Jujur saja, aku merasa sedikit
kesal dengan ulah sebagian komentator konsepsi Islam Nusantara, terutama terhadap
komentar-komentar mereka di medsos. Bukan karena terlibat dukung-mendukung
konsep Islam Nusantara itu karena aku juga awam dengan konsepnya, tapi karena
komentar-komentar mereka telah mendistorsi diskursus yang sesungguhnya. Mereka
merubah dialog yang seharusnya berbasis keilmuan menjadi ajang saling hujat,
fitnah, caci-maki, tuduh-menuduh, hina-menghina, tolak menolak, label-melabeli
bahkan ada yang ancam-mengancam.
Prilaku ini menghilangkan
kesempatan bagi kita semua untuk menyimak dan mengambil hikmah serta pengetahuan
dari dialog keilmuan yang bermartabat antara para ulama dan cedikiawan muslim
di Indonesia, serta belajar dari mereka bagaimana perbedaan pendapat bisa
ditemukan benang merahnya.
Ini mengecewakan. Dalam
pandanganku, distorsi ini juga menunjukan sebagian dari kita dicengkram oleh
absurditas dan bias dalam berpikir baik dari para pandukung konsepsi Islam
Nusantara maupun mereka-mereka yang menolaknya.
Diskursus apa yang telah didistorsi?
Sepanjang yang bisa ku simak dari
penjelasan beberapa pengusung Islam Nusantara, bahwa Islam Nusantara itu bukan
mazhab, aliran, apalagi Islam model baru made
in Indonesia, tetapi merupakan tipologi, varian, corak atau model praktek
dari keber-Islaman orang Islam di Nusantara. Konsep ini digambarkan sebagai moderat,
toleran, menghormati perbedaan, berasimilisasi (saling mengisi) dengan budaya
lokal, rahamatan lil alamin, memiliki corak dakwah sendiri dan sebagainya yang
memiliki kekhasan untuk bisa dibedakan dengan timur tengah dan barat.
Akan tetapi melalui jari-jari
jahil di medsos, konsepsi ini terdistorsi menjadi perdebatan lebih hebat mana
Islam Arab atau Islam Nusantara dan masing-masing mempertontonkan hegemoni
kelompoknya secara berlebih-lebihan.
Distorsi ini membuat kita gagal
fokus pada pertanyaan pokoknya, yakni benarkah praktek Islam di Nusantara
memiliki coraknya tersendiri yang bisa dibedakan dari praktek Islam di Timur
Tengah dan praktek Islam di Barat? Bagian-bagian mana saja pada praktek
keagamaan Islam yang dapat disebut sebagai tipologi? Cukup kuatkah corak itu
untuk dinisbatkan sebagai corak tersendiri untuk mewarnai dinamika dunia
keilmuan dan praktek keber-Islaman? Tepat atau tidak kah penyebutan “Islam
Nusantara” atau harus ditambahkan kata sambung “di” menjadi “Islam di
Nusantara”?
Misalnya seperti yang ditulis
oleh Waryani Fajar Riyanto (2014) bahwa Islam di Timur Tengah cenderung
dimensinya spiritualitas, sedangkan Islam di Barat dimensinya cenderung rasionalitas
yang di Indonesia keduanya kemudian disatukan dengan pendekatan positif
terhadap kedua dimensi itu. Benarkah begitu?
Lalu, bagi yang tidak setuju
dengan konsepsi Islam Nusantara dan menyatakan Islam “hanya satu” dan “tidak
pakai embel-embel”, juga semestinya menggunakan momentum ini untuk menjelaskan,
apa yang dimaksudnya dengan Islam “hanya satu” itu. Apakah satu itu berarti
menerima semua praktek yang merupakan hasil tafsir terhadap Al-Qur’an dan
Hadist atau hanya satu tafsir atau tafsir tunggal saja yang boleh? Boleh atau tidak dilakukan penyesuaian-penyesuaian
dengan budaya lokal di dalam Islam? Apakah “hanya satu” itu berarti bahwa
corak-corak yang menunjukan kekhasan berbasis kewilayahan sebagai akibat
asimilasi dengan budaya lokal tidak diakui sebagai Islam? Apakah hanya kelompok
tertentu yang berhak mengklaim diri sebagai Islam sedangkan yang lain tidak
Islam? Model yang manakah yang bisa disebut sebagai Islam yang sesungguhnya
atau Islam yang murni?
