Berisi Opini dan Pemikiran Terkait Berbagai Isu (Hukum, Politik, Kemasyarakatan, Sosial Budaya) yang Sedang Berkembang dan Mencoba Untuk Menjaga Pikiran dari Berbagai Hoaks

Search This Blog

Monday, May 14, 2018

TEROR DAN KEBRUTALAN


Sejatinya teror yang berujung kebrutalan adalah ekspresi dari sisi kebinatangan paling primitif yang dimiliki manusia. Kebrutalan itu merupakan perwujudan dari prilaku sadis yang sudah tertanam dalam pikiran dan mengakar kuat dalam jiwa pelakunya. Jika nurani dan keimanan masih mendominasi dalam jiwanya, tak akan ada orang yang akan mampu menyakiti apalagi membunuh orang-orang begitu saja.


Jadi, brutalitas bukanlah ekspresi keagamaan, bukan juga nilai-nilai moralitas, bukan juga wujud penggunaan akal kemanusiaan. Jikapun brutalitas itu dibungkus dengan nilai-nilai tertentu, itu hanyalah kamuflase untuk menutupi prilaku sadisnya itu.

Akal dan nurani justru dianugrahkan untuk membedakan manusia dengan binatang. Dari akal dan nurani muncul nilai-nilai kemanusian berbentuk konsepsi moralitas yang menjadikan manusia lain sebagai bagian dari hidupnya sendiri. Moralitas diperkuat dengan nilai-nilai keimanan yang percaya bahwa keterikatan antar manusia tidak berdiri sendiri, tapi ada Allah SWT yang memayunginya dan akan meminta pertanggungjawaban atas apa saja yang terjadi dalam interkoneksi itu. Karena itu, jelas bahwa brutalitas tidak berasal dari akal, moral apalagi agama. Jelas bahwa akal, moral dan agama menghendaki dieliminasinya kezaliman terhadap sesama manusia bukan menuntun manusia untuk menjadi ancaman bagi manusia lainnya.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, teror dan brutalitas telah tampil dalam berbagai rentang waktu, dibanyak tempat, untuk banyak alasan dan memakan banyak korban orang-orang yang tidak mengerti untuk apa dia harus mati. Seluruh model  teror dan kebrutalan itu tampil dalam bentuk yang sama, yakni sekelompok manusia hadir sebagai ancaman bagi sekelompok manusia yang lain.   

Memang, ada saja orang atau kelompok orang yang menjadikan teror dan kebrutalan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Aku teringat apa yang tulis oleh Hitler dalam buku Mein Kampf nya. Ditulisnya di sana, “Jika demokrasi sosial dihadapkan pada sebuah doktrin tentang kebenaran yang lebih besar, tetapi kebrutalan metode-metode sama, kebrutalanlah yang akan menang, meskipun ini membutuhkan perjuangan yang paling getir sekalipun”. Kemudian ditulisnya lagi, “makin aku akrab secara prinsip dengan metode-metode teror fisik, maka makin sabar pula sikapku terhadap ratusan ribu orang yang mati karenanya”.

Teror kemudian menjadi komponen penting dalam sikap Hitler. Ditulis oleh Hitler “... Dan itu berarti bahwa teknik bertempur paling agresif adalah yang paling manusiawi. Lalu ditulisnya lagi, “... senjata-senjata paling jahat adalah manusiawi jika mereka membawa kemenangan yang lebih cepat
Mungkin inilah sebabnya, Konrad Haiden, dalam pengantar Mein Kampf yang diterjamahkan ke bahasa Indonesia mengatakan bahwa buku Hitler itu mungkin lebih tepat disebut sebagai “Kitab Setan”. Haiden menuliskan bahwa melalui Mein Kampf “Hitler mengumumkan – jauh sebelum dia memegang kekuasaan – sebuah program berdarah dan teror dalam sebuah pengungkapan diri yang sangat terus terang...

Yang menakutkan dari cara Hitler menurut Haiden adalah darah yang selalu dikehendakinya. Haiden menulis, “Ketika dia (Hitler-pen) berbicara tentang seni, tentang pendidikan, tentang ekonomi, dia selalu melihat darah. Dia tidak suka jenis seniman atau aktor tertentu, dan itu cukup membuat alasan untuk membunuhnya. ’Kita harus membunuhnya secara radikal’, inilah slogan tipikalnya. Kemurahan hati yang dipakainya untuk mengancam pembunuhan pada provokasi kecil sekalipun mungkin lebih menakutkan dari pada ancaman itu sendiri”.

Inilah sebab aku berpikir bahwa teror dan kebrutalan itu bukan nilai-nilai, tapi tabiat buruk dari sisi kebinatangan yang paling primitif yang berpotensi dilakukan oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Dan, sebagai manusia beradab, setiap bentuk teror dan kebrutalan baik fisik maupun non fisik untuk alasan apapun dan dilakukan oleh siapapun harus ditolak karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan kita juga tak dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul kita.

Kemaren kita baru saja berduka atas jatuhnya korban karena kebrutalan pada peristiwa di Mako Brimob, sekarang kita kembali harus berduka atas jatuhnya korban pada peristiwa pemboman di Surabaya. Sebelumnya tak terhitung kali kita berduka untuk berbagai peristiwa-peristiwa serupa. Aku hanya bisa berdo’a semoga semua korban-korban yang kehilangannya nyawanya begitu saja diberikan sebaik-baiknya tempat disisi-Nya dan keluarga mereka diberikan kelapangan-kelapangan dan kemudahan dalam hidup. Serta mereka yang cidera dan luka segera diberi kesembuhan. Akal sehat ku tentu saja tidak menginginkan peristiwa seperti itu terulang lagi dan untuk itu aku turut ingin menegaskan kepada negara c.q pemerintah dan aparat penegak hukum untuk semaksimal mungkin menuntaskan dan memastikan peristiwa yang sama tidak terulang.
Terlepas dari duka mendalam yang turut ku rasakan, aku juga cukup sedih melihat banyak sekali orang yang mempertontonkan kedunguannya di publik melalui medsos dengan menjadikan derita para korban sebagai alasan untuk hina menghina agama dan mencaci maki atas nama agama. Bagiku ini juga prilaku yang tidak beradab dan memunculkan masalah-masalah yang baru.

Nurani ku masih ada dan mengatakan bahwa aku tidak boleh ikut-ikutan membangun teori konspirasi dan cocokologi dengan pengetahuan yang terbatas yang hanya akan menambah rasa sakit bagi banyak orang yang sedang menderita.  

Aku juga cukup sedih melihat politisi-politisi picik yang narasi publiknya minus empati. Mereka seharusnya berlomba-lomba memberikan ketenangan kepada masyarakat yang resah dan bergiat untuk mencari solusi menyelesaikan akar-akar masalah serta menyiapkan langkah-langkah agar peristiwa yang sama tidak terulang dan bersama-sama mengawal aparat hukum menuntaskan kewajibannya dengan baik. Ini bukan sekedar masalah politik, tapi ini adalah masalah kemanusiaan dan kebangsaan yang menuntut mereka harus meletakan sejenak kepentingan politik yang bersifat parsial.
Jika kita memang mengutuk dan menolak teror dan kebrutalan, kutuk dan tolaklah teror serta kebrutalan itu, tidak perlu melebar kemana-mana. Para korban sudah kehilangannya nyawanya dan keluarganya sudah menderita dan berduka, jangan ditambah lagi dengan menunjukan sisi lain ketidakberadaban kita.

Begitulah...

No comments:

Post a Comment