bisa ditemukan benang merahnya.

Ini mengecewakan. Dalam pandanganku, distorsi ini juga menunjukan sebagian dari kita dicengkram oleh absurditas dan bias dalam berpikir baik dari para pandukung konsepsi Islam Nusantara maupun mereka-mereka yang menolaknya.


Diskursus apa yang telah didistorsi?

Sepanjang yang bisa ku simak dari penjelasan beberapa pengusung Islam Nusantara, bahwa Islam Nusantara itu bukan mazhab, aliran, apalagi Islam model baru made in Indonesia, tetapi merupakan tipologi, varian, corak atau model praktek dari keber-Islaman orang Islam di Nusantara. Konsep ini digambarkan sebagai moderat, toleran, menghormati perbedaan, berasimilisasi (saling mengisi) dengan budaya lokal, rahamatan lil alamin, memiliki corak dakwah sendiri dan sebagainya yang memiliki kekhasan untuk bisa dibedakan dengan timur tengah dan barat.

Akan tetapi melalui jari-jari jahil di medsos, konsepsi ini terdistorsi menjadi perdebatan lebih hebat mana Islam Arab atau Islam Nusantara dan masing-masing mempertontonkan hegemoni kelompoknya secara berlebih-lebihan.

Distorsi ini membuat kita gagal fokus pada pertanyaan pokoknya, yakni benarkah praktek Islam di Nusantara memiliki coraknya tersendiri yang bisa dibedakan dari praktek Islam di Timur Tengah dan praktek Islam di Barat? Bagian-bagian mana saja pada praktek keagamaan Islam yang dapat disebut sebagai tipologi? Cukup kuatkah corak itu untuk dinisbatkan sebagai corak tersendiri untuk mewarnai dinamika dunia keilmuan dan praktek keber-Islaman? Tepat atau tidak kah penyebutan “Islam Nusantara” atau harus ditambahkan kata sambung “di” menjadi “Islam di Nusantara”?

Misalnya seperti yang ditulis oleh Waryani Fajar Riyanto (2014) bahwa Islam di Timur Tengah cenderung dimensinya spiritualitas, sedangkan Islam di Barat dimensinya cenderung rasionalitas yang di Indonesia keduanya kemudian disatukan dengan pendekatan positif terhadap kedua dimensi itu. Benarkah begitu?  

Lalu, bagi yang tidak setuju dengan konsepsi Islam Nusantara dan menyatakan Islam “hanya satu” dan “tidak pakai embel-embel”, juga semestinya menggunakan momentum ini untuk menjelaskan, apa yang dimaksudnya dengan Islam “hanya satu” itu. Apakah satu itu berarti menerima semua praktek yang merupakan hasil tafsir terhadap Al-Qur’an dan Hadist atau hanya satu tafsir atau tafsir tunggal saja yang boleh?  Boleh atau tidak dilakukan penyesuaian-penyesuaian dengan budaya lokal di dalam Islam? Apakah “hanya satu” itu berarti bahwa corak-corak yang menunjukan kekhasan berbasis kewilayahan sebagai akibat asimilasi dengan budaya lokal tidak diakui sebagai Islam? Apakah hanya kelompok tertentu yang berhak mengklaim diri sebagai Islam sedangkan yang lain tidak Islam? Model yang manakah yang bisa disebut sebagai Islam yang sesungguhnya atau Islam yang murni?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang semestinya harus dijawab dalam pro dan kontra ini agar orang-orang awam seperti diri ku ini dapat memetik hikmah dari sana. Sayangnya jangankan terjawab pertanyaan itu, malah diskusinya menjadi keriuhan yang absurd.


Lalu bagaimana absurditas berpikirnya?

Absurditasnya adalah pada ejek-mengejek antara pendukung Arab dan Nusantara. Sebagian pendukung Islam Nusantara kemudian “menyerang” budaya Arab untuk memisahkan antara Islam dan Budaya Arab sekaligus menegaskan Islam ya Islam sedangkan Arab ya Arab sehingga tidak seluruh Islam itu adalah Arab dan tidak seluruh Arab itu adalah Islam.