Pertanyaan-pertanyaan seperti
itulah yang semestinya harus dijawab dalam pro dan kontra ini agar orang-orang
awam seperti diri ku ini dapat memetik hikmah dari sana. Sayangnya jangankan
terjawab pertanyaan itu, malah diskusinya menjadi keriuhan yang absurd.
Lalu bagaimana absurditas berpikirnya?
Absurditasnya adalah pada
ejek-mengejek antara pendukung Arab dan Nusantara. Sebagian pendukung Islam
Nusantara kemudian “menyerang” budaya Arab untuk memisahkan antara Islam dan
Budaya Arab sekaligus menegaskan Islam ya Islam sedangkan Arab ya Arab sehingga
tidak seluruh Islam itu adalah Arab dan tidak seluruh Arab itu adalah Islam.
Objeknya terutama
kelompok-kelompok yang menggunakan pakaian yang identik dengan orang arab
seperti jubah dan cadar juga model ekspresi indentitas keagamaan seperti celana
di atas mata kaki dan jenggot. Padahal, jika benar salah satu tipologi Islam
Nusantara itu adalah toleran dan menghormati perbedaan maka jubah, cadar,
celana di atas mata kaki dan jenggot, semestinya dilihat sebagai
pilihan-pilihan dalam keber-agamaan yang harus dihormati sebagai hak bagi
mereka yang meyakini itu sebagai jalan religiusitas.
Jika yang ditolak adalah pemaksaan
kehendak, memaksakan paham tunggal, radikalisme dan terorisme sebagai inspirasi
lahirnya Islam Nusantara, semestinya fokus saja ke sana, karena pemaksaan
kehendak, radikalisme dan terorisme tidak berhubungan dengan tampilan fisik dan
cara berpakaian, tapi lahir dari caranya berpikir. Mempertentangkan budaya Arab
dan budaya Nusantara pada konteks ini justru menjadikan wacana para pendukung
Islam Nusantara kontradiksi dengan ide dasar yang diusungnya.
Begitu juga yang kontra dengan
konsepsi Islam Nusantara, sebagiannya memunculkan absurditas yang sama. Absurditas
itu terlihat dari munculnya ejekan seperti “Islam Nusantara naik hajinya
kemana?” dan komentar-komentar lainnya yang sejenis dengan ini. Malah beredar
video penceramah yang menantang para pengusung ide Islam Nusantara untuk
menunjukan ada atau tidak orang di Nusantara yang sehebat sahabat Rasulullah
SAW, seperti Abu Bakar Siddik, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali Bin Abi
Thalib untuk menunjukan bahwa Islam Arab lebih hebat dibandingkan Islam
Nusantara.
Jelas komentar-komentar seperti ini
tidak berhubungan dengan konsepsi dasar Islam Nusantara yang diusung. Semestinya,
mereka fokus kepada apakah Islam dan budaya arab saling mengisi atau tidak dan
bisakah saling mengisi itu juga dilakukan diluar wilayah arab. Apakah benar Islam
Nusantara memiliki corak sendiri yang dapat dibedakan dengan Islam Arab? Selain
itu perlu juga mereka menunjukan bagaimana pandangan mereka tentang tipologi
Islam di Nusantara yang berkelidan dengan budaya lokal, boleh atau tidak,
sehingga bisa terjawab perlu atau tidak corak-corak pada Islam di Nusantara
sebagai varian keber-Islaman diangkat kepermukaan dengan nama Islam Nusantara.
