Sejatinya
teror yang berujung kebrutalan adalah ekspresi dari sisi kebinatangan paling
primitif yang dimiliki manusia. Kebrutalan itu merupakan perwujudan dari
prilaku sadis yang sudah tertanam dalam pikiran dan mengakar kuat dalam jiwa
pelakunya. Jika nurani dan keimanan masih mendominasi dalam jiwanya, tak akan
ada orang yang akan mampu menyakiti apalagi membunuh orang-orang begitu saja.
Jadi,
brutalitas bukanlah ekspresi keagamaan, bukan juga nilai-nilai moralitas, bukan
juga wujud penggunaan akal kemanusiaan. Jikapun brutalitas itu dibungkus dengan
nilai-nilai tertentu, itu hanyalah kamuflase untuk menutupi prilaku sadisnya
itu.
Akal
dan nurani justru dianugrahkan untuk membedakan manusia dengan binatang. Dari akal
dan nurani muncul nilai-nilai kemanusian berbentuk konsepsi moralitas yang
menjadikan manusia lain sebagai bagian dari hidupnya sendiri. Moralitas diperkuat
dengan nilai-nilai keimanan yang percaya bahwa keterikatan antar manusia tidak
berdiri sendiri, tapi ada Allah SWT yang memayunginya dan akan meminta
pertanggungjawaban atas apa saja yang terjadi dalam interkoneksi itu. Karena
itu, jelas bahwa brutalitas tidak berasal dari akal, moral apalagi agama. Jelas
bahwa akal, moral dan agama menghendaki dieliminasinya kezaliman terhadap
sesama manusia bukan menuntun manusia untuk menjadi ancaman bagi manusia
lainnya.
Sepanjang
sejarah peradaban manusia, teror dan brutalitas telah tampil dalam berbagai
rentang waktu, dibanyak tempat, untuk banyak alasan dan memakan banyak korban
orang-orang yang tidak mengerti untuk apa dia harus mati. Seluruh model teror dan kebrutalan itu tampil dalam bentuk yang
sama, yakni sekelompok manusia hadir sebagai ancaman bagi sekelompok manusia
yang lain.
Memang,
ada saja orang atau kelompok orang yang menjadikan teror dan kebrutalan sebagai
alat untuk mencapai tujuan. Aku teringat apa yang tulis oleh Hitler dalam buku
Mein Kampf nya. Ditulisnya di sana, “Jika demokrasi sosial dihadapkan pada sebuah
doktrin tentang kebenaran yang lebih besar, tetapi kebrutalan metode-metode
sama, kebrutalanlah yang akan menang, meskipun ini membutuhkan perjuangan yang
paling getir sekalipun”. Kemudian ditulisnya lagi, “makin
aku akrab secara prinsip dengan metode-metode teror fisik, maka makin sabar
pula sikapku terhadap ratusan ribu orang yang mati karenanya”.
Teror
kemudian menjadi komponen penting dalam sikap Hitler. Ditulis oleh Hitler “... Dan
itu berarti bahwa teknik bertempur paling agresif adalah yang paling manusiawi.
Lalu ditulisnya lagi, “... senjata-senjata paling jahat adalah
manusiawi jika mereka membawa kemenangan yang lebih cepat”
Mungkin
inilah sebabnya, Konrad Haiden, dalam pengantar Mein Kampf yang diterjamahkan
ke bahasa Indonesia mengatakan bahwa buku Hitler itu mungkin lebih tepat
disebut sebagai “Kitab Setan”. Haiden menuliskan bahwa melalui Mein Kampf “Hitler
mengumumkan – jauh sebelum dia memegang kekuasaan – sebuah program berdarah dan
teror dalam sebuah pengungkapan diri yang sangat terus terang...”
Yang
menakutkan dari cara Hitler menurut Haiden adalah darah yang selalu dikehendakinya.
Haiden menulis, “Ketika dia (Hitler-pen) berbicara
tentang seni, tentang pendidikan, tentang ekonomi, dia selalu melihat darah. Dia
tidak suka jenis seniman atau aktor tertentu, dan itu cukup membuat alasan
untuk membunuhnya. ’Kita harus membunuhnya secara radikal’, inilah slogan
tipikalnya. Kemurahan hati yang dipakainya untuk mengancam pembunuhan pada
provokasi kecil sekalipun mungkin lebih menakutkan dari pada ancaman itu
sendiri”.
Inilah
sebab aku berpikir bahwa teror dan kebrutalan itu bukan nilai-nilai, tapi
tabiat buruk dari sisi kebinatangan yang paling primitif yang berpotensi
dilakukan oleh siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Dan, sebagai manusia
beradab, setiap bentuk teror dan kebrutalan baik fisik maupun non fisik untuk
alasan apapun dan dilakukan oleh siapapun harus ditolak karena bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan kita juga tak dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul
kita.
Kemaren
kita baru saja berduka atas jatuhnya korban karena kebrutalan pada peristiwa di
Mako Brimob, sekarang kita kembali harus berduka atas jatuhnya korban pada
peristiwa pemboman di Surabaya. Sebelumnya tak terhitung kali kita berduka
untuk berbagai peristiwa-peristiwa serupa. Aku hanya bisa berdo’a semoga semua
korban-korban yang kehilangannya nyawanya begitu saja diberikan sebaik-baiknya
tempat disisi-Nya dan keluarga mereka diberikan kelapangan-kelapangan dan
kemudahan dalam hidup. Serta mereka yang cidera dan luka segera diberi
kesembuhan. Akal sehat ku tentu saja tidak menginginkan peristiwa seperti itu
terulang lagi dan untuk itu aku turut ingin menegaskan kepada negara c.q
pemerintah dan aparat penegak hukum untuk semaksimal mungkin menuntaskan dan memastikan
peristiwa yang sama tidak terulang.
Terlepas
dari duka mendalam yang turut ku rasakan, aku juga cukup sedih melihat banyak
sekali orang yang mempertontonkan kedunguannya di publik melalui medsos dengan
menjadikan derita para korban sebagai alasan untuk hina menghina agama dan mencaci
maki atas nama agama. Bagiku ini juga prilaku yang tidak beradab dan memunculkan
masalah-masalah yang baru.
Nurani
ku masih ada dan mengatakan bahwa aku tidak boleh ikut-ikutan membangun teori
konspirasi dan cocokologi dengan pengetahuan yang terbatas yang hanya akan
menambah rasa sakit bagi banyak orang yang sedang menderita.
Aku
juga cukup sedih melihat politisi-politisi picik yang narasi publiknya minus
empati. Mereka seharusnya berlomba-lomba memberikan ketenangan kepada
masyarakat yang resah dan bergiat untuk mencari solusi menyelesaikan akar-akar
masalah serta menyiapkan langkah-langkah agar peristiwa yang sama tidak
terulang dan bersama-sama mengawal aparat hukum menuntaskan kewajibannya dengan
baik. Ini bukan sekedar masalah politik, tapi ini adalah masalah kemanusiaan
dan kebangsaan yang menuntut mereka harus meletakan sejenak kepentingan politik
yang bersifat parsial.
Jika
kita memang mengutuk dan menolak teror dan kebrutalan, kutuk dan tolaklah teror
serta kebrutalan itu, tidak perlu melebar kemana-mana. Para korban sudah
kehilangannya nyawanya dan keluarganya sudah menderita dan berduka, jangan
ditambah lagi dengan menunjukan sisi lain ketidakberadaban kita.
Begitulah...
No comments:
Post a Comment