Objeknya terutama kelompok-kelompok yang menggunakan pakaian yang identik dengan orang arab seperti jubah dan cadar juga model ekspresi indentitas keagamaan seperti celana di atas mata kaki dan jenggot. Padahal, jika benar salah satu tipologi Islam Nusantara itu adalah toleran dan menghormati perbedaan maka jubah, cadar, celana di atas mata kaki dan jenggot, semestinya dilihat sebagai pilihan-pilihan dalam keber-agamaan yang harus dihormati sebagai hak bagi mereka yang meyakini itu sebagai jalan religiusitas.

Jika yang ditolak adalah pemaksaan kehendak, memaksakan paham tunggal, radikalisme dan terorisme sebagai inspirasi lahirnya Islam Nusantara, semestinya fokus saja ke sana, karena pemaksaan kehendak, radikalisme dan terorisme tidak berhubungan dengan tampilan fisik dan cara berpakaian, tapi lahir dari caranya berpikir. Mempertentangkan budaya Arab dan budaya Nusantara pada konteks ini justru menjadikan wacana para pendukung Islam Nusantara kontradiksi dengan ide dasar yang diusungnya.     

Begitu juga yang kontra dengan konsepsi Islam Nusantara, sebagiannya memunculkan absurditas yang sama. Absurditas itu terlihat dari munculnya ejekan seperti “Islam Nusantara naik hajinya kemana?” dan komentar-komentar lainnya yang sejenis dengan ini. Malah beredar video penceramah yang menantang para pengusung ide Islam Nusantara untuk menunjukan ada atau tidak orang di Nusantara yang sehebat sahabat Rasulullah SAW, seperti Abu Bakar Siddik, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib untuk menunjukan bahwa Islam Arab lebih hebat dibandingkan Islam Nusantara.

Jelas komentar-komentar seperti ini tidak berhubungan dengan konsepsi dasar Islam Nusantara yang diusung. Semestinya, mereka fokus kepada apakah Islam dan budaya arab saling mengisi atau tidak dan bisakah saling mengisi itu juga dilakukan diluar wilayah arab. Apakah benar Islam Nusantara memiliki corak sendiri yang dapat dibedakan dengan Islam Arab? Selain itu perlu juga mereka menunjukan bagaimana pandangan mereka tentang tipologi Islam di Nusantara yang berkelidan dengan budaya lokal, boleh atau tidak, sehingga bisa terjawab perlu atau tidak corak-corak pada Islam di Nusantara sebagai varian keber-Islaman diangkat kepermukaan dengan nama Islam Nusantara.


Faktanya, di Indonesia banyak sekali organisasi-organisasi dan aliran-aliran Islam dengan tipologinya masing-masing, juga terdapat corak-corak yang berbeda dalam praktek Islam di berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, pada sholat berjemaah di masjid kita bisa melihat perbedaan-perbedaan cara jemaahnya ketika melipat tangan saat berdiri. Ada yang di atas perut, ada yang di atas dada, ada yang miring ke samping dan itu dilakukan pada waktu sholat yang sama, dengan imam yang sama di masjid yang sama. Bukankah ini menunjukan konstruksi dasar yang sama tetapi dengan varian yang berbeda pada bagian-bagian tertentu? Jika, masing-masing bersikeras bahwa caranya lah yang paling benar, bisa dipastikan sholat berjemaah itu akan gaduh sesaat setelah sholat berjemaah di mulai.

Muhammadiyah dan NU jelas tidak sama dan memiliki perbedaan yang spesifik, tapi tidak pernah saling serang satu sama lain, saling mengkafirkan, mengancam apalagi memerangi, serta kedua organisasi besar ini dapat bekerjasama dengan baik dalam banyak hal. Model praktek keagamaan di Minangkabau dan di Jawa serta di Aceh juga memiliki beberapa kekhasan sendiri tetapi semuanya naik haji ke Mekah serta berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadist dengan tafsirnya masing-masing dan tidak pernah saling serang atau berusaha saling mengungguli satu sama lain. Apakah perbedaan-perbedaan dan keberterimaannya itu dapat disebut tipologi atau tidak?  Lalu bagaimana perbandingan dengan keadaan di Timur Tengah dan Barat hari ini?