Faktanya, di Indonesia banyak
sekali organisasi-organisasi dan aliran-aliran Islam dengan tipologinya
masing-masing, juga terdapat corak-corak yang berbeda dalam praktek Islam di
berbagai wilayah di Indonesia. Bahkan, pada sholat berjemaah di masjid kita
bisa melihat perbedaan-perbedaan cara jemaahnya ketika melipat tangan saat
berdiri. Ada yang di atas perut, ada yang di atas dada, ada yang miring ke
samping dan itu dilakukan pada waktu sholat yang sama, dengan imam yang sama di
masjid yang sama. Bukankah ini menunjukan konstruksi dasar yang sama tetapi
dengan varian yang berbeda pada bagian-bagian tertentu? Jika, masing-masing bersikeras
bahwa caranya lah yang paling benar, bisa dipastikan sholat berjemaah itu akan
gaduh sesaat setelah sholat berjemaah di mulai.
Muhammadiyah dan NU jelas tidak
sama dan memiliki perbedaan yang spesifik, tapi tidak pernah saling serang satu
sama lain, saling mengkafirkan, mengancam apalagi memerangi, serta kedua
organisasi besar ini dapat bekerjasama dengan baik dalam banyak hal. Model
praktek keagamaan di Minangkabau dan di Jawa serta di Aceh juga memiliki
beberapa kekhasan sendiri tetapi semuanya naik haji ke Mekah serta berpedoman
kepada Al-Qur’an dan Hadist dengan tafsirnya masing-masing dan tidak pernah
saling serang atau berusaha saling mengungguli satu sama lain. Apakah perbedaan-perbedaan
dan keberterimaannya itu dapat disebut tipologi atau tidak? Lalu bagaimana perbandingan dengan keadaan di
Timur Tengah dan Barat hari ini?
Mungkin perlu disimak pengalaman
pribadi Nina Nurmila (2009) saat berada di Amerika sebagai Visiting Professor
di University of Redlands, bahwa ternyata sebagian akademisi Amerika tertarik
untuk belajar Islam dari pengajar Islam Indonesia. Alasannya, Indonesia sebagai
negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia memiliki versi unik
yang moderat, pluralis dan damai. Model seperti ini sangat di butuhkan
masyarakat Amerika untuk mengimbangi image
media di sana yang negatif tentang Islam. Nina mengatakan akademisi Amerika itu
sudah jenuh mempelajari Islam dengan berfokus kepada Kawasan Timur Tengah yang
cenderung penuh konflik.
Di Amerika, Islam juga memiliki
coraknya sendiri dalam perkembangannya meski kemudian komunitas muslim di sana
mengalami goncangan hebat pasca peristiwa 11 September. Goncangan ini ditambah
lagi dengan efek negatif dari aksi teror, perang saudara dan kampanye kekerasan
atas nama Islam yang dinisbatkan ke komunitas Islam di Kawasan Timur Tengah. Sisi
negatif ini kemudian diekspos secara berlebihan oleh media serta memunculkan
Islamophobia yang merepotkan komunitas muslim setempat dan komunitas muslim di
belahan dunia yang lain. Padahal, mereka terus-menerus menyerukan perdamaian dan
Islam rahmatan lil alamin pada posisinya sebagai minoritas. Islam di Indonesia relatif
lebih “nyaman” dalam hal ini. Diana L. Eck menceritakan pahit manisnya
perkembangan Islam di Amerika sebanyak 105 halaman pada bukunya berjudul
“Amerika Baru Yang Religius Bagaimana Sebuah “Negara Kristen” Berubah Menjadi
Negara Dengan Agama Paling Beragam di Dunia”.
Para Indonesianis dan para
orientalis yang mengkaji tentang Indonesia dan Islam di Indonesia juga
rata-rata tertarik pada bagaimana kultur dan agama saling berkelidan di
Indonesia yang kemudian mempengaruhi penduduknya dalam banyak hal seperti
struktur sosial, budaya, ekonomi dan pilihan-pilihan politik. Fakta yang
menarik bagi mereka adalah tidak muncul gesekan atas nama agama yang berdampak sosial
luas dari interaksi keduanya pada struktur dan pola hubungan masyarakat.
Padahal, agamanya beragam dan aliran dalam agama juga beragam. Banyak sekali
nama tokoh bisa disebut yang melakukan kajian-kajian ini seperti Harry J Banda,
Clifford Geertz, Mark Woodward, Jean Gelman Taylor, Kevin W. Fogg, M.C Ricklefs
serta tentu saja Snouck Hurgronje.
Snouck Hurgronje sendiri meski risetnya
berhasil menjadi pedoman bagi pemerintah kolonial untuk “mengobrak-abrik” Aceh,
ternyata awalnya sempat keliru menilai Islam di Nusantara. Dia menggunakan
perspektif Arab sebagai kerangka pikir untuk mempelajari Islam di Hinda Belanda
(khususnya Aceh) yang ternyata tidak sepenuhnya benar terutama pada praktek
yang berasimilisasi dengan budaya lokal. Kevin W. Fogg menggambarkan kekeliruan
Hurgronje ini melalui judul buku singkatnya “Mencari Arab, Melihat Indonesia:
Kacamata Arab Snouck Hurgronje Tentang Hinda Belanda”.
Ulama-ulama Indonesia juga tidak
sedikit yang memiliki kontribusi besar dalam perkembangan Islam di berbagai
belahan dunia, baik di Timur Tengah sendiri, di Afrika, Australia, dan Amerika.
Para ulama Indonesia ini bahkan sukses menghasilkan kitab-kitab tafsirnya
sendiri yang dijadikan rujukan oleh banyak ulama lain di luar Indonesia. Beberapa
diantaranya diceritakan oleh Ustad Abdul Somad dalam video singkat beliau yang berisi
tanggapan terhadap Islam Nusantara yang sempat beredar beberapa waktu lalu.
Waryani Fajar Riyanto pada tahun
2014 menulis buku berjudul “Studi Islam Indonesia (1950-2014); Rekonstruksi
Sejarah Perkembangan Studi Islam Integratif di Program Pascasarjana Perguruan
Tinggi Agama Islam (PTAI) dan Annual
International Conference on Islamic Studies (AICIS)”. Di dalam buku ini
kita bisa temukan puluhan makalah yang menulis tentang varian-varian praktek
keber-Islaman di Nusantara yang disampaikan oleh sarjana muslim Indonesia
maupun asing pada kegiatan Annual
Conference on Islamic Studies (ACIS)/Annual
International Conference on Islamic Studies (AICIS). Waryani membuat sub
bab khusus untuk membahas ini sebanyak 113 halaman (halaman 289-407). Dia
menyebut varian-varian itu berbasiskan wilayahnya, seperti Islam Jawa, Islam
Minang, Islam Aceh, Islam Kalimatan, Islam Palembang, Islam Sunda, Islam
Banten, Islam Nusatenggara, Islam Sulawesi, Islam Papua, Islam Melayu, Islam
Jawi dll. Di sana juga muncul berbagai istilah yang dilekatkan dengan Islam
seperti Islam Integratif, Islam Pusat, Islam Pariferal, Islam Tasawuf, Islam
Syari’at, Islam Wasatiyah, dll. Pengalaman Pribadi Nina Nurmila di atas, juga
ku kutib dari bukunya Waryani ini.