Mungkin perlu disimak pengalaman pribadi Nina Nurmila (2009) saat berada di Amerika sebagai Visiting Professor di University of Redlands, bahwa ternyata sebagian akademisi Amerika tertarik untuk belajar Islam dari pengajar Islam Indonesia. Alasannya, Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia memiliki versi unik yang moderat, pluralis dan damai. Model seperti ini sangat di butuhkan masyarakat Amerika untuk mengimbangi image media di sana yang negatif tentang Islam. Nina mengatakan akademisi Amerika itu sudah jenuh mempelajari Islam dengan berfokus kepada Kawasan Timur Tengah yang cenderung penuh konflik.    

Di Amerika, Islam juga memiliki coraknya sendiri dalam perkembangannya meski kemudian komunitas muslim di sana mengalami goncangan hebat pasca peristiwa 11 September. Goncangan ini ditambah lagi dengan efek negatif dari aksi teror, perang saudara dan kampanye kekerasan atas nama Islam yang dinisbatkan ke komunitas Islam di Kawasan Timur Tengah. Sisi negatif ini kemudian diekspos secara berlebihan oleh media serta memunculkan Islamophobia yang merepotkan komunitas muslim setempat dan komunitas muslim di belahan dunia yang lain. Padahal, mereka terus-menerus menyerukan perdamaian dan Islam rahmatan lil alamin pada posisinya sebagai minoritas. Islam di Indonesia relatif lebih “nyaman” dalam hal ini. Diana L. Eck menceritakan pahit manisnya perkembangan Islam di Amerika sebanyak 105 halaman pada bukunya berjudul “Amerika Baru Yang Religius Bagaimana Sebuah “Negara Kristen” Berubah Menjadi Negara Dengan Agama Paling Beragam di Dunia”.

Para Indonesianis dan para orientalis yang mengkaji tentang Indonesia dan Islam di Indonesia juga rata-rata tertarik pada bagaimana kultur dan agama saling berkelidan di Indonesia yang kemudian mempengaruhi penduduknya dalam banyak hal seperti struktur sosial, budaya, ekonomi dan pilihan-pilihan politik. Fakta yang menarik bagi mereka adalah tidak muncul gesekan atas nama agama yang berdampak sosial luas dari interaksi keduanya pada struktur dan pola hubungan masyarakat. Padahal, agamanya beragam dan aliran dalam agama juga beragam. Banyak sekali nama tokoh bisa disebut yang melakukan kajian-kajian ini seperti Harry J Banda, Clifford Geertz, Mark Woodward, Jean Gelman Taylor, Kevin W. Fogg, M.C Ricklefs serta tentu saja Snouck Hurgronje.


Snouck Hurgronje sendiri meski risetnya berhasil menjadi pedoman bagi pemerintah kolonial untuk “mengobrak-abrik” Aceh, ternyata awalnya sempat keliru menilai Islam di Nusantara. Dia menggunakan perspektif Arab sebagai kerangka pikir untuk mempelajari Islam di Hinda Belanda (khususnya Aceh) yang ternyata tidak sepenuhnya benar terutama pada praktek yang berasimilisasi dengan budaya lokal. Kevin W. Fogg menggambarkan kekeliruan Hurgronje ini melalui judul buku singkatnya “Mencari Arab, Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck Hurgronje Tentang Hinda Belanda”.   

Ulama-ulama Indonesia juga tidak sedikit yang memiliki kontribusi besar dalam perkembangan Islam di berbagai belahan dunia, baik di Timur Tengah sendiri, di Afrika, Australia, dan Amerika. Para ulama Indonesia ini bahkan sukses menghasilkan kitab-kitab tafsirnya sendiri yang dijadikan rujukan oleh banyak ulama lain di luar Indonesia. Beberapa diantaranya diceritakan oleh Ustad Abdul Somad dalam video singkat beliau yang berisi tanggapan terhadap Islam Nusantara yang sempat beredar beberapa waktu lalu.