Bahkan, tipologi juga diceritakan
oleh Andre Hirata pada salah satu tetralogi Laskar Pelanggi-nya yang berjudul
Edensor. Diceritakannya sebuah peristiwa saat Lintang dan Arai Sholat Jum’at bersama
muslim brother di salah satu masjid di
Austria. Arai karena kebiasaanya di Indonesia mengucapkan Aamin dengan suara
keras sementara Jemaah yang lain ternyata mengucapkannya di dalam hati tanpa
suara. Jelas ada perbedaan dan perbedaan itu tidak merusak persaudaraan.
Fakta inilah yang harus ditelaah
oleh mereka sebelum menyatakan setuju atau tidak dengan ide Islam Nusantara itu,
apakah fakta-fakta itu cukup untuk menyatakan bahwa Indonesia memiliki tipologi
atau varian Islam sendiri yang bisa dinamakan sebagai Islam Nusantara atau itu
semuanya hanyalah gambaran Islam di Nusantara.
Mengapa menjadi bias?
Aku juga melihat ada bias dalam
diskursus ini, yakni diskursus ini tidak sepenuhnya tentang ide Islam
Nusantara, tapi ada tema lain yang disisipkan di sana yakni hegemoni kelompok
dan politik praktis menuju 2019.
Bias hegemoni kelompok dapat
ditenggarai melalui fallacy ad hominen (menyerang
pribadi seseorang) dan fallacy
auctoritatis (kebenaran berdasarkan orang yang menyampaikan). Fallacy of logic ini bisa dilihat dari
komentar-komentar yang alih-alih bicara soal konsep, malah bicara soal
orang-orang yang membicarakan konsep. Ini terlihat pada kelompok baik yang pro
maupun yang kontra.
Ada kesan diskursus Islam
Nusantara ini menjadi ajang adu kuat antar kelompok. Misalnya, dari yang kontra
muncul pernyataan tak masalah dengan konsepnya tapi tak bisa menerima kelompok
orang yang mengangkat konsepnya karena dilabeli dengan liberal, sekuler, syiah,
munafik dan sebagainya. Lalu mewanti-wanti agar konsepsi ini tidak diikuti
lengkap dengan resiko surga dan nerakanya. Kalau memang tak masalah dengan
konsepnya, mestinya konsep tersebut bisa disempurnakan dengan mengelimir
penyimpangan-penyimpangan dari nilai-nilai dasar yang ada melalui dialog
bersama. Contoh, soal sholat berbahasa Indonesia, di Indonesia sudah ada
jurisprudensi hukum bahwa sholat berbahasa Indonesia adalah tindak pidana penodaan
agama dan telah ada yang dipidana dengan UU PNPS 1/1965. Demikian juga untuk
bentuk-bentuk penyimpangan dari nilai-nilai dasar lainnya. Ormas-ormas Islam
termasuk NU pada waktu itu menyambut gembira putusan ini. Jadi isu ini tidak
relevan untuk menjadi antithesis untuk konsep Islam Nusantara. Kesan
sentimennya lebih besar dibandingkan formulasi keilmuannya.
Demikan pula dari yang pro, muncul
kesan bahwa konsepsi Islam Nusantara dijadikan semacam “antivirus” untuk
sebagian orang Indonesia yang “kearab-araban” plus labelling radikal, teroris, anti
perbedaan, wahabi, dll. Jika memang konsisten, harusnya “kearab-araban” itu
juga mesti dilihat sebagai varian yang ada di Indonesia. Respon seperti ini
juga memunculkan kesan sentimennya lebih besar dibandingkan formulasi
keilmuannya.
Model berpikir seperti ini sering
kita saksikan dalam perdebatan-perdebatan terutama di Medsos. Posisi pro dan
kontranya bergantung dari kelompok mana ide atau konsepsi itu keluar. Kalau
kebetulan satu kelompok seluruh argument akan dikeluarkan untuk membela meskipun
tidak konsisten dengan proposisi awalnya sedangkan kalau bukan kelompok apapun
ceritanya akan ditolak tanpa benar-benar menggali ide dasarnya. Beberapa waktu
yang lalu model yang sama kita lihat pada perdebatan soal “daya fiksional”
kitab suci yang juga ramai. Posisinya saja yang berbeda.
Sedangkan bias politik dapat ditenggarai
dari tuduhan bahwa konsep Islam Nusantara adalah produk rezim Jokowi yang
sedang berkuasa. Tuduhan ini memunculkan indentifikasi bagi kelompok pro dan
kontra terhadap ide Islam Nusantara sebagai kelompok yang pro dan kontra
terhadap pak Jokowi. Sama seperti pro dan kontra terhadap “daya fiksional”
kitab suci.
Aku menggunakan kata “tuduhan”
bukan untuk membela rezim pak Jokowi pada konteks ini, tapi karena faktanya,
jika ditelurusi literatur, ide Islam Nusantara sudah ada sebelum pak Jokowi menjadi
Presiden, tetapi perdebatannya tidak seperti sekarang ini. Pembicaran tentang
ide ini juga sudah dilakukan dibanyak tempat, seperti Jakarta, Jogyakarta,
Aceh, Sumatara Barat, Palembang, Sulawesi, dan Kalimantan melalui kegiatan
ACIS/AICIS. Bahwa rezim pak Jokowi mengakomodir konsepsi Islam Nusantara,
mungkin saja. Tetapi menyatakan bahwa ide ini produk rezim Jokowi, menurut ku
keliru dan cenderung bersifat politisasi, karenanya menjadi bias.
Buku yang ditulis Waryani Fajar
Riyanto tahun 2014 membuktikan hal ini. Buku ini diterbitkan Desember 2014, pak
Jokowi dilantik sebagai Presiden Oktober 2014 dan tentu saja menulis buku
setebal 600 halaman lebih butuh waktu yang cukup panjang. Pada buku ini dapat
di baca bahwa penggalian terhadap Islam Indonesia atau Islam Nusantara sebagai
varian tersendiri sudah dilakukan setidaknya sejak tahun 2001. Saat itu Pak
Jokowi bahkan belum menjadi Walikota Solo. Waryani dalam bukunya ini beberapa
kali mengutip tulisan Abdul Mun’im DZ yang berjudul “Islam Nusantara: Antara
Prasangka dan Harapan Yang Tersisa”. Tulisan Abdul Mun’im DZ ini merupakan
bagian dari proceeding ACIS ke X yang
diselenggarakan Nopember 2010 di Banjarmasin, dimana Pak Jokowi menjadi
Gubernur DKI saja belum sedangkan istilah Islam Nusantara sudah digunakan.
Bias-bias ini kemudian membuat
kita kehilangan fokus terhadap apa yang seharusnya kita diskusikan.
Penutup
Jadi, bro. Kembalikanlah
diskursus terkait Islam Nusantara ke rel yang samestinya, yakni perlu atau
tidak model ber-Islam di Indonesia menjadi varian tersendiri dengan nama Islam
Nusantara untuk kemudian menjadi pusat kajian keilmuan Islam tersendiri selain Kawasan
Timur Tengah dan Barat atau cukup sebagai gambaran saja tentang “Islam di
Nusantara”.
Sebagai penutup, aku tidak berada
pada posisi setuju atau tidak setuju dengan konsepsi Islam Nusantara karena aku
awam dalam hal ini. Tulisan ku ini juga masih tumpang tindih antara “Islam
Nusantara” dan “Islam di Nusantara”. Untuk hal itu aku serahkan saja kepada
mereka yang memiliki kompetensi untuk berdialog secara bermartabat. Tapi, aku
ingin menikmati keindahan berpikir dari orang-orang yang mengaku beragama dan
memiliki pengetahuan keagaaman yang cukup melalui diskurus Islam Nusantara agar
aku bisa memetik pelajaran dan hikmah dari keindahan berpikir itu.
No comments:
Post a Comment