Waryani Fajar Riyanto pada tahun 2014 menulis buku berjudul “Studi Islam Indonesia (1950-2014); Rekonstruksi Sejarah Perkembangan Studi Islam Integratif di Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) dan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS)”. Di dalam buku ini kita bisa temukan puluhan makalah yang menulis tentang varian-varian praktek keber-Islaman di Nusantara yang disampaikan oleh sarjana muslim Indonesia maupun asing pada kegiatan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS)/Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS). Waryani membuat sub bab khusus untuk membahas ini sebanyak 113 halaman (halaman 289-407). Dia menyebut varian-varian itu berbasiskan wilayahnya, seperti Islam Jawa, Islam Minang, Islam Aceh, Islam Kalimatan, Islam Palembang, Islam Sunda, Islam Banten, Islam Nusatenggara, Islam Sulawesi, Islam Papua, Islam Melayu, Islam Jawi dll. Di sana juga muncul berbagai istilah yang dilekatkan dengan Islam seperti Islam Integratif, Islam Pusat, Islam Pariferal, Islam Tasawuf, Islam Syari’at, Islam Wasatiyah, dll. Pengalaman Pribadi Nina Nurmila di atas, juga ku kutib dari bukunya Waryani ini.

Bahkan, tipologi juga diceritakan oleh Andre Hirata pada salah satu tetralogi Laskar Pelanggi-nya yang berjudul Edensor. Diceritakannya sebuah peristiwa saat Lintang dan Arai Sholat Jum’at bersama muslim brother di salah satu masjid di Austria. Arai karena kebiasaanya di Indonesia mengucapkan Aamin dengan suara keras sementara Jemaah yang lain ternyata mengucapkannya di dalam hati tanpa suara. Jelas ada perbedaan dan perbedaan itu tidak merusak persaudaraan.   

Fakta inilah yang harus ditelaah oleh mereka sebelum menyatakan setuju atau tidak dengan ide Islam Nusantara itu, apakah fakta-fakta itu cukup untuk menyatakan bahwa Indonesia memiliki tipologi atau varian Islam sendiri yang bisa dinamakan sebagai Islam Nusantara atau itu semuanya hanyalah gambaran Islam di Nusantara.


Mengapa menjadi bias?

Aku juga melihat ada bias dalam diskursus ini, yakni diskursus ini tidak sepenuhnya tentang ide Islam Nusantara, tapi ada tema lain yang disisipkan di sana yakni hegemoni kelompok dan politik praktis menuju 2019.

Bias hegemoni kelompok dapat ditenggarai melalui fallacy ad hominen (menyerang pribadi seseorang) dan fallacy auctoritatis (kebenaran berdasarkan orang yang menyampaikan). Fallacy of logic ini bisa dilihat dari komentar-komentar yang alih-alih bicara soal konsep, malah bicara soal orang-orang yang membicarakan konsep. Ini terlihat pada kelompok baik yang pro maupun yang kontra.

Ada kesan diskursus Islam Nusantara ini menjadi ajang adu kuat antar kelompok. Misalnya, dari yang kontra muncul pernyataan tak masalah dengan konsepnya tapi tak bisa menerima kelompok orang yang mengangkat konsepnya karena dilabeli dengan liberal, sekuler, syiah, munafik dan sebagainya. Lalu mewanti-wanti agar konsepsi ini tidak diikuti lengkap dengan resiko surga dan nerakanya. Kalau memang tak masalah dengan konsepnya, mestinya konsep tersebut bisa disempurnakan dengan mengelimir penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai dasar yang ada melalui dialog bersama. Contoh, soal sholat berbahasa Indonesia, di Indonesia sudah ada jurisprudensi hukum bahwa sholat berbahasa Indonesia adalah tindak pidana penodaan agama dan telah ada yang dipidana dengan UU PNPS 1/1965. Demikian juga untuk bentuk-bentuk penyimpangan dari nilai-nilai dasar lainnya. Ormas-ormas Islam termasuk NU pada waktu itu menyambut gembira putusan ini. Jadi isu ini tidak relevan untuk menjadi antithesis untuk konsep Islam Nusantara. Kesan sentimennya lebih besar dibandingkan formulasi keilmuannya.

Demikan pula dari yang pro, muncul kesan bahwa konsepsi Islam Nusantara dijadikan semacam “antivirus” untuk sebagian orang Indonesia yang “kearab-araban” plus labelling radikal, teroris, anti perbedaan, wahabi, dll. Jika memang konsisten, harusnya “kearab-araban” itu juga mesti dilihat sebagai varian yang ada di Indonesia. Respon seperti ini juga memunculkan kesan sentimennya lebih besar dibandingkan formulasi keilmuannya.


Model berpikir seperti ini sering kita saksikan dalam perdebatan-perdebatan terutama di Medsos. Posisi pro dan kontranya bergantung dari kelompok mana ide atau konsepsi itu keluar. Kalau kebetulan satu kelompok seluruh argument akan dikeluarkan untuk membela meskipun tidak konsisten dengan proposisi awalnya sedangkan kalau bukan kelompok apapun ceritanya akan ditolak tanpa benar-benar menggali ide dasarnya. Beberapa waktu yang lalu model yang sama kita lihat pada perdebatan soal “daya fiksional” kitab suci yang juga ramai. Posisinya saja yang berbeda.

Sedangkan bias politik dapat ditenggarai dari tuduhan bahwa konsep Islam Nusantara adalah produk rezim Jokowi yang sedang berkuasa. Tuduhan ini memunculkan indentifikasi bagi kelompok pro dan kontra terhadap ide Islam Nusantara sebagai kelompok yang pro dan kontra terhadap pak Jokowi. Sama seperti pro dan kontra terhadap “daya fiksional” kitab suci.

Aku menggunakan kata “tuduhan” bukan untuk membela rezim pak Jokowi pada konteks ini, tapi karena faktanya, jika ditelurusi literatur, ide Islam Nusantara sudah ada sebelum pak Jokowi menjadi Presiden, tetapi perdebatannya tidak seperti sekarang ini. Pembicaran tentang ide ini juga sudah dilakukan dibanyak tempat, seperti Jakarta, Jogyakarta, Aceh, Sumatara Barat, Palembang, Sulawesi, dan Kalimantan melalui kegiatan ACIS/AICIS. Bahwa rezim pak Jokowi mengakomodir konsepsi Islam Nusantara, mungkin saja. Tetapi menyatakan bahwa ide ini produk rezim Jokowi, menurut ku keliru dan cenderung bersifat politisasi, karenanya menjadi bias.

Buku yang ditulis Waryani Fajar Riyanto tahun 2014 membuktikan hal ini. Buku ini diterbitkan Desember 2014, pak Jokowi dilantik sebagai Presiden Oktober 2014 dan tentu saja menulis buku setebal 600 halaman lebih butuh waktu yang cukup panjang. Pada buku ini dapat di baca bahwa penggalian terhadap Islam Indonesia atau Islam Nusantara sebagai varian tersendiri sudah dilakukan setidaknya sejak tahun 2001. Saat itu Pak Jokowi bahkan belum menjadi Walikota Solo. Waryani dalam bukunya ini beberapa kali mengutip tulisan Abdul Mun’im DZ yang berjudul “Islam Nusantara: Antara Prasangka dan Harapan Yang Tersisa”. Tulisan Abdul Mun’im DZ ini merupakan bagian dari proceeding ACIS ke X yang diselenggarakan Nopember 2010 di Banjarmasin, dimana Pak Jokowi menjadi Gubernur DKI saja belum sedangkan istilah Islam Nusantara sudah digunakan.

Bias-bias ini kemudian membuat kita kehilangan fokus terhadap apa yang seharusnya kita diskusikan.


Penutup

Jadi, bro. Kembalikanlah diskursus terkait Islam Nusantara ke rel yang samestinya, yakni perlu atau tidak model ber-Islam di Indonesia menjadi varian tersendiri dengan nama Islam Nusantara untuk kemudian menjadi pusat kajian keilmuan Islam tersendiri selain Kawasan Timur Tengah dan Barat atau cukup sebagai gambaran saja tentang “Islam di Nusantara”.

Sebagai penutup, aku tidak berada pada posisi setuju atau tidak setuju dengan konsepsi Islam Nusantara karena aku awam dalam hal ini. Tulisan ku ini juga masih tumpang tindih antara “Islam Nusantara” dan “Islam di Nusantara”. Untuk hal itu aku serahkan saja kepada mereka yang memiliki kompetensi untuk berdialog secara bermartabat. Tapi, aku ingin menikmati keindahan berpikir dari orang-orang yang mengaku beragama dan memiliki pengetahuan keagaaman yang cukup melalui diskurus Islam Nusantara agar aku bisa memetik pelajaran dan hikmah dari keindahan berpikir itu.

Begitulah…

No comments:

Post a Comment